Novel, Cerita Pendek Islami dan Biologi
Menebar Kedamaian
Baru kali ini selama 5 tahun perkawinannya, Astiti benar-benar tidak mengerti dengan tindakan Iwan suaminya. Iwan, seorang lelaki yang alim dan sholeh membuat keputusan untuk mengontrak rumah di daerah yang lingkungannya benar-benar tidak "bersih". Sejak dipindah tugas oleh kantornya di daerah ini, maka mau tidak mau kami harus mencari kontrakan lagi di daerah yang dekat dengan kantor suaminya. Untuk bertahan tinggal di tempat dulu, rasa-rasanya tidak mungkin lagi karena gaji suaminya akan ludes hanya untuk transport dan lagi jaraknya cukup jauh.
Sebenarnya rumah yang akan mereka tempati nanti sangatlah ideal, dan lagi harga sewanya yang cukup murah untuk rumah se type ini, sepetak rumah ukuran 100 meter persegi ditambah pekarangan yang mengelilingi cukup luas. Tempat seperti ini tidak pernah dijumpainya pada "rumah-rumah" nya terdahulu.Tetapi hanya satu yang membuat Astiti tidak suka, yaitu lingkungan sekitarnya yang amat sangat tidak mendukung.
Di ujung gang masuk terdapat warung tempat berkumpulnya pemuda-pemuda yang suka mabuk. Kalaulah sudah malam hari suara "genjrang-genjreng" irama musik sangat memekakkan telinga ditambah lagi lingkungan tetangga di daerah ini sangat tidak familiar menurut Astiti. Atau mungkin melihat penampilan Astiti yang lain dari kebanyakan wanita disini dengan menggunakan kerudung yang selalu menutup auratnya. Juga satu lagi yang membuat Astiti paling tidak suka adalah di gang sebelah terdapat sebuah rumah "bordil" sarang maksiyat.
Kata orang-orang di sekitar sini rumah bordil tersebut tanpa ijin Pemda setempat alias beroperasi secara gelap tetapi tergolong besar. Tetapi Astiti tidak perduli, mau gelap kek terang benderang kek kalau yang namanya sarang maksiyat tetap saja berdosa, dan sampai saat ini Astiti tidak pernah dan tidak akan mau melihat atau melewati gang sebelah. Ihh Astiti bergidik... Naudzubillahi min dzalik.
"Ada apa dek..kok melamun terus sih...udah selesai belum membongkar kotaknya ?" Teguran mas Iwan membuyarkan lamunan Astiti. "Hhemmm...mana bisa beres sih mas dalam waktu singkat" jawab Astiti dengan ogah-ogahan. "Yaaa..mana bisa cepat selesai kalau sama ngelamun begitu...ada yang bisa di bantu dek..?" tanya Iwan ramah. "Banyak sih kalau mau bantu..... itu kotak-kotak di ruang tamu sama sekali belum aku bongkar, kotak yang sudah dibongkarpun belum sempat aku bereskan " Jawab Nastiti agak meninggi..entah karena letih atau hatinya kurang sreg tinggal di rumah baru ini.
"Ya sudah sini biar mas bantu..pokoknya tanggung beres deh.." Iwan menyahut dengan sabarnya. Memang kalau Astiti sudah terlihat bersungut-sungut terus pertanda hatinya diliputi perasaan kesal dan kalau sudah begitu Iwan tidak akan menanggapi...percuma kalaupun ditanggapi pun nantinya akan meletuplah pertikaian-pertikaian kecil.
Walaupun sudah sepekan mereka boyongan ke rumah baru tersebut, tetapi Astiti masih malas membongkar kardus-kardus barang dan segera merapihkannya. Bahkan ada bebrapa kardus memang sengaja tidak di bongkar olehnya. Karena Astiti berharap kepindahan di rumah ini tidak akan lama. Dan ia berharap Iwan segera dipindah lagi tugas kantornya ataupun kalau tidak mereka menemukan rumah kontrakan lagi yang lebih indah lingkungannya.
Enggan pula Astiti untuk melakukan silaturahim dengan tetangga kanan kirinya. Pikirnya percuma saja diajak menuju kebajikanpun susah akan berhasil. Alhasil selama ini Astiti hanya mengurung diri dan anak-anaknya di dalam rumah saja. Pertama yang ia takutkan adalah banyaknya "virus-virus" yang akan menggerayangi anak-anaknya, apalagi Abdullah sudah berusia 3 tahun dan Ahmad 1 tahun akan mudah sekali meniru apa yang dilihat dan didengar. Entah apa omongan para tetangga yang beredar Astiti tidak mau tahu. Bahkan Astiti pun melarang mbok Yem khadimat yang telah menemaninya semenjak ia anak-anak untuk tidak bergaul terlalu dekat dengan tetangga sekitar.
Semenjak Astiti kecil memang dilahirkan dalam lingkungan yang bersih, dan tidak pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya tinggal di daerah seperti ini. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di lingkungan pesantren, karena Ayahnya termasuk pengajar pesantren. Kemudian ketika menginjakkan kakinya di bangku perguruan tinggi, teman-temannya banyak sekali orang-orang yang aktif dalam kajian keislaman dan Astitipun meleburkan diri dalam aktifitas tersebut. Bahkan setelah menikah dengan Iwan tempat tinggalnya tak jauh dari pusat pendidikan Islam yang besar sehingga lingkungan sekitarnya banyak sekali para keluarga Islami yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Jadi selama ini Astiti selalu tinggal di daerah yang bersih dan terisolasi dari virus yang merusak iman.
*******
Siang itu Astiti pulang dari belanja dan seperti biasanya ia naik mikrolet. Ketika turun dari mikrolet tiba-tiba terdengar celetukan orang dari dalam. "Ehh..nggak nyangka pake jilbab turunnya di warung mang Dirun.." Deg...Astiti terhenyak mendengar celetukan salah seorang penumpang di mikrolet. Ternyata warung mang Dirun tempat berkumpulnya para pemuda berandalan itu terkenal akan kejelekannya.
Perasaan Astiti jadi tak menentu.Sesampai dirumah ia menangis menjadi-jadi. Semakin tak betahlah Astiti tinggal di daerah ini. Kesal juga ia tujukan kepada Iwan suaminya, mengapa begitu teganya memilihkan tempat tinggal di lingkungan ini untuk keluarganya. Malam hari sepulang Iwan pulang dari kantor, Astiti menguraikan perasaan yang menggumpal di dadanya. "Mas...kok begitu tega memilihkan tempat tinggal di daerah ini buat kita" tanya Astiti "Emangnya..kenapa to dek..dek..bukannya dimanapun di Bumi Allah itu sama" timpal Iwan " Lho bagaimana sih Mas Iwan ini, lha dekat tempat maksiyat kok ya di jadikan alternatif tempat tinggal...emang nggak ada tempat kontrakan lagi yang lebih baik.." "Ada sih dek tapi itu di perumahan elite seberang jalan, kalau dek Asti mau tinggal di sana gaji Mas nggak cukup..maaf ya dek" canda Iwan. "Mas Iwan sih enak, pergi pagi ke kantor pulang sudah menjelang maghrib, sedangakan aku... mas yang disini sepanjang hari sudah tidak betah melihat berbagai kemaksiyatan di depan mata" Astiti semakin kesal saja dengan Iwan yang masih bisa bercanda padahal ia sudah gondok sekali. "Sebenarnya sebelum Mas putuskan untuk memilih tempat tinggal disini, sudah putar kesana kemari mencari kontrakan. Ada yang di gang samping kiri itu rumahnya kecil sekali hanya ada satu kamar tetapi kontrakannya 2 kali lipat di sini. mas juga heran dek mengapa harga kontrakan rumah ini begitu murah.. Menurut pak RT, karena yang menempati rumah sebelum kita ditemukan bunuh diri dengan gantung di pohon mangga di pekarangan. Hemm apa itu yang membuat dek Asti takut tinggal disini..."tukas mas Iwan "Masya Allah mas...biarpun ada seratus demit, jin dan sebangsanya mengganggu kita ..Insya Allah aku nggak takut mas.." "Bener nih.." selidik mas Iwan. "Rasulullah kan bersabda apabila hendak mencari tempat tinggal, kita juga harus melihat tetangga kiri kanan alias kita juga harus memperhatikan lingkungannya.." timpal Astiti.
"Lalu de Asti mau apa...mau pindah, atau mau tinggal di rumah bapak ..." tanya Iwan dengan sabarnya. Astiti terdiam seribu bahasa. "ya..memang idealnya rumah yang akan ditempati memang seperti demikian. Tetapi kalau kondisinya seperti ini bagaimana dek...Lagian Mas sudah membayar uang kontrakan selama setahun, sayang khan kalau kita sudah keburu pindah.."Iwan menjelaskan. Astiti tetap berdiam saja. "Sabar dulu ya dek...Insya Alloh ini merupakan ujian bagi kita. Dimanapun juga kita tinggal yang namanya ujian itu pasti ada dari Alloh. Nah itu artinya kita sebagai orang beriman karena Alloh mendatangkan ujian buat hambanya..." jelas Iwan, "Tinggal bagaimana kita bisa melaksanakan ujian ini atau tidak, artinya kita dapat tinggal di daerah ini tanpa kita teracuni, dan yang terpenting bagaimana kita dapat ber'amar ma'ruf nahi munkar terhadap tetangga.."
Kalau sudah begini Astiti sudah tidak dapat mengelak lagi argumen Iwan, karena yang dikatakannya memang ada benarnya. Tinggal bagaimana Astiti menterjemahkan kata sabar dalam kehidupannya sekarang ini. memang benar-benar harus sabar karena tidak terdengar suara adzan Duhur , Asar serta isya', sebagai gantinya terdengar nyanyian musik dangdut. Hanya terdengar adzan Maghribdi surau yang amat sangat kecil dan jarang dipenuhi jamaah.
******
Siang ini terjadi sebuah insiden kecil di dapur Astiti. Rupanya mbok Yem terburu-buru memasukkan minyak di dalam kompor dan minyak berceceran kemana-mana, sehingga ketika akan dipakai kompor tersebut meledak dan menimbulkan suara keras. Astiti yang baru saja menyelesaikan shalat duhur di kamar menjadi panik. Ia langsung menyambar Ahmad dan Abdullah yang sedang tertidur lelap.
Mereka berdua merupakan kekayaan yang paling berharga buatnya di dunia ini. Dan segera memerintahkan mbok Yem segera pergi. Terlihat tangan mbok Yem sebelah kiri agak melepuh. mungkin sedikit terkena jilatan api. Keluar rumah Astiti langsung berteriak minta tolong, segeralah berdatangan para tetangga untuk menolongnya. Sedangkan dari arah warung mak dirun, para pemuda yang biasanya berkongkouw-kongkouw langsung masuk ke rumah Astiti, sekitar lima belasan orang pemuda masuk dan segera membantu memdamkan api yang menjilat dapur Astiti. Tampak semangat sekali mereka. Ada yang mengambil air di sumur, ada yang menyemprotkan air dari keran, ada yang mengambil pasir untuk disebarkan ke arah api.
Sedangkan Astiti bersama dua anaknya dan mbok Yem berada di rumah mbak Marni tetangga sebelahnya. Mbak Marni mengambilkan air putih untuk Astiti, dan mbak Lastri tetangganya pula membantu meredakan tangis Ahmad yan kaget melihat kejadian di rumah nya. "Bu Iwan...sabar ya bu...ini air putih ayo diminum dulu, ayo mbok Yem di minum juga " suruh mbak Marni. "Terima kasih ya mbak Marni" ucap Astiti lirih. Pada saat genting seperti ini Ia hanya pasrah kepada Allah saja. "Bu..kalau api belum bisa padam nanti bisa tidur di rumah saya saja, kasihan anak-anak" ajak mbak Marni. Astiti hanya bisa mengiyakan, di dalam hatinya hanya berdoa agar api tidak menjalar kemana-mana.
Suasana jalan di rumahnya, siang ini benar-benar ramai sekali. Tetangga-tetangga Astiti bahu membahu memadamkan api yang ada di rumah Astiti. Alhamdulillah tidak sampai setengah jam api berhasil di padamkan, berkat kerja keras para warga dan juga bantuan pemuda-pemuda itu yang berani memadamkan api sehingga jilatannya hanya sampai dapur saja. Itupun hanya daerah di sekitar kompor saja yang terkena, barang-barang lain di dapur dapat diselamatkan.
******
Kejadian siang itu, telah membuka hati Astiti. Ternyata para pemuda yang selama ini amat dibencinya, telah membantu keluarganya untuk memadamkan api. Ternyata mbak Marni tetangga sebelah rumah, yang bekerja pada malam hari, dan sempat membuat Astiti menjadi tak suka telah banyak membantunya. Ternyata mbak Lastri, mbak Mur, mbak Rini yang sering berdandan menor juga membantu Astiti dengan suka rela. Ternyata bu Dedeh, bu Jali, bu Anom yang sering terlihat oleh Astiti ngerumpi di mana-mana mambantunya pula....
Dari kejadian ini Astiti segera tersadar bahw sebenarnya mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang baik, tetapi mungkin tidak ada yang mengarahkan jadilah masyarakat seperti ini. Selama ini ternyata ber amar ma'ruf nahi munkar yang Astiti terima hanya sebatas konsep-konsep belaka dan belum pernah dipratekkan dalan kehidupan sehari-harinya.
Kemudian segera Astiti mendiskusikan dengan Iwan suaminya bagaimana cara-cara berdakwah di lingkungan seperti ini. Tentu saja Iwan senang sekali mendengar penuturan dan semangat Astiti. Akhirnya mereka berdua membagi tugas, stiti mencoba mendekati para ibu dan anak-anak sedangakan Iwan mencoba mendekati para pemudanya. Di sela-sela kesibukan yang menumpuk, mereka berdua mencoba mengimplementasikan konsep dakwah yang pernah dipelajari.
Pertama-tama yang dilakukan Astiti adalah mencoba mendekati anak-anak kecil. Astiti mengundang sekitar 30an anak -anak seusia 4 tahun sampai 7 tahun dengan alasan syukuran.Dibuatkan kantong-kantong kecil berisi permen dan biskuit. Permainan anak-anak yang meriah di pekarangan rumahnya yang cukup luas dibuatnya. Kalau sudah begini Astiti bersyukur sekali mempunyai pekarangan rumah yang cukup luas.Setelah capai bermain, anak-anak diajaknya berkumpul untuk dicoba mengetahui hafalan surat dan sedikit pengetahuan tentang agama. Cukup shock juga Astiti terhadap anak-anak seusia tersebut ternyata tidak hafal dengan surat Al Fatihah. Tetapi lagu-lagu dangdut mereka cukup fasih melantunkannya.
Sekarang kalau sore hari, anak-anak banyak yang bermain di pekarangan rumah Astiti. Sekarang mereka tidak takut terhadap sosok Astiti, yang menurut mereka dahulu terlihat amat galak. Astiti tersenyum sendiri. Lama-lama anak-anak yang suka bermain di pekarangan rumah diajak untuk shalat Maghrib berjamaah dengannya, tentu saja hal ini merupakan sesuati yang baru bagi anak-anak itu. Tetapi mereka menyambut dengan senang. Kemudian dilanjutkan dengan belajar mengaji.
Semakin lama jumlah anak-anak yang sering menyemarakkan rumah Astiti bertambah. Kalau dulu hanya sekitar 10 orang, sekarang berjumlah sekitar 25an anak. Kadang Astiti semakin kewalahan karena banyaknya. Dan ia sekarang dipanggil ibu Haji oleh anak-anak itu, ia hanya meng amin kan mudah-mudahan terkabul cita-cita mulia ini.
Sambutan positif ternyata juga bergaung pada ibu anak-anak tadi. Ibu-ibu di lingkungan ini ada yang meminta tolong agar Astiti mengajarkan membaca Alquran. Tentu saja kesempatan emas ini tidak disia-siakan olehnya. Tersebutlah nama mbak Marni, mbak Lastri, mbak Mur, bu Dedeh, bu Anom dan ibu- ibu lainnya menyemarakkan rumah Astiti untuk belajar membaca Alqur'an dan juga di selingi oleh Astiti untuk mengajarkan Islam.
Iwanpun tak ketinggalan pula dalam mencoba beramar ma'ruf nahi munkar. Para pemuda yang sering berleha-leha di ujung jalan sering pula bertandang ke rumah.Mereka salut terhadap Iwan, karena Iwan yang berpendidikan tinggi mau bertutur sapa dengan mereka yang rata-rata pemuda putus sekolah dan pengangguran.
Sekarang pun jarang dijumpai para pemuda-pemuda itu ber mabuk-mabukan. Tetapi suara musik yang mereka nyanyikan kadang masih terdengar. Tetapi itupun pada hari Sabtu malam saja. Kini mereka dikoordinir oleh Iwan untuk mengerjakan suatu ketrampilan tertentu yang dapat menambah penghasilan. Jamaah di surau pun mulai ramai. Iwan berusaha menghidupkan aktifitas di surau tua itu. Sekarang suara adzan pun terdengar lima waktu berkumanadang.
Memang untuk merubah sesuatu secara frontal tidak semudah membalikkan tangan, tetapi butuh pengorbanan yang besar terutama kesabaran.Astiti dan Iwan berusaha untuk memutihkan daerah mereka yang dahulu hitam. Tentunya banyak juga halangan yang menimpa mereka. Tetapi mereka tetap optimis karena Allah lah yang menyertai mereka.
Ada lagi harapan dan cita-cita Astiti..yaitu mencoba memutihkan gang sebelah dengan lokalisasinya.Yaa tentunya cita-cita mulia ini Insya Allah akan ditegakkannya. Namun memang butuh waktu untuk itu semua. Allah akan bersama mereka...
Sumber:
cerpenislami.blogspot.com
============================================================================
AKU INGIN MENIKAH……
Oleh : Sophie(Sumber : http://sophie4519.multiply.com)
Episode 1
Palembang, 20 September 2007Hari ini aku bahagia sekali Dy, seorang lelaki telah melamarku. Ia akan menikahiku 6 hari lagi. Pernikahan akan berlangsung setelah shalat Jum’at dan disaksikan para jemaah masjid As-Shaff. Setelah itu kami akan langsung terbang menuju Makkah.
Dy, Umroh adalah Mahar darinya, dan yang lebih mengharukan lagi, ingatkah engkau malam apa itu Dy?, Benar sekali!. Malam Nuzulul Quran, malam bersejarah bagi umat Islam. Di malam turunnya Al-quran, aku akan menjadi seorang istri. Dy, impianku akan terwujud. Lelaki itu, sang pemimpinku, dia berjanji akan menghadiahkan surah Ar-Rahman.
Dy, sudahkah aku ceritakan tentang Surah ini?. Belum yah, mungkin aku lupa. Tapi Dy, terakhir aku datang untuk melihat kakekku, aku berikan hadiah Surah ini, dan ketika beliau wafat, aku duduk di dekatnya sambil kudekap, kukatakan, apa khabarmu wahai kakekku? Kulihat engkau seperti tidur. Baiklah setelah surah Yaasin, akan kukirim lagi surah cinta ini, surah yang mengingatkan kita betapa besar nikmat Allah telah diberi. Dy, sambil menangis kubacakan surahnya. Hanya aku, kakek, Allah dan malaikat yang tahu, betapa aku sangat kehilangannya.
Sudahlah kita lupakan masa lalu yah. Tapi Dy, aku ingat kembali apa permintaannya, permintaan yang belum bisa aku kabulkan sebelum orangtuaku pergi menunaikan ibadah Haji. Kakek mengatakan didepan bapak, ibu, dan kakakku. Setelah orang tuaku berhaji, Kakek akan datang lagi dan menginap dirumah kami untuk menghadiri pernikahanku. Saat itu aku hanya tersenyum, dan menjawab InsyaAllah dalam hati.
Aku yakin Khabar ini telah sampai kepadanya, dan ia turut bahagia di alam sana. Dy, di bulan Ramadhan ini apalagi kebahagiaan yang dapat kuungkapkan selain sujud syukurku kepada Allah. Pertama hari lahirku bertepatan dengan awal Ramadhan dan sekarang aku seakan terbang ke langit ketujuh.
Dy, ternyata Allah tidak pernah mengingkari janjiNya. Ia benar-benar memberikan lelaki yang terbaik, bukan terbaik atas permintaanku tapi terbaik dari pilihanNya.
Dy, doakan yah semoga ini bukan mimpi. Sebentar lagi aku akan menyambut kebahagiaan terbesar dalam hidup seorang gadis. Dy masih ingatkan dengan doaku waktu itu, engkau yang menemaniku. Ku tulis dalam lembarmu, doa suciku. Dy akan kutulis lagi agar aku tak lupa. Boleh yah. Terimakasih sahabatku.
Di Penghujung HijriahAduh Dy, jika aku ingat tulisanku dulu jadi malu, bayangkan di blog ini aku telah melakukan tindakan besar yang tidak pernah bisa aku lupakan. Disinilah aku membuka diriku, apa adanya. Apapun kata orang aku akan tetap menulis, walau cuma tulisan biasa, puisi sederhana yang mungkin sebenarnya tak pantas disebut puisi mungkin hanya ungkapan hati.
Apa yang kau rindukan di penghujung hijriah ini?
“Semua orang pasti akan berharap menjadi lebih baik ^_^”
Begitu juga aku, dan tahukah engkau yang sangat kurindu ^_^
Kupinang engkau dengan Alquran
Kokoh dan suci ikatan cinta
Kutambatkan hati penuh marhamah
Arungi bersama samudra dunia
Jika terhempas di lautan duka
Tegar dan sabarlah tawakal pada-Nya
Jika berlayar di sukacita
Ingatlah tuk selalu syukur pada-Nya
Hadapi gelombang ujian…sabarlah, tegar, tawakal…
Arungi samudra kehidupan…ingatlah syukur pada-Nya
“Allah jika aku masih memiliki waktu
Ku ingin mengenapkan dienku dengan kebaikan ini
Allah jika belum pantas jagalah hati ini
Agar tidak tergelincir
Allah jika belahan jiwaku telah datang
Ikhlaskan hati ini untuk menerimanya
Dengan segala kebaikan, kelebihan dan kekurangan darinya”
“Allah bila hati merindu
Maka labuhkan hati ini padaMu
Allah jika hati bimbang
Kuatkan agar langkahku tak goyah
Allah jika samudra begitu luas
Maka layarkan hati ini pada perindu cintaMU”
.:: Senandung di ujung hijriah ::.
Dy, akan kuperkenalkan engkau dengan lelaki itu. Ia adalah muridku. Namanya Muhammad Hanif Akbar, kami hanya pernah bertemu sekali tetapi ternyata ia tidak pernah melupakan aku.
“Kenapa?”
“Apa, Kau bilang apa Dy?”
“Dia tidak pernah melupakan aku karena jatuh cinta padaku?”
Oh bukan Dy, ia tidak mengatakan cinta dalam suratnya eh dalam emailnya. Duuh Dy, aku kok lupa. Email kan sama saja dengan surat. Hehehe. Instruktur komputer kok bego hehehe, udah ah boleh dong error sedikit. O’iya tadi aku belum sampaikan isi emailnya. Baca ya Dy,
To : sophie@palcomtech.comThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view itDy, engkau masih disitu? Kenapa? Gila!!!. Yah aku pikir ini email benar-benar gila. Aku tidak mengenal orang ini, tiba-tiba mengatakan akan menjalin ikatan suci denganku. Mimpi kali ye, hehehe.
From : “Hanif” < Hanif@yahoo.comThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it >
Date : Thu, 20 Sep 2007 03:00:03
Subject : Assalamualaikum Wr.Wb
Apa khabar Ibu Sophie?.
Semoga Allah selalu memberi keberkahanNya untuk kita semua, Allahuma Amin.
Sebelumnya maafkan saya yang tiba-tiba menulis surat kepada anda.
Langsung saja, saya berniat untuk menjalin ikatan yang suci dengan anda.
Ini bukan sebuah lelucon, tapi kebenaran.
Saya telah beristikharah kepada Allah, dan Allah telah memilih Anda untuk menjadi pendamping hidup saya.
Saya berikan waktu 2 hari untuk istikharah. Silahkan reply email saya di Sepertiga Malam. Disini saya Attach Biodata, Goal Setting 10 Tahun, Foto dan Mahar.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jepang, 20 September 2007
Muhammad Hanif Akbar
Tapi Dy, aku penasaran dengan isi attachment mailnya. Aku fikir tak ada salahnya, sapa tahu isinya lelucon yang lebih gila. akhirnya aku coba mendownload 4 filenya. Pertama yang aku download biodatanya, tapi belum aku lihat, aku lanjut lagi mendownload goal setting 10 tahunnya. Terus kulanjutkan mengambil file fotonya dan mahar, aku tidak tahu apa maksudnya dengan mahar. Memangnya mahar bisa di attach. Dasar sableng!.
Dari semua filenya, aku membuka…loh kok gelap, Yah mati lampu Dy. Aku kesal, Mana filenya tadi di save di desktop. Kalau sudah begini, hilanglah filenya karena aku menggunakan system deepreeze. Tak ada file yang akan tersimpan dalam system C atau sistem komputernya. Aduuuh, aku menyesali kebodohanku. Dalam hati masih ngedumel, lagi ngak musim mati lampu eh tiba-tiba mati lampu. Sabar ucapku, mungkin ini cobaan. Tapi Dy, sampai pagi ternyata listrik di rumah nggak hidup juga. Temennya bawang “CABE DECH”.
***
Aku bersiap ke kantor masih dengan perasaan kesal. Sangat kesal dan penasaran. Sudah sepuluh menit aku menunggu Uwak Kandar, tapi belum kelihatan. Oh Mr. Ojek kemanakah engkau, aku bisa terlambat, ucapku. Akhirnya Dy, aku pergi naik angkot dan bisa kau tebak?. Well, aku terlambat. Bagus sekali, sekarang point keterlambatanku bertambah lagi, siap-siap kena marah bos.
Tapi hore, hip-hip hore. Wah kalau ada pemandu sorak, aku ikut menari bersamanya. Ups!, nggak boleh yah. Tahu nggak Dy, ternyata listrik di kantor juga mati. Selamat ucapku, secepatnya aku ke ruang akademik, ituloh tempat nongkrongnya Vivi yang suka latah sama “Nyebelin” eh Lindia maksudku. Dy, Lindia kok ku panggil “Nyebelin”, itu karena dia punya id YM susah disebut “blve_fvn”. Tapi nggak boleh yah, seharusnya kita memanggil nama dengan indah, karena nama adalah doa.
Sukses, absen manual sudah di isi. Sambil duduk ku lihat di ruang karyawan, penuh oleh staf. kami menyebut ruang ini dengan aquarium, karena letaknya ditengah-tengah ruang dan dikelilingi kaca. Asyik sekali sepertinya obrolan mereka, maklum kalau para pria telah berkumpul apalagi yang dibicarakan kalau bukan persiapan tuk futsal malam minggu nanti.
Dari arah tangga kulihat mbak Alin, salah satu rekan kerja dan sobat terbaikku sedang berjalan cepat, “wah ternyata terlambat juga”, fikirku. Mungkin kecapean memikirkan persiapan walimahnya bulan depan, insyaAllah setelah lebaran.
“Fie, rumahmu mati lampu nggak?”
“Di tempatku mati, di Palcom juga. Kok bisa mati total yah?”.Ucapnya setelah mengisi absensi.
Jawabku “Ya iyalah, gimana ngak mati total. Tadi aku baru dapat sms dari Yuni “For Sister”, temanku yang bapaknya kerja di PLN, katanya terjadi kerusakan di PLN Pusat, dan gardu induk dekat pembangunan fly over konslet. Makanya listrik padam. Semoga saja bisa cepat diperbaiki”.
“Ya udah yuk turun”, kataku.
“Kita kasih tahu dulu siswa untuk menunggu 30 menit, kalau listrik belum nyala juga, kita ganti di lain hari”.
Maka kami berduapun turun. Mbak Alin ke lantai 3, aku ke lantai 2. Dan ternyata para security dan OB telah menutup semua kelas, jadilah koridor penuh sesak siswa yang masih menunggu.
Setelah bertemu siswa, aku pergi ke ruang shalat. Ternyata disinipun ramai, siswa putri duduk sambil mengobrol, ada yang sms, dan bertelepon.
Salah seorang diantaranya menyapaku, cuma basa basi. Tapi aku duduk didekatnya. Ku tanya bagaimana laporan akhirnya, dia jawab belum selesai. Akhirnya aku sandarkan tubuhku di dinding, kucoba pejamkan mata.
Aku baru ingat, setelah salah satu siswa menyebut kata email. kembali aku teringat dengan email “Lamaran”, huhuhu. Aku tersenyum geli, bila mengingat lagi isinya. Dasar orang kurang kerjaan. Tapi diam-diam, aku suka juga. Duee Grr hehehe. Waduh aku jadi malu nih. Dari pada mikir yang nggak-nggak segera aku berwudhu dan shalat dhuha, kebetulan kulihat ada beberapa siswa sedang shalat dan ada juga yang tilawah.
***
Akhirnya ba’da Ashar listrik hidup, dan innalillahi. Server error, semua staf EDP bergerak cepat, jika tidak semua data akan hilang. Kami hanya bisa berdoa, terutama aku. Aku berharap email kantor tidak apa-apa. Bagaimana bila error, semua surat akan hilang dan yang terpenting sekarang adalah Email “Lamaran” untukku, jangan sampai hilang.
Pak Alam, bos EDP telah berusaha, tapi baru 30% data yang di cek. sampai berbuka kami terus mensupportnya. Shalat maghrib kali ini terasa begitu nikmat, kami berjamaah dan berdoa dengan khusyuk berharap Allah masih mau membantu kami.
Tepat pukul 19.00, aku selesai mengajar dan kakakku telah menunggu dengan setia diatas RX Kingnya. Ah kapan aku bisa mengajakmu shalat bersama kak?. Ingin sekali rasanya aku melihatmu berada dalam masjid, seperti dulu ketika kita kecil, kau dulu sering bermain di langgar sebelah rumah, adzan, takbiran di malam lebaran, memukul bedug bersama teman-temanmu. Tapi seperti kata ustad, shalat adalah kesadaran, kita hanya bisa mengingatkan. Semua kembali pada dirinya sendiri. Jika ingin berubah, insyaAllah pasti Allah akan membantunya. Jangan berhenti mendoakannya. Terus berikan contoh semoga Allah berkenan membuka hatinya. Samapai saat ini kakakku masih bolong-bolong shalatnya.
***
Langit malam masih kelam, kuintip sebentar dari balik jendela. Barisan daun katu masih berjajar dengan rapi, terlihat beberapa helai daun yang menguning.
Setelah shalat Isya dan Tarawih sendirian dikamarku, aku ah kembali keraguan itu tiba, akankah kunyalakan komputer atau ah, lagi-lagi aku resah. Akhirnya kurebahkan tubuh yang lelah ini di temapt tidurku. Berusaha ku pejam mata ini tapi tak mau juga. Ku bolak balikkan tubuh tapi tak kunjung nyaman kurasa.
Akhirnya ku ambil handphoneku dan kulihat jam yang tertera disana. 22:20 menit, hampir setengah sebelas malam. Dan aku masih gelisah. Aku baru teringat tadi siang, Erly staf baru keuangan, teman baruku meminjamkan buku yang dulu pernah kudengar bahwa buku itu bagus sekali ceritanya. Buku “Diorama sepasang AlBanna”, aku segera membuka tas hitamku yang sudah lusuh.
Lumayan tebal, tapi tidak setebal Ayat-Ayat Cinta. Ku baca sinopsisnya, belum menantang. Dari Erly sedikit diceritakannya tentang perjalanan hidup seorang ikhwan dan akhwat sampai mereka menikah dan perjalanan mereka itu yang sungguh sangat mengharukan.
Dalam hatiku, boleh juga bukunya. Apalagi ada tulisan bahwa novel ini adalah karya terbaik kedua dalam sayembara menulis novel remaja Islami Mizan 2002. Yang lebih membuatku kagum dua nama yang menjadikan buku ini patut di perhitungkan, dua penulis favoritku, mbak Helvy dan mas Gola Gong.
Dua nama yang kukenal setelah Dosenku menghadiahkan novel duet mereka dalam Nyanyian Sunyi sebagai hadiah atas Hijrahku.
Tak terasa aku terus membaca dan berkali-kali air mata ini menetes. Tokoh Rani sangat menyentuh hatiku, dan gaya sang lelaki sangat nyata bagiku. Bila Rani menyusun kepingan Puzzle dunia dakwah, maka aku menyusun kepingan puzzle titik akhir perjalananku.
Pada halaman 58, aku menemukan kata-kata indah “Aku hanyalah sepotong kayu yang rapuh, terombang-ambing disungai deras. Tak juga bertemu muara, agar bisa mengapung tenang dilautan luas. Karena di tengah jalan aku terhempas oleh sebatang pohon yang melintang di tengah sungai. Aku hancur berkeping-keping…”
Duhai mbak Ari, jika Allah berkenan mempertemukan kita. Alangkah banyak yang akan aku ucapkan. Maha Suci Allah yang telah memberikan kata-kata indah dalam tulisanmu. Ketika rasa itu hadir, akupun terkadang tak kuasa. Hanya Allah yang tahu.
Ketika engkau menulis tentang wanita, aku begitu terpesona. Sepertinya engkau berbicara padaku, engkau mengambarkan kepribadianku. Wanita ini yang selalu berkutat dengan ilmu, berada diluar istananya, membagi ilmu berharap akan lahir manusia-manusia yang nanti bisa lebih beradap.
Tapi wanita ini, lemah dalam berdandan, lemah dalam memasak, tugas utamanya bukan ia lupakan, tapi ia belum punya waktu untuk memulainya. Bila ada tak ada yang menemani, ia tak berani bertindak sendiri. Karna ia hidup bukan dirumah sendiri. Terlalu banyak mata, mulut dan ah, malas aku membahasnya, bagi mereka seberapapun dewasanya aku, aku tetaplah anak kecil. Biarlah mereka yang mengerjakan semuanya. Aku hanya berkerja dan hiduplah dengan duniaku.
Tapi ibu, mbakku, tanteku. Betapa aku merindu saat-saat ini, untuk memotong daging, membersihkan ikan saja aku tak tahu. Bagaimana nanti bila berumah tangga? Haruskah aku membeli lauk melulu? Bisa bangkrut aku. Apa kata suamiku nanti. Arggggh. Mataku lelah setelah berkali-kali berlinang air mata.
***
AlBanna, sang pembangun. Nama yang tak asing. Walau aku bukan aktivis dakwah yang baik. akhwat futur, akhwat tak jelas Mrnya, akhwat yang belum ngaji-ngaji sampai sekarang. Tapi aku tetap loyal. Dakwah selama di kampus cukup menyedot memori otakku. Tapi bukan itu saja, seseorang dengan nama inipun telah berhasil membuatku lemas tak berdaya, setelah virus bersarang tepat di jantungku. Menambah kekotoran dalam hati. Tapi aku telah berhasil sedikit-sedikit mengikis lumut yang menutupi hatiku.
Jika dia jodohku, Allah pasti akan memberinya, jika tidak akan ada yang lain. Masih banyak mujahid bertebaran di bumi Allah ini. Seperti beberapa hari yang lalu saat aku hadir dalam acara partai yang kudukung, walau aku tak suka politik. Tapi semoga sedikit demi sedikit nanti aku bisa berjuang bersamanya.
Allah, maafkan aku. Bukannya aku cuci mata, tapi memang banyak ikhwan disana, aduh aku lupa menjaga pandangan. Astaghfirullahal Adzim. Tapi bolehkan Allah, aku melihat saja. Siapa tahu soulmateku lagi berdiri disana dengan baju koko, atau jangan-jangan yang sedang memakai baju kepanduan.
Halah, apa sih yang sedang aku fikirkan ini. Duh hati yang buat aku semakin malu. Malu pada Allah, dan malu pada bidadari yang turun ke bumi, yang dengan setia telah mempersiapkan jiwanya lahir dan bathin untuk menegakkan Islam, dan mencetak generasi Rabbani.
***
“Dek, dek!”.
Kudengar suara kakakku sambil pintu kamarku diketuk.
“iya, sebentar lagi kusiapkan makanan untuk sahur”. Tapi kali ini kakakku bilang “Dek, dah jam 4 lewat nih, cepetan ntar lagi imsak”.
“Apa?”, secepatnya aku bangun dan membuka pintu sambil kulihat jam di dinding. Ya ampun, kesiangan nih.
Akhirnya kami makan dengan lauk dingin, air putih. Alhamdulillah. Syukur dipanjatkan, masih bisa sahur. Bayangkan dengan orang yang berpuasa tanpa sahur. Wah tak dapat ku bayangkan.
Jadi ingin mendengar murattal Ar-Rahman. Segera ku hidupkan komputer dan aku memutarnya di Winamp.
Tanpa sadar aku menghidupkan modem dan mulai melakukan koneksi internet. Beberapa detik kemudian aku sudah online. Dan aku sign in ymku. Ada offline message, beberapa teman mengirimkan Hadist dan ayat Alquran untuk renungan. Dan kulihat ada informasi message mail. Langsung aku klik dan tidak beberapa lama terbuka mail yahooku. Well beberapa posting milis masuk, wah ini bukan beberapa lagi kalau sudah 49 message. Setelah ku cermati subjectnya, hanya posting biasa. Maka aku klik sender dan beberapa email penting ku klik agar tak terhapus. Sampai mataku tertuju pada satu email, aha from hanif@yahoo.com.This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it Ternyata, ia memforward emailku di yahoo juga. Segera ku klik, ku batalkan mendelete surat. Dan semua file berhasil ku download. Alhamdulillah.
***
Sayang adzan Subuh, menghentikan segala kegiatanku. Lama aku berdoa, memohon pada Allah agar aku diberi kekuatan. Umat Islam juga, aku berdoa untuk keluarga, almarhum kakek dan nenek. Serta ku doakan seluruh saudara yang terkena musibah akan di balas Allah dengan nikmat tiada tara.
Kulirik Quranku, kuambil sambil seperti biasa aku ajak Allah berdialog. “Allah kali ini Engkau akan berkata apa?”. Baiklah Bismillah kupejam mataku dan jemari tanganku mulai menari mencari tempat yang pas dan nyaman. Perlahan kubuka mataku dan kudapati Surat Al-Mukminun, bersanding dengan Surah An-Nur.
“Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu, tetapi kamu selalu mendustakannya?” (Al-Mukminun:105).
“Sungguh ada segolongan dari hamba-hambaKu berdoa “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat, Engkau adalah pemberi rahmat yang terbaik” (Al-Mukminun:109).
Berkali-kali kubaca lagi dan dari semua ayat, Al-Mukminun 105 dan 109 lebih aku resapi.
Setelah tilawah, walau mengajiku tidak bagus, walau sampai sekarang surah Al-Baqarah belum selesai kubaca, setidaknya aku telah berusaha, semoga Allah membalasnya kelak. Aku ingat mbak Diana, teman mayaku pernah mengirim hadist, kita akan mendapat syafaat dari tilawah, dan satunya ah aku lupa. Nantilah jika aku online akan kuminta ia mengirim kembali.
Aku kembali menatap monitor komputerku. Ada rasa aneh menjalar dalam tubuhku, aku arahkan mouse untuk melihat…ah yang mana dulu nih. Tapi mouse telah mengklik file mahar, dan disana terlihat sebuah tiket berisi perjalanan umroh ke Makkah, 16 Ramadhan. Dan ada lagi tulisannya “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”.
Sebuah catatan kecil terselip “Alangkah indah andai aku bisa menghadiahkan Surah Ar-Rahman untuk Istriku di Tanah Suci”.
Ya Allah, bukankah ini yang kuinginkan, bila aku menikah aku ingin suamiku membacakannya.
Airmataku tak terasa telah menetes dan aku tak kuasa untuk membacanya lagi. Entah berapa lama, aku baru bisa membuka mataku lagi. Setelah aku membuka memori lama tentang kisah surat Ar-Rahman.
Allah bisik hatiku, izinkan aku melihat wajahnya. kubuka file berisi fotonya. Dan kudapati seraut wajah, aku terdiam.
Bagaimana mungkin? Bukankah wajah ini adalah wajah yang selalu hadir memberi postingan di setiap tulisanku. Yang isinya tak lebih dan kurang berisi tausiyah. aku juga sering mengunjungi blognya, untuk menambah energi tuk ruhiyahku. Wajahnya sebenarnya tak terlihat hanya sebuah gambar langit fajar dan satu bintang bersinar. Dalam profilenya sudah pernah kulihat, ia seorang suami dan memiliki 2 orang anak. Dari semua kumpulan fotonya hanya berisi kaligrafi, masjid, dan 2 orang remaja putri berjilbab. Aku perkirakan usia mereka 15 dan 10 tahun.
Ya Allah, ucapku dalam hati. Bagaimana mungkin. Aku memang mendukung poligami, tapi aku belum bisa ikhlas. Apalagi harus menjadi istri kedua. Tubuhku sudah lemas duluan.
Aku kembali mengklik file dan membaca biodata dirinya.
BiodataAku masih terpana dengan semua yang telah ditulisnya. Rasanya bumi tidak kupijak lagi. Semua yang ditulisnya adalah impianku. Dia telah mengambil seluruh isi hatiku. Kutatap wajah itu, biasa saja. Mata teduh, hidung agak mancung, rambut agak bergelombang, bibir yang tipis dan tanpa senyuman, tapi terlihat cool. kulihat jenggot terhias didagunya. Tapi sayang aku tak bisa jadi istri keduanya.
Nama : Muhammad Hanif Akbar
Agama : Islam
TTL : Palembang, 31 Desember 1977
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Dokter
Hobi : Baca buku, Mendengar nasyid, Travelling
Alamat :
1. Jepang, segera berakhir 2 hari lagi (Tapi aku akan mengajak calon istriku berkunjung kesini dan melihat salju, InsyaAllah)
2. Indonesia, Palembang. Jl. D.I Panjaitan No.505, Bagus kuning Plaju (Rumah Orang Tua)
3. Sedang disiapkan sebuah istana mungil untuk istri dan anakku, rumah limas kebanggan wong Palembang.
Tempat Berdakwah : Rumah Sakit Umum M. Husin Palembang dan Rumah Sakit Islam Internasional Palembang (segera).
Keinginan : Membahagiakan seorang wanita, menjadi pemimpinnya dan menjadi teladan bagi anak-anak.
Terakhir :
Saya ingin bercerita tentang pertemuan kita.
Ibu Sophie, saya adalah salah satu murid di kursus Expressmu. Dulu engkau mengajarkan internet kepadaku dan teman-teman. Mungkin engkau sudah lupa. Tapi dari engkau, saya bisa berada di belahan bumi Allah yang lain, mensyukuri segala nikmat yang telah diberiNya.
Ibu Sophie, Demi Allah, aku tak pernah menyimpan sesuatu yang tak halal dalam hatiku.
Hanya Allah yang telah memberi jalan. Mengenai blog, saya hanya menjalin ukhuwah karena kita satu daerah. Tapi selama ini saya tidak pernah memikirkan suatu rasa apapun terhadap ukhti.
Sampai suatu ketika, ketika hati merindu menikah. Saya beristikharah dan pada satu malam saya melihat wajahmu, bukan wajah dalam blog. Tapi wajah wanita yang sedang mengajar, dan kudapati seraut wajah itu berusaha menyampaikan tujuan hidupnya, tiba-tiba aku terbangun. Maaf dalam setengah sadarku terucap namamu.
Bila engkau berkenan, silahkan melihat foto dibawah ini. Tidak ada manusia yang sempurna.
***
Satu filenya belum sempat aku buka, karena aku harus bersiap untuk kerja. Segera kumatikan komputer, dan berusaha menenangkan diriku. Masih ada satu malam sebelum aku mengatakan isi hatiku, aku masih bisa istikharah, ucapku. Walau dalam hati aku telah condong untuk melupakannya. Bagaimana mungkin aku sanggup menjadi wanita kedua.
Episode 2
Palembang, 21 September 2007Pagi ini aku banyak berzikir, di atas motor aku memandang kosong. Debu berterbangan tak kuhiraukan, sang fajar dan bintang tak kutatap kali ini. matahari pagi inipun tak kusapa.
Aku melangkah memasuki area kantor, begitu pintu kubuka aku di sambut senyum Wiza, salah satu CSO kami. Akupun menumpang absen ngajar dari komputernya.
Aku langsung menuju ke lantai 2. Baru beberapa langkah, seseorang memanggilku. Rupanya mbak Atin, kepala pendidikan. Ia bertanya padaku, Sofi ada kelas yah? Dan kujawab iya. Tapi di jawab lagi, bukannya hari ini semua kelas diliburkan, kan sistem belum normal.
Ya ampun, Sofi lupa mbak, jawabku. Nggak papa katanya, nanti sewaktu cekout ngajar bilang aja lupa. Ok deh, mbak ke atas yah.
Ok, makasih. Mbak jawabku.
Akhirnya aku tidak jadi ke atas, kebetulan ada 2 kelas di lantai 1 ini yang di buka. Maka aku kesana, membuka worksheet dan cekout mengajar. Percuma juga aku disini, internet tidak konek. Tiba-tiba, aku ingin bersilaturahmi dan curhat dengan Mrku mbak Sari. Aku coba sms beliau, dan Alhamdulillah ia ada dan akan menunggu kedatanganku. Aku segera ke atas, shalat dhuha dahulu kemudian langsung pergi ke rumahnya.
Dari depan kantor, aku menyetop sebuah biskota jurusan Perumnas. Jam 9 pagi ini cuaca cukup panas, matahari bersinar dengan garang. Bus melaju dengan cepat, yang kusayangkan, padahal bulan Ramadhan tapi house music masih setia menemani dengan suara yang berisik.
Suasana di simpang Polda benar-benar semrawut. Pembangunan Fly Over membuat macet jalan utama kota Palembang ini.
Setelah hampir 1 jam aku berada di biskota, akhirnya sampai juga di terminal. Aku langsung melangkah menuju rumah mbak Sari.
Alamat baru yang diberikannya cukup membuatku bingung, karena aku memang tidak begitu mengenal daerah di sini. Tapi akhirnya aku bisa menemukan rumahnya.
Kuketuk pintu rumahnya, sambil mengucapkan salam. Tidak berapa lama aku disambut oleh putrinya, Naila. Lama tak jumpa, si kecil sudah semakin besar dan cantik. Kemudian mbak Sari keluar sambil mempersilahkan aku masuk.
Kami bersalaman dan berpelukkan rindu.
Apa khabarmu dek?
Lama sekali tidak silaturahmi, hayoo katanya mau datang ikut ngaji, tapi ditunggu-tunggu ngak ada. Iftor dan merayakan miladnya batal deh.
Aku masih menatapnya sambil tersenyum malu. Aku masih saja mengecewakannya. Aku masih ingat dengan pesannya, ketika ia menyinggung tentang kehadiran. Baginya ketidak hadiran kami tidak masalah, ia tidak rugi, yang memerlukan penguatan ruhiyah itu siapa? Dan yang sangat disesalkannya adalah dengan ketidakhadiran kita apalagi sama sekali tidak ada khabar akan menjadi beban fikiran orang lain. Menyusahkan orang lain yang sebenarnya adalah saudaranya sendiri. Tempat ia berbagi suka dan duka.
Maafkan aku mbak, aku masih egois dan tidak memikirkan kalian. Lingkaran bidadari yang dikelilingi malaikat.
Kemudian, mbak Sari langsung menembakku, maksudku langsung to the point menanyakan kedatanganku, ia berkata ini bukan silaturahmi biasa kan?. Dan aku mengangguk lemah. Ia masih setia menunggu ceritaku.
Aku mulai berkisah tentang hal yang telah membuatku resah dan gelisah. Sesekali kulihat binar matanya, apalagi ketika kukatakan dipinang dengan mahar umroh dan surah Ar-Rahman. Berkali-kali ia bertasbih.
Sampai akhir ceritaku, ia masih setia mendengar. Aku bercerita sambil menunduk. Saat ku tatap, kulihat airmatanya. Kemudian ia menarik nafas dalam dan bersiap memberikan masukan untukku, tapi lama ku tunggu. Ia malah diam. Tiba-tiba suaranya mengagetkan aku, karena saat itu aku jadi melamun.
Ia berkata, dek alangkah beruntungnya engkau. Tapi karena kita belum mengenalnya, alangkah baiknya bila kita mengetahui keluarganya. Bukankah ia telah memberi alamat orang tuanya. Kebetulan mbak ngak ada acara hari ini, kita bisa kesana.
Benar juga kata-kata mbak Sari, kenapa tidak mencari tahu dulu tentang dirinya secara langsung dari keluarganya.
Mbak Sari kemudian bertanya, Tahun berapa ia lahir? Tahun 77 jawabku. Berarti usianya sekitar 30, kau bilang dua orang anaknya usianya sekitar 15 dan 10 tahun. Rasanya tidak rasional ia memiliki anak dalam usia 15 tahun. Dan yang membingungkan mbak, tadi Sofi katakan, ia merindu untuk menikah. Dan di blognya ia telah menikah. Rasanya ini juga tidak masuk akal, untuk orang yang telah menikah, berkata ia merindu untuk menikah. Mungkinkah ia membuat data dalam blog fiktif untuk menjaga diri dan Izzahnya.
Subhanallah, tidak terfikirkan olehku mbak, jawabku kemudian.
Mbak Sari melanjutkan lagi, kalau masih ragu dengan pekerjaannya kita bisa cek ke rumah sakit dulu mengenai dirinya. Setelah itu kita ke rumah orangtuanya.
Kali ini aku benar-benar beryukur, dan tiba-tiba bunga dalam hatiku bermekaran kembali. Jadi tidak akan ada poligami. Alhamdulillah, ucapku dalam hati.
Tapi aku tidak menyangka, mbak Sari bisa membaca pikiranku. Ia mengatakan sesuatu yang ingin kuhindari sebenarnya.
Sekarang wajahnya sangat serius, dan aku sudah paham betul, jika ia sudah memasang wajah ini akan ada kata-kata penting yang harus disampaikan.
Sofi, masih ingat dengan materi yang pernah mbak sampaikan. Kenapa dek? Kamu masih belum bisa memahami poligami?. Bukankah kita sudah mendiskusikannya waktu itu dan kalian telah sepakat untuk menerimanya berdasarkan ilmu yang telah kita dapatkan.
Dek, kemuliaan dunia ataukah akherat yang engkau inginkan. Bukankah kalian ingin menjadi bidadari dunia, bukankah kalian ingin menjadi pewaris surga, dan bukankah semua yang di dunia ini adalah titipan.
Kita menikah karena untuk tujuan mulia, bukankah kita menikah untuk mendapat RahmatNya, mencapai derajat Taqwa. Kita menikah karena ingin berada di sisi Allah, suami adalah titipan, anak adalah titipan, agar kehidupan terasa indah Allah beri kasih dan sayang dengan istilah cinta. Tapi kita tidak boleh terlena, jika tidak maka kemuliaan akan tercabut. Yang hadir adalah angkara murka, keegoisan, kehancuran.
Bukankah engkau sudah tahu berapa banyak yang sedang menanti kemuliaan ini, menikah impian setiap wanita. Menikah dan mendapat suami yang menjadi pemimpin dan jalan menuju surga.
Yang cantik, yang jelek, yang muda dan tua semua kadarnya sama. Sama-sama menanti. Kita akan menjadi mujahid, sebaik-baik Umat, bila kita bisa ikhlas, ihsan dan berfikir untuk kemashalatan umat.
Bukankah hanya Allah yang tahu balasan apa untuk kita. Kita memang makhluk sosial, fitnah dan prasangka dan salah faham pasti ada, tapi bukan untuk mematahkan tapi menjadi cambuk untuk menguatkan kita, bila tidak ada yang memberi contoh yang benar, siapa lagi yang akan memperjuangkan kebenaran itu.
Berharaplah Allah menjadikan kita umat yang terbaik, agar ampunan dan rahmatNya bisa kita dapatkan. Bila tidak, alangkah mudah bagi Allah untuk menciptakan peradaban baru dengan makhluk yang kuat imannya. Bukankah itu hal mudah bagiNYa.
Alangkah meruginya kita, sampai masa kebangkitan sungguh kita pasti akan merugi.
Mbak tidak pernah memaksa kalian untuk menerima, tapi meminta kalian memahami hal ini. Wanita memang peka dengan perasaan tetapi Allah, Alquran, Alhadist, dan orang-orang beriman akan selalu bersama kita selama kita berusaha meyakininya.
Cobalah difikirkan kembali, semoga Allah akan bersamamu selalu adikku.
Aku hanya bisa menangis, tapi aku akan berusaha mbak, semoga Allah menjadikan aku termasuk orang yang beriman.
Tak terasa, hampir memasuki waktu dzuhur. Aku lupa ini hari jumat. Kami beristirahat sejenak. Setelah memasuki waktu dzuhur, kami shalat berjamaah.
***
Sesuai rencana, kami akan mencoba datang ke Rumah Sakit Umum. Kebetulan mbak Sari memiliki banyak kenalan disana.
Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih padanya, padahal ia sedang mengandung 4 bulan, dan si kecil Naila jadi ikut terepotkan olehku.
Tapi yang membuatku bertambah kagum padanya, setelah shalat dzuhur tadi. Ia menceritakan sesuatu yang tidak kusangka. Katanya setelah lebaran, suaminya Akhi Firdaus, akan menikahi seorang akhwat. Subhanallah, alangkah kuatnya ia dan sungguh mulia, dari awal aku mengenalnya aku sudah tahu ia termasuk wanita yang mulia, kepribadiannya sungguh menjadi teladan.
Semoga aku bisa sepertimu mbak. Dalam perjalanan, Naila tertidur di pangkuannya, padahal ia sedang mengandung. Subhanallah.
***
Kami segera turun dan menemui sahabat mbak Sari, ternyata sahabatnya telah mencari tahu tentang Hanif, dia membenarkan bahwa akan ada dokter yang bertugas disini, yang telah study di Jepang. Dan benar namanya adalah Muhammad Hanif Akbar.
Darinya juga kami tahu bahwa Hanif adalah siswa terbaik kedokteran Unsri yang mendapat beasiswa melanjutkan study ke luar negeri.
Karena beliau telah banyak memberikan informasi, maka atas izinku, mbak Sari menceritakan kisahku. Dan dokter Indri terkejut dan sama seperti mbak Sari sewaktu kuceritakan kisahku, tak kuasa menahan airmata dan bertasbih.
Ah, alangkah indahnya ukhuwah ini, begitu lembut hati mereka. Allah pasti selalu bersama mereka. Kuperhatikan dokter Indri tak jauh berbeda dengan mbak Sari, gaya bicara, berpakaian, jilbab lebar dan sempat kulihat ada cincin melingkar dijarinya, ah telah menikah juga rupanya.
Tiba-tiba dokter Indri berkata “ aku ingat, disini ada Amran. Ia satu angkatan dengan Hanif. Mungkin kita bisa mencari tahu tentang Hanif.
Maka kami segera ke paviliun musi elok, karena Amran bertugas disana.
Karena ia masih memeriksa pasien, kami menunggu di depan suster jaga. Tak lama kemudian Amran dan seorang suster terlihat berjalan dan dokter Indri segera memanggilnya.
Karena dokter Indri adalah senior, Amran bisa mengenalinya. Setelah berbasa basi sebentar, dokter Indri mengatakan ingin menanyakan tentang Hanif. Dan dokter Amran mengajak kami ke Mushalla yang tidak jauh dari paviliun.
Akhirnya Amran juga diberitahu mengenai hal ini. Alhamdulillah dari sepengetahuan Amran, Hanif termasuk aktifis yang cukup aktif. Kepribadiannya dan tingkah lakunya baik. Kalau tidak begitu bagaimana mungkin ia bisa menjadi mahasiswa terbaik. Dan yang tidak dilupakan mbak Sari, tentang status Hanif. Menurut Amran, Hanif belum menikah. Tapi ia juga tidak tahu pasti selama Hanif di luar negeri. Tapi rasa-rasanya belum mbak, jawab Amran.
Kulihat mbak Sari begitu bersemangat, kalau kalian tanya aku. Hehehe, jadi malu. Aku seribu kali lebih bersemangat.
Kemudian kami pamit, untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tua Hanif. Kali ini aku benar-benar malu, berkali-kali wajahku bersemu merah. Mbak Sari mengodaku.
Ternyata mencari rumah keluarga Hanif tidaklah sulit, semua mengenal orang tuanya. Ayahnya bernama K.H. Abidin Hanif, Ibunya bernama Hj. Aminah.
Mereka memiliki biro perjalanan Haji dan Umroh Al-Islam.
Begitu sampai di depan rumahnya, kami sambut beberapa wanita. Sungguh kami tidak menyangka, keluarga sepertinya sudah memperkirakan akan ada yang datang untuk menanyakan dan meminta penjelasan dari perkara ini.
Tidak berapa lama K.H Abidin Hanif menemui kami, beserta istri dan yang membuatku takjub, dua wajah yang kukenal lewat blog, akhirnya bisa kutatap langsung.
Kami saling bersalaman dengan ibu dan dua orang anak Hanif, sampai saat ini aku meyakini mereka adalah anak Hanif. Tapi ternyata analisa mbak Sari benar, Hafidzoh dan Fatimah bukan anak Hanif, tapi anak kakaknya. Mereka yatim dan piatu, Ayahnya meninggal kecelakaan dan ibunya meninggal ketika melahirkan Fatimah.
Semua rahasia mulai terbuka, tinggal menanyakan status Hanif, dan rupanya pak haji, panggilan mbak Sari kepada ayah Hanif, termasuk orang yang supel, ramah dan suka bercanda.
Kali ini aku kena lagi. Pak haji mengatakan, ia sebenarnya menginginkan seorang menantu yang bisa mengajarkan caranya menggunakan Internet, kenapa? Karena katanya dengan internet ia bisa bertemu Hanif.
Apalagi, katanya jika Hanif bersedia nantinya Biro akan diserahkan padanya, dan ia menjadi pembimbing Haji. Maka bila nanti Hanif di Tanah Suci masih bisa bercakap-cakap. Kalau lewat telepon biayanya mahal.
Amiin, semua yang mendengar mengaminkan. Dan yang benar-benar membuatku keki, pak haji tiba-tiba berkata “Bagaimana Sofi? Bisa mengajakan bapak internet?”.
Dan aku hanya mengangguk sambil menahan malu karena wajahku sudah seperti kepiting rebus, merah membara.
Alhamdulillah, syukur terus kupanjatkan. Dan terakhir pak haji, berkata istikharahkanlah dahulu. Jika memang berjodoh pasti akan bersatu.
Kamipun pamit, sebelumnya keluarga Hanif menawarkan untuk mengantar kami, tapi dengan halus kami tolak. Biarlah kami menikmati hari ini dengan kebahagiaan.
Dalam perjalanan pulang, aku mendapat sms dari mbak Alin, dia mengatakan koneksi sudah lancar dan ada meeting mendadak. Maka aku pamit pada mbak Sari, berkali-kali kuucapkan terima kasih atas bantuannya dan kehadirannya dalam menemaniku menuju perjalan masa depanku. Dan aku memohon maaf tidak bisa mengantarnya pulang.
Mbak Sari mengerti, dan hanya menitip pesan “Mohonlah dengan sungguh-sungguh, semoga Allah memberi petunjuknya”. Karena bis sudah di depan kantorku, aku pamit mengucap salam dan segera turun.
***
Meeting kali ini ternyata membahas jadwal untuk perkuliahan perdana, ternyata jadwal belum bisa fix, ada beberapa materi yang belum ada dosennya. Karena pembahasan masih panjang dan waktu berbuka telah tiba, meeting di pending dan di lanjutkan ba’da shalat maghrib.
Mbak Alin tiba-tiba bertanya padaku, “kok sepertinya ada aura yang lain disini?, gi heppy yah? Napa, dah cair apa honor penguji?”. Ah mbak Alin ini, bukan itu tapi ups, aku hampir keceplosan. Tapi dah terlanjur membuatnya penasaran.
Akhirnya aku dibawa ke ruang kelas dan diintrogasi, hehehe. Kembali kisahku diputar ulang dan wajah bahagianya sungguh tidak dapat kubayangkan. Dan kamipun membuka mailku, berkali-kali ia geleng-geleng kepala dan bertasbih. Aku hanya tersenyum.
Dan saat kami akan membaca goal setting, tiba-tiba ada prochat meeting akan segera dimulai lagi. Walau kecewa tapi tak apa-apa masih bisa dibaca nanti.
Ia hanya mengucap selamat untukku, jangan lupa istikharah, kalau benar wah katanya mbak Alin kepotong nih, maksudnya keduluan Sofi menikah. Dan ia akan membantu mengurus semua jadwal ngajarku selama aku pergi.
Jam 20.30 meeting selesai, jadwal sudah fix. Saatnya pulang. Dan seperti biasa kakakku tercinta telah setia menunggu di depan kantor diatas motor kesayangannya.
(Bersambung)
-----------------------------------------
Malam 21 September 2007Tuhanku Allah yang satu, malam ini aku berdoa, malam ini aku sendiri, malam ini aku berharap. Tuhanku Allah, aku sangat lelah, setelah tarawih ini aku akan beristikharah. Aku tak minta banyak, hanya petunjuk dariMu.
Selamat malam duhai hati
Lelah aku berkelana
Akhirnya aku sampai
Pada titik akhir
Pada kedamaian
Duhai Rabbi
Sungguh aku tak layak
Ampunkanlah aku
Terimalah Taubatku
Bila ini masanya
Berilah kekuatan padaku
Duhai pemilik semesta raya
Hari ini
Izinkan aku menghadapMu
Untuk meminta, mengadu dan berharap
Engkau menemaniku
Merengkuhku
Duhai Rabbi
Kupinta bantuanMu
Mudahkan perkara ini
Kumengadu padaMu
Telah datang seseorang
Jika benar ia terbaik dariMu
Berikanlah padaku
Aku berharap
Satu saja, ku mendapat berkah dariMu
Aku tak tahu sudah pukul berapa sekarang, aku terus memujaNya. Sampai mata ini tak kuasa untuk terbuka lagi. Aku terlelap dalam malam sunyi, gemerisik angin mengantarku menuju alam lain. Aku rebah beralas sajadah, berbalut mukena putihku, masih kudekap Al-Quran mungilku. Ku terlalu lelah hari ini, dingin lantai tak terasa, kumerasa hangat. Mungkin kah Allah menghampiriku? Ataukah para malaikat utusanNya menemaniku, aku tak tahu. Ku merasa tak sendiri, ku merasa hangat, adakah yang menyelimutiku? Aku sungguh tak tahu.
Alam sadarku telah sirna, hanya tasbih semesta alam menemani bergulirnya waktu. Sampai sesuatu menimpaku, “Bruuk”. Aduh, itu kata yang pertama kali terucap dari mulutku, mata masih terpejam. Dan setelah kubuka, MasyaAllah, buku hadist Bukhari yang tebal telah menimpa badanku. Rupanya saat aku tertidur, kakiku menendang rak buku yang berada di belakang tubuhku. Lumayan buku setebal 1000 halaman terjun bebas. Untung hanya mengenai badan, bagaimana kalau kena muka. Wah kuyakin, memar akan menghiasi wajahku.
Setelah sadar, aku mencari hpku dan kulihat jam menunjukkan pukul 2 lebih 50 menit. Haaa, sepertiga malam tinggal 10 menit menit lagi tiba, bagaimana ini aku belum mendapat petunjuk. Apa yang harus kujawab. Aku tidak bermimpi apa-apa. Aduh, Allah bagaimana ini. Apa orang yang beristikharah ada yang sepertiku ini tidak?. Waduh aku bingung sekali. Tenang, aku segera menarik nafas mencoba tuk tenang. Aku mulai membereskan mukena, sajadah.
Saat aku membereskan mukena dan sajadah, ternyata aku lupa Al-Quranku tergeletak di dekat tempat tidur. Astaghfirullahal Adzim, kertasnya jadi lecek. Terlipat patah. Tapi tunggu dulu, apa ini? Ku perhatikan lembarannya.
Allahu Akbar, aku segera bersujud mengucap syukur kepada Allah, aku yakin inilah isyarat dariNya. Lipatan itu pas sekali menunjuk pada satu surah yang biasa tercetak dalam undangan pernikahan. Ar-Rum:21.
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantarmu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Aku telah mantap, dan segera kunyalakan komputer, koneksi internet ku klik, dan ku buka mail yahooku.
To : hanif@yahoo.comThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view itAlangkah leganya hati, aku segera keluar dari kamar dan menyiapkan makanan untuk sahur. Kebetulan bagianku hanya menyiapkan saja, kalau memasak sudah dilakukan kakak perempuan dan tanteku.
Subject : Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, Allah maha mendengar dan tidak pernah tidur untuk memberi rahmatNya untuk seluruh makhlukNya.
Wahai akhi, hari ini aku sangat lelah, tapi akan ku berikan jawaban dari pinanganmu kemarin.
Jawabanku ada di surah Ar-Rum:21, maka jika engkau bersungguh-sungguh maka kirimlah keluargamu untuk memintaku dengan sebaik-baik cara.
Dan setelah sahur, aku akan mengatakan kepada seluruh keluargaku. Jika hari ini akan ada keluarga yang bersilaturahmi dan akan meminang putrinya.
Tak ada yang sempurna, semoga kebaikan yang kita harapkan akan membawa keberkahan.
Kemarin aku telah bersilaturahmi kepada keluargamu, dan mereka sudah meminta alamat dan telepon rumahku. Jika Allah berkehendak, maka bersegeralah menyambut suatu kebaikan.
Wassalamualaikum wr.wb
Ukhti sofi
Sambil menunggu adzan subuh, seperti biasa keluarga masih berkumpul. Bapak dan ibu duduk didepan dan menonton televisi, kebetulan ada siaran tilawah Al-Quran. Adik dan kakak sudah naik lagi ke lantai 2, ke kamar mereka masing-masing.
Kakak perempuanku masih berada diruang tengah sambil menidurkan anaknya sedangkan suaminya membaca koran yang belum sempat dibaca.
Tanteku kulihat sedang membaca surah yasin, sambil menunggu shalat subuh.
Ku beranikan diri menemui mereka semua, dan ku minta kali ini kami berkumpul di ruang depan, dan memninta mereka shalat subuh bersama-sama. Setelah itu aku akan mengatakan perkaraku.
***
Setelah shalat subuh, akhirnya aku sampaikan hal ini dan semua terdiam. Tidak berapa lama, bapak berbicara. Jika memang semua itu benar, apakah engkau sudah siap? Menikah bukan hal mudah, apalagi kalian belum saling kenal. Ah, dalam hatiku. Aku berkata. Bapak, bukankah sudah pernah kukenalkan bagaimana pernikahan yang seperti ini. Pernikahan yang tidak melalui tahap awal dengan pacaran, kami akan menikah karena mengikuti sunnah Rasulullah, dan mengenapkan dien kami serta membangun peradapan Islam yang lebih baik lagi.
Akupun menjawab “sudah bapak, sofi sudah pertimbangkan. Kemarin juga walau baru bertemu sekali dengan keluarganya, tapi sofi sudah merasa mereka menerima sofi apa adanya”.
“Baiklah kalau begitu, kita tunggu kedatangan mereka, dan maaf bapak belum bisa mengajak keluarga besar, karena bapak belum yakin. Semoga akan segera kita dengar khabar dari mereka. Dan alangkah baikna jika mereka memberi khabar sebelum kedatangan mereka. Sudahkah kau beri telepon rumah kita, nak?”. ucap bapak kemudian.
“Sudah, dan aku juga sudah memberi pesan pada kak Hanif, untuk memberi tahu keluarganya, dan secepatnya memberi khabar”.
Akhirnya kamipun bubar, dan aku sudah hafal. Kakak perempuanku dan tante akan segera memburuku. Hehehe, aku hanya tersenyum.
Mereka memintaku memperlihatkan foto kak Hanif, dan lagi-lagi aku tersenyum, apalagi kalau bukan komentar dari mereka.
Wah, dapet Ustadz Jenggot lah, kenapa nggak dikirim seluruh badan, yah umroh berdua saja yah?. Kapan mengajak kami, umroh. Dan banyak lagi pertanyaan mereka. Aku hanya menjawab seadanya dan sesuai dengan pengetahuanku tentang dirinya.
Aku baru bisa bernafas lega setelah kakakku dipanggil suaminya dan tanteku dipanggil ibuku.
***
Pagi ini, aku masih masuk kantor dan tidak seperti biasanya, bapak meminta kakakku untuk mengantarku kerja.
Aku hanya menurut saja, dan diatas motor kakaku bercanda, karena aku akan melangkahinya, dia cuma bilang pelangkahnya boleh mobil, boleh motor, boleh emas, boleh uang, boleh …
Sebelum ia semakin banyak bicara, langsung kututup dengan kata boleh, semua boleh kalau sudah jadi. Boleh mobil, tapi rodanya dulu, boleh motor tapi kaca spionnya dulu, boleh emas tapi emas-emasan, boleh uang cepek dulu dong. Hehehe, kami berdua langsung tertawa.
***
Jam 11, hpku berdering. Kulihat telepon dari rumah, dan kakak perempuanku langsung mengatakan, keluarga Hanif sudah menelepon. Mereka akan datang setelah Ashar. Kalau aku bisa izin, diminta bapak untuk segera pulang.
Aku jawab, akan aku usahakan. Setelah menanyakan kepada teman-teman, adakah yang bisa menggantikan aku untuk mengajar sampai pukul 7 malam nanti.Alhamdulillah, Allah masih baik padaku, salah satu rekan kerja, Yunita bersedia, kebetulan ia memiliki waktu luang setelah jam 3. Akhirnya aku menelepon kerumah dan kukatakan akan tiba setelah Ashar.
***
Setelah Ashar, aku segera bersiap pulang. Di jalan aku memilih pulang dengan naik bis kota jurusan KM 12, setelah itu aku nanti naik lagi angkot yang menuju rumahku. Dan tidak berapa lama biskota datang, Bismillah aku segera naik dan duduk. Ternyata bisnya tidak melewati jalan RRI, langsung melewati jalur simpang empat Polda, maka akupun turun tepat di depan simpang jalan RRI, aku mulai berjalan sampai di simpang PLN di kawasan jalan Demang Lebar Daun.
Saat aku berjalan, aku tidak melihat di belakangku ada biskota yang kebut-kebutan, dan terjadilah peristiwa itu.
***
22 September 2007 09:10:38
Saat siswa mengerjakan latihan, aku memcoba mengecek email dan disana ternyata ada email dari kak Hanif. Segera aku buka emailnya.
To : micidesandro123@yahoo.comThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
Subject : Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, segala puji hanya pada Allah, shalawat dan salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabat.
Saya sudah membaca emailmu, Alhamdulillah. Saya juga sudah menelepon keluarga di Palembang. Mereka akan datang hari ini. Dan aku telah meminta kepada ayah untuk menyampaikan bahwa pernikahan akan dilangsungkan pada hari Jum’at ba’da shalat Jum’at, di masjid dekat rumahmu ukhti. Setelah itu jam 4 kita berangkat dari Palembang, menuju Jakarta selanjutnya kita terbang ke tanah suci Makkah, disana kita akan Umroh selama 3 hari. Sesuai dengan janjiku itu sebagai Mahar utamanya, kemudian Mahar keduanya membacakan Surah Ar-Rahman didepan seluruh Jamaah masjid, dan yang ketiga emas dan uang tunai untukmu.
Aku akan pulang ke Indonesia dua hari lagi. Satu hari aku di Jakarta setelah itu langsung ke Palembang.
InsyaAllah kita akan segera bertemu.
Wassalamualaikum wr.wb
Muhammad Hanif Akbar
Aku menutup email darinya, dan segera kubuka blogku dan kutulis rasa bahagiaku disana, agar para sahabatku tahu dan bisa turut merasakan kebahagiaanku.
***
Karena sebelumnya keluarga kak Hanif telah memberi khabar, maka bapak dan ibu mengundang keluarga besar untuk hadir menyambut keluarga kak Hanif.
Terlihat suasana bahagia disana, saling bercengkrama, bersalaman dan sangat akrab. Bapak menanyakan, apakah aku sudah pulang atau belum pada kakakku, dan segera mereka menghubungi hpku. Tapi beberapa kali dihubungi tidak ada yang mengangkatnya. Akhirnya kakakku menelepon kantor dan di jawab salah satu CSO, kalau mereka melihat aku sudah keluar dari kantor.
Kakak menyampaikan hal ini, dan mengatakan aku dalam perjalanan. Untuk mempersingkat waktu akhirnya acara pinangan dilanjutkan tanpa kehadiranku, semua sepakat dan Alhamdulillah, disana ada pengurus masjid, ustadz Ahmad, imam masjid juga hadir, ia juga nantinya yang akan menjadi saksi di pernikahan nanti.
Akhirnya keluarga kak Hanif pamit sekita pukul 5 sore. Dan semua terlupa bahwa aku belum pulang juga, mereka terlalu gembira sampai lupa denganku.
Lalu dimanakah aku?
***
Adakah yang tahu apa yang terjadi padaku? adakah yang berusaha mencariku?. Aku sedang berada di tempat serba putih, cahaya terang menyilaukan mataku. Aku tak tahu tempat apa ini.
Banyak orang menangis, mengaduh, berteriak kesakitan. Ada yang berlumuran darah, ada yang memegang kepalanya, ada yang tak sadar membersihkan tubuhnya dari serpihan kaca jendela yang menusuk kulitnya. Ada anak kecil yang menangis. Ada juga yang terbujur kaku. Apa yang telah terjadi?.
Terjadi kepanikan di sana, sirine mobil ambulan dan polisi semakin ramai, orang berkerumun ingin mencari tahu, ada apa disana?
Para suster dan dokter berlarian mencoba menyelamatkan para korban, tapi aku dimana?.
Apa yang terjadi padaku?. Kudengar samar dari balik warna putih itu, khabarnya terjadi tabrakan dua bis kota ugal-ugalan, ngebut di tanjakan depan RRI, salah satu bis kota menabrak orang yang berjalan kemudian terbalik dan terseret sampai ke depan gedung RRI dan yang satunya menabrak rumah makan di depan RRI, banyak korban terkena pecahan kaca. Yang parah adalah biskota yang terseret sampai depan RRI, banyak korban yang meninggal di tempat. Orang yang di tabrak khabarnya meninggal dengan kondisi mengenaskan.
Apakah orang itu aku? Hei, apakah kalian tidak tahu aku masih hidup, aku hanya terperangkap dalam ruang putih ini. Baiklah aku akan berteriak, agar kalian bisa menemukan aku.
***
Tags: cerbung
(Besambung)
-----------------------------------
Tapi belum sempat aku berteriak, warna putih yang mengelilingiku lenyap. Aku sekarang bisa melihat tempat itu, orang yang berbicara tadi ternyata hanya beberapa langkah tepat berada didepanku. Tiba-tiba blas, tubuhnya melewatiku.
Aku kaget!. Bagaimana bisa? Nggak masuk akal. Aku seperti bayangan. Apa yang terjadi denganku?, jangan-jangan aku benar-benar sudah mati. Apa aku sudah jadi hantu? Aku terduduk lemas di lantai.
Kulihat seorang laki-laki berlari sambil mengendong seseorang, ia berteriak kencang, tolong wanita ini, suster, dokter. Dia bisa mati.
Aku langsung berdiri dan ikut berteriak panik. Lelaki itu semakin dekat ke arahku, reflek aku berjalan dan ingin membantunya memegang orang yang di gendongnya.
Sebelum aku bertindak ia telah menembus tubuhku, aku hanya berteriak “Hei”… , aku tak tahu apakah warna baju wanita itu memang merah ataukah darah. Darahnya menetes ke lantai.
Segera beberapa suster membantu lelaki itu dan alangkah kagetnya aku saat ku lihat wajah wanita itu. Tuhan, itu aku ucapku lirih.
Segera kudekati dan benar itu aku. Lagi-lagi aku berkata bagaimana bisa? Tubuhku berlumur darah, dan siapa lelaki ini? Enak saja dia membawa tubuhku, dalam hatiku, boleh juga kekuatannya. Tubuhku kan berat. Ah, kalau dalam kondisi begini rintangan seberat apapun pasti akan ringan. Bukankah itu adalah spiritnya keyakinan. Tubuhku di bawa ke ruang ICU, segera kudekati lelaki itu. Ingin kutanyakan apa yang telah terjadi, benarkah aku korban yang dikatakan orang-orang tadi. Tapi kulihat ia menangis, dan berkali-kali berkata seharusnya aku bisa mencegahnya, seharusnya aku bisa lebih cepat.
Allah, kenapa aku selalu terlambat menyadarinya. Jika aku bisa berfikir lebih cepat, aku pasti bisa mencegah hal ini. Allah, untuk apa aku memiliki kekuatan ini bila aku tidak bisa menolong orang, aku benci diriku sendiri.
Kenapa dengan lelaki ini? Apa dia bisa mengetahui akan sesuatu yang belum terjadi, oh jangan-jangan dia memiliki indra ke enam yang bisa mengetahui hal-hal gaib. Tapi kalau benar, kenapa ia tidak bisa melihatku ataukah ia belum menyadari keberadaanku.
Apa sebaiknya ku coba saja yah. “Bung, permisi…, apa anda bisa melihat saya. Waduh kok dia tidak memperdulikanku. Menyebalkan”.
Tiba-tiba, wajahnya yang tadinya menunduk terangkat dan ia menoleh kearahku. Astaghfirullahal adzim. Ia beristighfar dan sangat kaget. Karena ia baru menyadari kalau aku adalah orang yang telah ditolongnya tadi.
“Kenapa ruh anda berada disini, apa yang telah terjadi? Apa mereka didalam sana tidak bisa menolong anda?”.
Aku langsung menjawab, “jadi anda bisa melihat saya?”.
“Iya, jawabnya. Maaf tadi saya kira anda, ah sudahlah”.
“Bung, apa yang sebenernya anda lihat saat peristiwa itu terjadi?”.
“Sebelumnnya, saya memiliki firasat kuat akan terjadi sesuatu tepatnya di dekat keramaian, tapi karena beberapa kali sering tidak terjadi, maka aku tidak menghiraukan firasatku”.
Tapi entah kenapa, aku seperti ingin berjalan ke dekat tempat kejadian, maka saat kedua biskota itu memasuki jalan, tubuhku bergetar dan bayangan mengerikan yang pernah aku lihat dalam mimpiku hadir, sampai kepalaku terasa sakit sekali.
Anda sedang berjalan tepat berada di depan biskota yang naas itu. Tubuh anda terpental dan kepala anda membentur dinding pagar gedung RRI, sementara bis terus menabrak pagar dan terguling di halaman RRI.
Jarak saya dengan anda cukup jauh. Karena itu maafkan saya yang tidak bisa menyelamatkan anda pada saat itu, ucapnya lirih penuh penyesalan.
Sudahlah, jawabku. Semua sudah terjadi. Kita hanya berusaha, tapi semua diluar kemampuan kita. Maaf siapakah nama anda? Nama saya sofi.
Mbak sofi bisa memanggil saya Indra. Jawabnya kemudian.
Aku kembali bertanya padanya.
Indra, sebelumnya aku sudah berada disini, awalnya ada dinding putih yang mengelilingi aku, dan sebuah sinar menyadarkan aku. Setelah itu warna putih memudar dan aku bisa melihat dunia. Tetapi aku hadir dengan keadaan seperti ini. Apakah engkau tahu akan hal seperti ini?
Ia segera berkata, saya tidak tahu. Pengetahuan saya masih sedikit.
Setengah jam kemudian dari ruang ICU terlihat beberapa dokter keluar dan disusul dua orang suster. Segera ku minta Indra menanyakan keadaanku.
Salah satu dokter berkata, pasien ini mengalami luka serius. Kami sudah berusaha. Semoga Allah menolongnya. Ia masih koma dan belum bisa di lihat. Kemudian dokter bertanya pada Indra, apakah Indra saudaraku? Ku katakan pada Indra, jawab Iya.
Dokter juga berkata bersabarlah, beritahu keluarga segera. Setelah itu ia pergi. Mungkin dokter ingin istirahat dahulu. Setelah menangani banyak pasien korban kecelakaan.
Kemudian Indra bertanya padaku, sekarang apa yang harus aku lakukan mbak, berapa nomor telepon rumahmu? Agar aku bisa menghubungi keluargamu.
Ku jawab, teleponlah ke nomor 661122 dan bicara kepada bapakku. Namanya Muchtar Umar.
Segera Indra pergi tuk mencari wartel. Ia memintaku untuk menunggu disini.
Setelah ia pergi, aku penasaran. Perlahan aku mendekati ruang ICU dan blas aku melewati pintu tanpa harus membukanya. Disini terdapat 7 pasien yang belum sadarkan diri, aku melihat jasadku terbaring, dimana-mana selang mengelilingi tubuhku. Aku masih tidak percaya dengan penglihatanku..
Seorang suster menghampiri jasadku dan tiba-tiba suster itu menoleh padaku, ia cuma berkata “kok merinding yah, ah kasihan sekali mbak ini. Semoga Allah menyelamatkannya. Walau dokter Burhan sudah mengatakan tidak ada harapan. Mesin itu hanya merangsang organ tubuh agar bisa berfungsi dan aktif. Tapi semoga ada keajaiban”.
Aku kira ia bisa melihatku, ternyata ia hanya merasakan kehadiranku. Tunggu, apa katanya tadi? Aku tidak bisa diselamatkan lagi?
Aku tidak percaya dengan kata-katanya, aku langsung berlari. Terus berlari menembus dinding-dinding, aku menangis. Aku belum ingin mati. Aku masih ingin hidup.
Tags: cerbung
(Besambung)
Aku lelah, dan bersandar di sebuah pohon. Kenapa harus begini. Aku belum ingin mati, Allah aku belum menyelesaikan tugasku. Allah aku masih ingin menikah, Allah biarkan aku hidup karena aku ingin sekali merasakan menjadi seorang ibu. Allah bukankah aku telah membuat syair itu, aku akan dendangkan untuk anakku, agar ia nanti tahu bahwa aku mencintainya dan merawatnya agar menjadi mujahid untuk kupersembahkan padaMu.
Allah aku bukanlah orang yang tak bersyukur, tapi jika masih ada waktu, maka aku akan memperbaiki diriku. Allah, kafan yang dulu telah kubeli belum ingin kupakai, biarlah ia kupakai saat syahid memperjuangkan kebenaran. Bukan seperti ini. Walau kutahu kecelakaan juga termasuk syahid. Tapi ah…mungkin aku memang bukan makhluk yang bersyukur.
Astaghfirullahal Adzim, ucapku. Dalam sedihku, gema Adzan Maghrib membuatku segera bangkit. Alhamdulillah ucapku. Andai aku bisa berbuka puasa, ucapku lirih. Aku berjalan menuju suara Adzan, aku ingin ikut shalat.
Aku memasuki tempat wudhu, beberapa wanita sedang berwudhu. Aku mencoba memutar kran tapi menyentuhpun aku tak bisa, kucoba membasuh tanganku dengan air dari kran wanita disebelahku yang sedang berwudhu. Air tidak mengenai tanganku. Ah, ucapku. bila aku tidak bisa berwudhu dengan air biarlah kulakukan tayyamum. Maka aku menghadap ke dinding dan bertayyamumlah aku.
Beberapa saat kemudian imam masjid menuju tempatnya. Kudengar takbirnya. Akupun segera berniat dan mengikuti shalat.
***
Di luar sana, sungguh aku tak pernah tahu. Kalau telah terjadi sesuatu. Tak ada manusia yang sanggup melawannya. Kematian yang memang perkara yang hanya Allah dan para Malaikat yang tahu.
Indra telah menghadap Ilahi Rabbi. Sebuah motor menabraknya dan ajalnya segera tiba. Tanpa pesan. Tanpa ada yang tahu siapa dirinya. Kematian yang tak terduga tapi sudah ditakdirkan. Sayang pesanku tak pernah sampai pada keluargaku.
***
Di rumah, semua keluarga panik. Kenapa sampai sekarang aku belum juga pulang, Adzan Maghrib sebentar lagi terdengar. Orang-orang bersiap untuk berbuka puasa. Tapi aku belum juga datang.
Adikku membuka saluran televisi lokal dan barulah mereka tahu bahwa telah terjadi kecelakaan. Informasi itu disampaikan lewat text yang berjalan. Sebelumnnya adikku tidak memperhatikan. Hanya keponakanku Fifi yang memperhatikan, kemudia ia membacanya “Telah terjadi kecelakaan biskota di jalan RRI, diperkirakan korban meninggal 15 orang dan 20 orang luka-luka, saat ini korban berada di Rumah Sakit Umum Palembang. Bagi keluarga yang merasa kehilangan sanak dan keluarganya, segera mencari informasi di RSUP”.
Maka kakak tertuaku bersama bapak segera bersiap menuju Rumah sakit. Setelah berbuka dan shalat Maghrib langsung ke sana.
Adikku mencoba menghubungi call center rumah sakit. Sayang bagian umum tidak bisa memberikan informasi.
***
Di rumah keluarga Hanif, berita kecelakaan inipun telah terdengar. Ibu Hanif mencoba menelepon kerumah. Tapi nada sibuk selalu terdengar. Saat itu kebetulan Adikku sedang menelpon rumah sakit. Sedang Ayah Hanif telah pergi Shalat Maghrib di Masjid.
Karena waktu berbuka telah tiba, semua berusaha tenang dan memasrahkan diri kepada Allah, semoga tidak terjadi apa-apa denganku.
***
Ternyata yang pergi ke rumah sakit, tak hanya Bapak dan 2 orang Kakakku tapi Ibu dan adikku, juga ikut. Semua ingin mencari tahu keberadaanku
Kakak dan adikku berpencar, jika ada yang melihat aku segera saling menelpon.
Bapak, Ibu dan kakak tertuaku menuju ruang ICU, mencari tahu adakah korban dengan ciri-ciri seperti difoto yang mereka bawa.
Begitu suster jaga melihat fotoku, maka dengan berhati-hati ia mengatakan aku termasuk korban, dan ia mengajak bapak dan ibu masuk kedalam.
Sementara kakakku menelpon kakak kedua dan adikku. Setelah itu menelpon kerumah.
Ia hanya bisa menunggu di luar, karena yang boleh masuk hanya dua orang.
Bapak dan Ibu semakin dekat, dan ibuku menjerit keras ia menangis dan memelukku. Sementara Bapak terdiam mungkin shock melihat keadaanku.
Kakakku yang tak tahan untuk masuk segera menerobos begitu mendengar jeritan Ibuku. Dan iapun tak kuasa melihat keadaanku.
Tubuhku telah bersih, tak terlihat banyak luka diluar, tapi entah di dalam. Dokter telah menjahit luka-luka ditubuhku. Hanya balutan perban di kepala dan sudah pasti mahkotaku telah hilang semua. Karena tak terlihat sehelaipun rambut disana. Beberapa selang yang mengelilingi tubuhku, mulai dari hidung, mulutku, infus di tangan sungguh menyedihkan.
Sayang mereka belum boleh berada disana. Karena aku memerlukan perawatan khusus. Mereka saja saat masuk keruang harus menggunakan pakaian steril.
Adik dan kakakku yang menunggu diluar langsung menanyakan keadaanku, setelah Bapak, Ibu dan kakakku keluar dari ruang ICU.
Ibu masih shock, dan akhirnya tak sadarkan diri. Segera suster menyiapkan tempat darurat untuk menolong Ibuku.
Seorang dokter yang baru tiba, segera memeriksa keadaan Ibuku. Untunglah Ibu tidak memiliki penyakit jantung. Atas saran dokter Ibu sebaiknya dirawat dulu. Kakakku segera memesan sebuah kamar untuk Ibu.
Kedua kakakku segera mencari dokter dan menanyakan kondisiku. Sementara Bapak masih duduk di temani adikku. Dan Ibu belum sadar masih terbaring di atas ranjang.
***
Aku masih di masjid rumah sakit. Aku terus berdzikir dan berdoa kepada Allah. Sampai waktu Isya tiba dan orang-orang kembali ramai untuk shalat isya dan dilanjutkan dengan tarawih.
Aku masih terus berdzikir, tiba-tiba aku merasakan sangat lelah dan aku terguncang, aku tak kuasa semua menjadi gelap.
***
Begitu mendengar keberadaanku dan kondisiku yang menyedihkan, kakak perempuanku segera menghubungi beberapa saudara Ibu, memberi tahu kondisiku. Dan ia juga menelpon ke keluaga Hanif.
Semua tak dapat menahan sedih, padahal baru saja mereka mendapat kabar gembira tentang rencana pernikahanku. Tapi sekarang, semua hanya pasrah pada Allah. Semua berharap keajaiban akan datang.
***
Kondisiku masih kritis, itu yang dikatakan dokter Burhan, dokter yang menangani operasiku tadi. keadaanku akan selalu dipantau katanya. Dokter menceritakan tentang seorang laki-laki yang membawa aku, dan berusaha menyelamatkanku, menurut dokter lelaki itu adalah saudaraku. Tapi kedua kakakku langsung membantah, kalau tidak ada saudara yang bersamaku, karena aku dikatakan baru pulang bekerja.
Dokter menjadi bingung, tapi sudahlah. Dokter mengambil kesimpulan, mungkin lelaki itu adalah orang yang ingin menolongku saja. Dokter berkata dalam hati, bisa jadi orang itu adalah malaikat. Bukankah sampai sekarang aku tak melihat orang itu lagi.
Kakakku meminta izin pada dokter, salah satu dari mereka boleh menemaniku didalam sana. Tapi sayang dokter tak mengizinkan.
Mereka keluar dari ruangan dokter dengan perasaan kecewa. Ternyata di luar sana, di dekat ruang ICU, beberapa om dan tante telah datang, begitu juga dengan keluarga Hanif, dua orang pamannya menanyakan keadaanku pada kakakku. Kakak keduaku mengajak tante dan om beristirahat dulu di kamar inap Ibu. Sekalian membesuk Ibu yang saat ini sudah siuman tapi masih belum stabil.
Begitu tante Nila dan Mia masuk, maka terdengar kembali tangisan Ibuku dan mereka saling bertangisan.
Ibuku berkata, apa salah anakku, kenapa ini harus terjadi. Ia baru saja menerima lamaran. Ia baru saja akan merasakan kebahagiaan, tapi apa? Sungguh Allah tidak adil.
Tante Nila berusaha menyadarkan ibuku, untuk istighfar dan bersabar. Semua sudah digariskan Allah, kita berdoa saja semoga Sofi akan baik-baik saja.
Ah, Ibuku begitu terpukul, dan ia menyalahkan Allah, ia berfikir Allah tidak menyayangiku. Padahal Allah selalu bersamaku.
Allah maafkanlah Ibuku, ia tak bermaksud begitu. Ia hanya tak ingin kehilanganku. Maafkanlah ia, ia hanya terlupa bahwa aku hanya titipan, bahwa manusia tak ada yang abadi. Semua akan kembali padamu Ya Rabb.
Sementara Om Bayu merangkul bapak, mencoba menguatkan. Kulihat kakak dan adikku segera menyingkir keluar, kalau tidak meraka juga hanya akan terlarut dalam kesedihan ini.
***
23 September 2007
Sahur kali ini benar-benar berbeda, semua tak bergairah. Semua masih diliputi perasaan cemas dan sedih.
Entah sudah berapa kali surah Yaasin bergema di rumah, di kamar inap Ibuku, dan di setiap rumah-rumah yang mengetahui keadaanku. Semua mngirimkan doa untukku.
***
Pagi itu, Ayah Hanif sedang berdiskusi dengan keluarganya. Mereka menunggu keputusan pak Haji, apakah perkara ini akan di sampaikan kepada Hanif sekarang juga, ataukah menunggu kepulangannya satu hari lagi.
Pak Haji akhirnya mengambil keputusan untuk menghubungi Hanif.
Semua diam, ingin mendengar apa yang akan disampaikan pak Haji.
Terdengar suara nada telepon masuk, dan kemudian suara Hanif yang khas mengucap salam.
Hanif : Assalamualaikum Wr.Wb
Pak Haji : Waalaikumsalam Wr.Wb
Hanif : Ayah? Ada apa menelpon, semua baik-baik saja kan?
Pak Haji : Alhamdulillah baik, Hanif. Urusanmu disana apakah sudah selesai?
Hanif : Sudah Ayah, dan besok aku tinggal berangkat saja. Hari ini aku hanya ingin bersilaturahmi dengan teman-teman di kampus dan di Islamic center.
Pak Haji : Hanif, apa kau bisa mendapatkan tiket hari ini?
Hanif : memangnya ada apa ayah? Kenapa harus cepat. Bukankah pernikahan telah diatur. Dan aku akan pulang besok, setelah itu aku ke jakarta sebentar untuk mengurus dataku di Arabic Fondation, terkait dengan pekerjaanku nanti di Rumah Sakit Islam International nanti.
Pak Haji : nak, ayah harus menyampaikan sesuatu. Allah berkehendak lain, nak. Sofi mengalami kecelakaan. Ia saat ini dalam keadaan koma. Karena itu Ayah ingin engkau segera pulang dan tunaikan janjimu. Semoga Allah masih memberi kesempatan menjadikannya seorang istri.
Hanif : Astaghfirullahal Adzim. Innalillahi wa inna lillahi rojiun. Semoga Allah memberi kesabaran untuk keluarganya dan kita semua.
Kalau begitu, Hanif akan segera mencoba menelepon biro, semoga ada tiket untuk ke Jakarta secepatnya.
Pak Haji : baiklah, hati-hati dijalan. Semoga Allah bersamamu, Assalamualaikum wr.wb
Hanif : waalaikumsalam wr.wb
(Besambung)
Ada sajadah panjang terbentang***
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbendang
Hamba tunduk dan sujud
Diatas sajadah yang panjang ini
Diselilingi Sekedar interupsi
Mencari rezeki Mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan ruku
Hamba sujud dan
Lepas kening hamba
Mengingat Dikau sepenuhnya
Hanif berkali-kali istighfar dalam hati, sungguh Tuhan manusia tiada daya dan upaya selain dari pertolonganmu Tuhan. Kembali ia tenggelam dalam lautan taubat. Semakin ia masuk semakin terguncang tubuhnya. Sampai ia tak kuasa dan lemah. Sangat lemah untuk berani mengangkat kepala. Malu akan kesombongan diri, malu karena sebagai hamba selalu berlinang dosa.
Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua
Hilang dan pergi Meninggalkan dirimu
Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada Jalan bagimu
Untuk kembali mengulang Ke masa lalu
Dunia Dipenuhi dengan hiasan
Semua Dan segala yang ada
Akan kembali padanya
Bila waktu Tlah memanggil
Teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
Teman sejati tinggallah sepi
Seorang wanita terus bermunajat kepada Tuhannya. Ia hanya meminta satu, satu saja. Bisa menjadi ibu. Tapi bagaimana itu akan terlaksana bila tak kunjung jua seorang lelaki bersedia untuk menikahinya.
Ia hanya wanita biasa, ia hanya wanita yang hidupnya berada di atas kursi roda.
Hujan kau ingatkan akuSeorang wanita telah berjuang, berjuang untuk menemukan jati dirinya. Seorang wanita yang telah salah langkah. Seorang wanita yang berharap ada seseorang yang berani menentangnya, yang berani mematahkan kata-katanya, yang berani memberi jalan kebenaran untuknya.
Tentang satu rindu
Dimasa yang lalu
Saat mimpi masih indah bersamamu
Terbayang satu wajah penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah Penuh dengan kehangatan
Kau Ibu
Allah izinkan aku Bahagiakan dia
Meski dia tlah jauh biarlah aku
Berbakti untuk dirinya
Oh Ibu
Oh Ibu
Kau Ibu
Terbayang satu wajah penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah Penuh dengan kehangatan
Kau Ibu
***
Di dalam kegelapanHandphone Hanif berdering, lagu Hai Mujahid Muda Izis Terdengar.
kumencari cahayamu
Yang hilang sirna tak tersisa
Semakin kuterlena
Semakin kuterbawa
Arah hina dan ternoda
Kurindukan sinar sucimu yang mulia
Dan kuharapkan belai kasihmu
Agar musnah semua
Keangkuhan diriku
Dan kulepaskan dari sifatku
***
Hanif : Halo
Seseorang : “Assalamualaikum, Hanif. Bisakah sekarang kamu ke Islamic center? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan.
Hanif : Wa alaikumsalam wr.wb, oh Akhi Irwan. InsyaAllah. Saya akan kesana.
Seseorang : Hanif, kamu baik-baik saja? Sepertinya suaramu berubah.
Hanif : saya baik-baik saja Akh. Nanti saya akan cerita.
Seseorang : baiklah, aku akan menunggu ceritamu. Assalamualaikum wr.wb
Hanif : Wa alaikumsalam wr.wb
Setelah menutup telepon, Hanif menekan nomor biro travel. Apakah ada pesawat yang akan terbang ke Jakarta malam ini. Hanif bersyukur ternyata masih ada pesawat yang akan berangkat. Iapun memesan satu tiket.Bismillah, Ucapnya kemudian. Tidak beberapa lama ia telah pergi menuju Islamic Center.
***
Senja Dalam Duka
Angin masih bertiup kencang, sisa hujan masih melekat di dekat kelopak kamboja. para penggali kubur telah menyiapkan sebuah liang lahat disana. Mereka sibuk, karena tugas dan kewajiban mereka harus segera selesai.
Hujan sebelummnya cukup membuat pekerjaan ini menjadi cukup sulit.
Terkadang sering terbersit dalam hati mereka, adakah nanti yang akan menggali tempat untuk mereka, adakah tempat ini akan menerima mereka.
Pak Karim namanya, ia sering kali selesai menggali, merenung sejenak didalamnya. Ia membayangkan tubuhnya berada disana, berbalut kafan putih terbaring dan terbayanglah segala dosa. Iapun kembali menangis. Sujud di tanah itu. Dirasakannya tanah itu, dirasakannya siksa yang akan diterima. Dirasakannya kemarahan para malaikat, dirasakannya tubuh yang tercabik, tubuh yang didera, tubuhnya yang kotor berlumur dosa. Berkali-kali ia memohon ampun pada Allah, tubuhnya bergetar dalam penyesalan dan taubat mohon ampunan.
Kemudian ia bangkit, naik dan keluar dari liang lahat yang telah digalinya untuk seseorang yang tak pernah dikenalnya. Dalam hatinya, wahai makhluk Allah yang akan segera menuju alam perpisahan dengan dunia semoga Allah memberi kenikmatan, bila Azab yang engkau terima, aku bermohon kepada Allah semoga diringankan. Dan aku yang menggali kuburmu hanya bisa mengirim doa dan bermohon serta hanya bisa mengingat bahwa kematian itu benar adanya dan yang dibawa hanya kebaikan, amal kebaikan.
Langit masih mendung, mentaripun enggan bersinar. Duka yang dalam telah didengarnya. Ia hanya bertasbih memuji kebesaran Allah. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Hanya menunggu waktu. Maka apakah lagi yang kalian tunggu wahai manusia, segeralah menuju TuhanMu, dunia hanya sesaat. Akherat kekal selamanya.
Tags: cerbung
(Besambung)
Pak Karim telah selesai menguburkan sesosok jasad lelaki tanpa nama, ia telah kembali tanpa sanak keluarga yang mengantarnya. Sendiri dalam sepi.
Berat langkah kaki untuk meninggalkannya. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Pihak rumah sakit telah menunggu tetapi tidak ada keluarga yang merasa kehilangan. Untuk kebaikan mayit maka disegerakanlah penguburan jasadnya.
Adzan maghrib terdengar, pak Karim bersegera menuju rumahnya. Seseorang telah menantinya dengan sabar disana. Di tengah perjalanan ia melihat selintas cahaya dari langit, Subhanallah. Tengkuknya merinding. Ia mempercepat langkahnya. Rasanya ingin bersegera membersihkan diri dan menghadap Ilahi Rabbi.
***
Setelah mengucap doa berbuka dan meminum seteguk air, wanita itu mencoba meraih kursi roda didekatnya, dengan berpegangan disatu sisinya ia mencoba menggerakkan tubuhnya, dengan susah payah akhirnya ia bisa duduk. Kemudian diputarnya roda menuju tempat berwudhu.
“Dinda, Mama sudah pulang sayang!”. Sambil membuka pintu dan segera masuk. “Din, kamu di mana sayang?”. Karena tak ada sahutan dari dalam, segera ia melihat ke kamar anaknya yang berada di ruang tengah. Tapi Dinda tidak ditemukannya. Kemudian ia pergi ke dapur disana juga tidak ada. Segera ia kebelakang, ke kamar mandi. Alhamdulillah, cemasnya segera sirna. Dilihatnya, bidadari kesayangannya tengah berwudhu. Iapun tersenyum. Setelah selesai, Dinda menyapa mamanya.
“Wah mama sudah pulang, sudah berbuka ma?”.tanyanya. “Dinda tadi masak kolak pisang ”. Ucapnya riang. Mama langsung memeluknya. “Iya, mama belum berbuka nih, tadi cemas. Waktu mama masuk ke rumah, nyari Dinda, ternyata nggak ada. Eh tahunya disini. Ya udah kita masuk, mama berbuka setelah itu kita shalat maghrib berjamaah yah”.
Cacat yang dimilikinya tidak pernah membuatnya rendah diri, ia sadar bahwa Allah telah memberi nikmat yang banyak, ia selalu bersyukur Allah masih memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri. Bagaimana kalau waktu itu Allah langsung mencabut nyawanya. Waktu itu ketika ia masih hidup dalam hura-hura, ketika ia masih banyak melakukan dosa. Menyia-nyiakan waktu hanya dengan menghabiskan uang papanya, hanya karena ia kecewa Papa telah menghianati kepercayaan mama.
Begitu papanya bercerai dengan mama, papa langsung menikahi wanita penggoda itu. Yah, karena wanita itu telah mengandung. Tetapi ia tidak rela jika wanita dan anaknya itu nanti menikmati seluruh kekayaan papanya. Makanya ia meminta kepada papanya apa saja yang diinginkannya. Entah telah berapa banyak uang di habiskannya hanya untuk berjalan-jalan keluar negeri. Dan papa tidak berani untuk menolak keinginannya, karena papa merasa bersalah padanya. Karena kesalahan papa ini, Dinda mengalami derita yang pedih. Dinda pernah hampir mati karena bunuh diri. Dan untuk kedua kalinya ia hampir mati. Kecelakaan mobil di Puncak telah membuat Dinda tidak bisa berjalan, ia cacat. Hanya bisa berjalan dengan kursi roda.
Tapi kali ini ia benar-benar merasakan bahwa maut sangat dekat, karena entah sadar atau tidak ia mengalami siksa yang pedih, tubuhnya dicambuk, dipukul sampai menangis darahpun ia tak bisa lari.
Menurut mamanya, Dinda tak sadarkan diri selama 2 hari dan dalam mimpi mamanya, Dinda meminta tolong. Maka mama menelepon pak Haji Hanif untuk menolong Dinda. Membantu Dinda dengan Doanya. Istri pak Haji adalah guru mengaji mama, beliau juga membimbing, menguatkan mama ketika rumah tangga mama hancur.
Alhamdulillah, Dinda akhirnya sadar. Cobaannya begitu berat, tetapi ketika sadar Dinda meminta mama untuk memanggil papa dan keluarganya. Dinda ingin meminta maaf dan ampun. Mamapun mengatakan papa ada di luar. Dan begitu mama menyuruh papa masuk, papa langsung memeluknya. Papa menangis. Dinda tahu papa bukanlah pria yang melankolis, mudah meneteskan air mata. Tapi hatinya sangat lembut. Dan kali ini Dinda merasa telah membuat papanya pasti merasa sangat berdosa. Padahal semua ini adalah kesalahan Dinda sendiri. Ia tak patut menyalahkan orang lain atas nasibnya. Karena nasibnya ada di tangannya sendiri, dosanya pun hanya ia pikul sendiri.
Kak Irwan jika engkau ada disini, engkau akan bahagia. Adikmu yang keras kepala, adikmu yang nakal ini, adikmu yang jahil ini sudah menemukan hidayahnya. Hidayah yang datang dengan pengorbanan yang besar. Padahal mungkin Allah sudah berkali-kali memperingatkannya, tapi ia tidak mengindahkannya. Sampai Allah menurunkan sesuatu yang benar-benar menjadi penginggat akan dosanya.
Allah mengambil manfaat dari kakinya. Kaki yang seharusnya di langkahkan untuk menolong sesama, kaki yang seharusnya berjalan ke masjid, kaki yang seharusnya berlari berhijad di jalan Allah. Bukan kaki yang digunakan untuk ke tempat maksiat.
Allah, terima kasih ucap Dinda. Karena engkau masih berbaik hati memberikan kesempatan untukku bertaubat. Biarlah kaki ini menjadi saksi bahwa aku akan menjadi manusia yang bersyukur.
Sejak itulah, Dinda kembali dengan jiwa yang baru. Ia kembali sebagai Adinda Zahra. Ia ingin seperti putri Nabi Muhammad Saw, Fathimah Azzahra. Wanita penghuni surga. Ia sekarang sering berbagi dengan anak-anak di panti asuhan. Ia sekarang sering mengikuti kajian keislaman, ia sekarang rajin beribadah. Selalu dikatakannya. Aku telah cacat kaki tapi otakku, mataku, mulutku, hidungku, telingaku, serta tanganku masih sempurna. Hilang dua kaki tidak akan membuatku menjadi manusia tak berguna. Aku bisa. Aku pasti bisa.
Lima tahun ia telah berjuang untuk kebenaran, sampai rindu yah rindu itu hadir juga dalam hatinya. Ia merindukan untuk menjadi seorang ibu. Tapi ia hanya manusia biasa yang tak sempurna. Beberapa sahabatnya telah berkeluarga dan memiliki anak-anak yang lucu.
Lihatlah, disana ada Aminah kecil. Ia tertawa riang bersama umminya. Abang Azzam yang sudah pandai membaca Al-Quran. Mbak Mutia yang senang menghafal doa. Ah, Dinda rindu sekali. Bukannya ia tak ingin menikah, tapi setiap Ikhwan yang datang tidak bisa menerima keadaanya. Dari yang halus sampai yang benar-benar jujur pun pernah datang. Mereka belum siap. Mereka menginginkan Akhwat yang sempurna, yang bisa menyenangkan hati dan menguatkan jalan mereka di medan dakwah yang nyata.
Ketika jiwanya benar-benar terguncang, iapun khilaf dan tak kuasa menahan diri. Ia menangis di hadapan Allah. Ia mengadu. Apa perjuanganku selama ini tidak nyata Allah? Aku menolong kaum dhuafa, aku mengajar tanpa dibayar untuk anak-anak jalanan dan anak tak mampu, ketika mereka berteriak jihad dan menentang kebenaran. Akupun turun kejalan. Ditengah terik matahari aku ikut berjauang. Walau tubuhku letih luar biasa, aku tetap bersama barisan mereka. Ketika saudaraku mengalami musibah, akupun ikut meminta bantuan, akupun ikut mengumpulkan bantuan. Akupun ikut menyortir pakaian sumbangan untuk korban bencana.
Ketika seorang ibu ingin melahirkan, aku berteriak sampai suaraku habis untuk menolongnya, ketika seorang anak kecil terjatuh aku membantunya. Ia duduk di pangkuanku dan kami berjalan berdua sampai kerumahnya.
Ketika uangku terkumpul untuk pergi berhaji, aku batalkan memenuhi panggilanmu Allah, aku gunakan uangku untuk membantu korban kebakaran. Ketika saudari-saudariku terluka hatinya karena rumah tangga yang tidak harmonis, ketika akhwat-akhwat muda itu terkena virus cinta, ketika patah hati tiba, pundakku selalu menjadi sandaran mereka. Banyak air mata tumpah ruah disana.
Allah, apakah yang kulakukan ini tidak nyata? Allah bukan aku tidak ikhlas, bukan aku ingin riya, tapi benarkah yang kulakukan tidak nyata?. Ya Allah Engkau tidak tidur dan Engkau mengetahui semuanya. Allah kepada siapa lagi aku akan mengadu bila tidak kepadaMu. Cukuplah Engkau yang tahu wahai Allah. Aku tidak akan mengungkit semuanya hanya untuk makhluk seperti mereka, biarlah. Aku yakin Engkau akan memberi mentari yang akan menyinariku walau aku jauh darinya.
(Bersambung)
Hanif tiba di Islamic Center, dicarinya Irwan. Tapi ia tidak menemukannya. Untunglah ia bertemu akhi Hiragawa, ia mengatakan kalau akhi Irwan sedang berada di masjid.
Hanif : Assalamualaikum wr.wb
Irwan : Waalaikumsalam wr.wb
Hanif : Sedang apa akh? Aku tadi mencari di IC, untung bertemu Hiragawa. Kalau tidak aku sudah pulang, ucapnya kemudian sambil tangannya membetulkan letak kacamatanya.
Irwan : Tadi ada tamu ingin mengenal Islam, maka kami berbincang-bincang sambil duduk di rumah Allah ini. Biar hatinya semakin merasa tenteram, bagaimana khabarmu? Jadi besok akan pulang ke Indonesia? Ke kota kelahiran kita, kota Palembang.
Hanif : Inysaallah, tapi bukan besok. Nanti malam akhi.
Irwan : kenapa berubah? Sudah rindu dengan keluarga kah? Wah kami benar-benar akan merasa kehilangan. Ketika mengucapkan kata ini, suara Irwan bergetar.
Hanif diam, ia pun merasa sedih. Tapi ada urusan yang tidak bisa ditunda lagi.
Hanif : Katanya ada yang akan di sampaikan. Apa itu?
Irwan : Professor Sinji, menawarkan satu posisi untukmu di univercity. Jika kau mau, ia masih menunggu jawabanmu.
Hanif : bukannya aku tidak ingin berada disini, tapi cintaku pada negara, serta ingin sekali aku bisa membagi ilmuku pada saudara-saudaraku disana begitu kuat. Walau aku tahu mungkin kenikmatannya tidak sama seperti disini. Penghargaan pun mungkin tidak akan aku terima disana tapi aku tetap ingin, karena aku lahir dan minum dari air yang mengalir disana. Afwan akh. Itu sudah keputusan bulat dan telah ku istikharahkan.
Irwan : begitu yah, baiklah jika itu memang tidak bisa diubah lagi, ehmm yang kedua. Sebenarnya aku ingin menjalin ukhuwah denganmu yang lebih erat lagi. Kau masih ingat dengan adikku, Adinda. Usianya sudah 25 tahun. Tapi sayang banyak Ikhwan yang cinta dunia, tak bisa melihat permata, mutiara di dasar laut sana. Aku yakin engkau lelaki yang bisa membuatnya bahagia. Karena engkau bukan seperti mereka. Tapi aku tidak memaksa akhi, kalaupun engkau tidak menerimanya bukan karena engkau seperti mereka tapi memang engkau bukan jodoh adikku.
Hanif : terima kasih akhi atas niatmu, aku ingin sekali bisa menjadi keluargamu, benar engkau tidak salah menilaiku. Apapun kondisinya aku akan ikhlas, InsyaAllah. Tapi.
Tiba-tiba suara hanif terputus karena masuk beberapa orang ke dalam masjid. Tidak hanya beberapa, ternyata semua teman-teman di IC hadir disana.
Gema salam memenuhi masjid. Mereka duduk melingkar. Hanif dan Irwan menjawab salam mereka. Irwan kemudian angkat bicara.
Irwan : Hanif, teman-teman berkumpul disini untuk melepas kepergianmu, semoga di sana nanti jihad selalu mewarnai langkahmu.
Hanif : Subhanallah, sungguh aku sangat bahagia, teman-teman begitu mencintaiku. Maafkanlah jika aku ada salah selama ini. Semoga perjuangan kita disini bisa ku lanjutkan nanti di tanah kelahiranku.
Teman-Teman : Harus itu Hanif, kalau perlu lebih semangat lagi.
Irwan : nah Hanif, melanjutkan yang tadi. Biarlah teman-teman tahu. Kenapa engkau bersegera ingin pulang ke Indonesia. Padahal engkau masih punya beberapa hari lagi disini.
Hanif : baiklah, aku akan berterus terang. Seharusnya besok ini aku katakan. Tapi karena kita sudah berkumpul semua maka aku akan mengatakannya. Aku telah meminang seorang wanita. Dan kami berencana menikah di hari ke 16 Ramadhan. Setelah itu aku san istriku akan berumroh ke Makkah.
Ketika Hanif mengatakan hal ini, gemuruh takbir, tasbih dan tahmid di ucapkan teman-teman. Hanif melajutkan ucapannya.
Tapi telah terjadi sesuatu. Calon istriku mengalami kecelakaan dan sekarang sedang koma.
Terlihat ekspresi wajah teman-teman berubah, mereka kaget mendengarnya. Innalillahi wa inna lillahi rojiun. Hanif melanjutkan lagi kata-katanya.
Tadi pagi, Ayah ku menelpon dan memintaku untuk melaksanakan pernikahan secepatnya. Karena itulah aku akan bersegera pulang ke indonesia. Dan aku memohon doa dari kalian semua, semoga kami bisa bersama dan calon istriku bisa sembuh.
Irwan langsung memeluk Hanif, dan Hanif tersenyum. Membalas pelukannya. Dibisikan oleh Irwan, ia bangga kepada Hanif, ia meminta Hanif melupakan permintaanya tadi.
Hanif pun membisikkan kata kepada Irwan, kalau Allah berkehendak InsyaAllah.
Hampir satu jam lebih mereka melepas rasa dan tertawa menggenang masa-masa indah, pahit dan penuh perjuangan di IC ini.
Akhirnya Hanif pamit, ia akan bersiap untuk berangkat ke Indonesia nanti malam.
***
Tags: cerbung
(Bersambung)
Senja di Musim Semi,
Akhirnya aku selesai juga study di Keio Univercity. Banyak kenangan indah yang tidak bisa aku lupakan. 5 tahun di Jepang benar-benar pengalaman yang berharga.
Kampus Keio Aku pasti merindukanmu, professor Sinji, dokter Kenzu, dokter Mizuka, engkau yang sudah seperti ibuku sendiri. Adikku sachi, semoga engkau bisa seperti ibumu yah. Belajarlah yang rajin supaya menjadi dokter wanita yang kuat.
Rumah Sakit Keio, terima kasih aku telah menjadi orang yang berguna, aku anyak belajar arti kehidupan disini, aku bisa menolong orang. Semua berawal dari sini.
Sahabat-sahabat di Masjid Hiro, akh Irwan, akh Hiragawa dan yang lainnya. Ukhuwah kita tak akan pernah bisa tergantikan.
Perjalanan dari Masjid Hiro untuk terakhir kalinya ini sangat dinikmati. Dalam kereta subway Hibiya line, dibukanya mushaf Al-Quran sakunya. Kemudia ia telah larut dalam tilawahnya. Sampai tidak menyadari kalau seseorang sedang memperhatikannya, seseorang itu begitu menikmati lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacanya. Setelah selesai membaca. Ia menyapa Hanif. Disampingnya ada seorang anak kecil, mungkin cucunya, fikir Hanif.
Ibu : maaf, anda tadi sedang menyanyi?
Hanif : sambil tersenyum, saya sedang membaca Al-Quran.
Ibu : apa itu? saya menyukainya, walau tidak mengerti
Hanif : Alquran adalah kitab suci agama Islam
Ibu : Iya, saya baru ingat. Dulu saya pernah membaca artikel tentang agama ini. Tapi baru kali ini saya mendengar isi kitabnya. Begitu sejuk rasanya di hati.
Hanif : Hanif tersenyum mendengarnya, kemudian ia mengucap Bismillah. Semoga di hari terakhirnya di bumi Sakura ini masih bisa melakukan kebaikan tuk membantu seseorang mendapatkan Hidayah. Bagaimana perasaan ibu ketika mendengarnya?
Ibu : Saya merasa sejuk, dan maaf ketika saya mendengar suara anda semakin berat, seperti menahan tangis. Saya malah menangis. Entah kenapa mata saya rasanya tak bisa menahan airmata yang tumpah.
Subhanallah, dalam hati hanif berkata. Alangkah merindu mata itu untuk mencari kebenaran, maha suci Allah yang menciptakan makhluk dengan sebaik-baiknya penciptaan. Ingin Hanif sujud syukur begitu mengetahui alangkah beruntungnya ia yang telah memeluk Islam sejak ia dilahirkan.
Hanif : maukah ibu mendengar penjelasan saya tentang arti surat yang saya baca tadi.
Ibu : silahkan, saya akan mendengarnya.
Ibu yang berada disamping hanif itupun dengan seksama mendengar penuturan dari Hanif.
Hanif bisa merasakan getaran hati ibu tadi. Ibu berkali-kali mengusap air matanya. Alangkah indahnya ketika kebenaran terungkap.AR RAHMAAN (YANG MAHA PEMURAH)SURAT KE 55 : 78 ayatDengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha PenyayangBEBERAPA NIKMAT ALLAH S.W.T.YANG DAPAT DIRASAKAN DI DUNIA1. (Tuhan) Yang Maha Pemurah2. Yang telah mengajarkan al Quran.3. Dia menciptakan manusia.4. Mengajarnya pandai berbicara.5. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.6. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya.7. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).8. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.9. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.10. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya).11. Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.12. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.13. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?14. Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,15. dan Dia menciptakan jin dari nyala api.16. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?17. Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya18. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?19. Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,20. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing21. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?22. Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.23. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?24. Dan kepunyaanNya lah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung.25. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?26. Semua yang ada di bumi itu akan binasa.27. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.28. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?29. Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan30. Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?31. Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin.32. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?33. Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.34. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?35. Kepada kamu, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (dari padanya).36. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?37. Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.38. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?39. Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya.40. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?41. Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandannya, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki mereka42. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?43. Inilah neraka Jahannam yang didustakan oleh orang-orang berdosa.44. Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air mendidih yang memuncak panasnya.45. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?46. Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga47. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?,48. kedua syurga itu mempunyai pohon-pohonan dan buah-buahan.49. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?50. Di dalam kedua syurga itu ada dua buah mata air yang mengalir51. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?52. Di dalam kedua syurga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan.53. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?54. Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera. Dan buah-buahan di kedua syurga itu dapat (dipetik) dari dekat.55. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?56. Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.57. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?58. Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.59. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?60. Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).61. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?62. Dan selain dari dua syurga itu ada dua syurga lagi63. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?64. Kedua syurga itu (kelihatan) hijau tua warnanya.65. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?66. Di dalam kedua syurga itu ada dua buah mata air yang memancar.67. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?68. Di dalam keduanya (ada macam-macam) buah-buahan dan kurma serta delima.69. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?70. Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik- baik lagi cantik-cantik.71. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?72. (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah.73. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?74. Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.75. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?76. Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.77. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?78. Maha Agung nama Tuhanmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Karunia.Alhamdulillah, Subhanallah. Maha suci Allah, segala puji hanya untukNya.
Ibu : Apakah benar itu perkataan Tuhan? Sungguh aku percaya kenapa mata ini begitu saja mengalirkan air mata, alangkah ia rindu dengan hal ini. Nak maukah engkau mengajarkan pada ibu tentang Islam.
Hanif : Masya Allah, senang sekali jika saya bisa membantu ibu. jika ibu mau, ibu bisa mengunjungi Islamic Center Hiro, Pusat informasi Islam, salah satunya disana kita bisa belajar membaca Al-Quran dan mengkajinya.
Ibu : terima kasih, nak . Nanti saya akan jalan kesana..
Ternyata ibu Aiya, seorang yang ramah dan supel. Ia senang bercerita dan mencari ilmu pengetahuan, ia seorang guru. Ia memperkenalkan cucunya, namanya Hikaru. usianya 8 tahun. Ia suka menggambar. Tiba-tiba Hikaru memberikan gambarannya. Selama aku berbincang-bincang dengan neneknya. Ia sibuk mengambar. Dan Subhanallah ia bukan hanya mengambar, tapi melukis wajahku. Aku kagum sekali padanya. Bakat yang dimilikinya semoga digunakan untuk kebaikan.
Hikaru : itu untuk paman.
Sambil tersenyum ia mengatakannya.
Hanif: terima kasih Hikaru. Bagus sekali ucapku kemudian.
Aku lepaskan gantungan kunci pada Al-Quranku. Gantungan dari perak, bertuliskan huruf H, dan di balik huruf itu tertulis ukiran huruf arab, Allah dan Muhammad.
Hanif : ini untuk Hikaru.
Sambil memberikan gantungan kunci tersebut kepadanya.
Hikaru : jangan, itu pasti barang kesayangan paman.
Hanif : tidak apa-apa, paman ingin memberikannya untukmu, disana ada lambang nama kita H untuk Hanif dan Hikaru.
Hikaru menatap neneknya, dan ibu aiya mengangguk menyuruhnya menerima pemberianku..
Hikaru : terima kasih
Hanif : sama-sama
Tidak terasa, kereta sudah sampai di tujuan. Sebelum berpisah, aku pamit kepada mereka.
Hanif : ibu, senang sekali saya bisa bertukar fikiran dengan anda
Ibu : sama-sama
Hanif : malam ini saya akan kembali ke negara saya, Indonesia.
ini kartu nama saya, disana ada alamat Islamic Center. Semoga berguna.
ibu : terima kasih, hati-hati dijalan
Hikaru membuka tasnya dan merobek kertas dari buku yang dikeluarkannya. ditulisnya alamat dan email. Aku mengucapkan terima kasih. Senang sekali bisa bertemu anak yang pandai sepertinya.
Hanif : Hajimemashite. Dozo yoroshiku. “Senang berjumpa dengan anda”
Ibu & Hikaru : Dozo yoroshiku.
Ibu : Domo arigato gozaimashita “Terima kasih banyak”
Hanif : lie, do itashimahite. “kembali”
Aku menyalami hikaru, dan kubelai rambutnya. Kemudian ibu Aiya dan Hikaru membungkuk hormat, aku membalasnya. Aku melambaikan tangan pada mereka.
***
Perjalanan menuju Bandara Narita, hanif banyak berdzikir dalam hati.
Pesawat telah terbang, Bismillah. Allah aku kembali ke negeriku. Mudahkan segala urusanku. Kota Tokyo begitu mempesona. Dari balik jendela pesawat Hanif tersenyum. Semoga aku bisa mengunjungimu lagi kota kenangan, akan kubawa istriku melihat indahnya salju dan bunga sakura yang bermekaran indah. Hanif memejamkan matanya. Ia lelah, dan terlelap.
Tags: cerbung
(Bersambung)
Perjalanan menuju Bandara Narita, hanif banyak berdzikir dalam hati. Pesawat telah terbang, Bismillah. Allah aku kembali ke negeriku. Mudahkan segala urusanku. Kota Tokyo begitu mempesona. Dari balik jendela pesawat Hanif tersenyum. Semoga aku bisa mengunjungimu lagi kota kenangan, akan kubawa istriku melihat indahnya salju dan bunga sakura yang bermekaran indah. Hanif memejamkan matanya. Ia lelah, dan terlelap.
Pesawat yang di tumpangi Hanif transit di Bali, pesawat yang berangkat pukul 9 malam sampai di Bali pukul 2 dini hari. Karena pesawat baru akan berangkat ke Jakarta Pukul 5, maka Hanif mencari tempat beristirahat. Ia ingin shalat Tarawih dan Tahajud sambil menunggu waktu sahur tiba.
Sebuah Mushalla berdiri disudut dekat taman. Bandara Ngurah Rai masih ramai, karena beberapa penerbangan masih akan take off ke beberapa negara.
Sebelumnya Hanif berwudhu di kamar mandi. Untuk keamanan. Karena ia membawa sebuah tas yang berisi surat-surat penting. Bukannya ingin ujub atau sombong, sebenarnya tak ada uang milyaran disana hanya ia takut para maling mengira tasnya banyak uangnya. Padahal hanya ijazah, sedikit uang serta sebuah kotak berisi sepasang cincin yang dibelinya untuk pernikahannya nanti. Sebuah cincin dari tembaga dan sebuah dari emas, dibaliknya terukir nama. Tembaga untuk Hanif, Emas untuk Sofi. Berhati-hati lebih baik dari pada menyesal kemudian.
Tidak terasa telah memasuki hari ke 12 di bulan Ramadhan, 24 September 2007.
Sekitar pukul 7.30, Hanif tiba di Jakarta dan ia menunggu selama satu setengah jam lagi untuk bisa sampai ke Palembang.
Kembali Hanif memilih duduk di dekat jendela, ia ingin menatap langit yang kemerah-merahan, sambil menyambut mentari menyapa dunia.
Salah satu penumpang duduk di sebelah Hanif. Seorang wanita, seperti seorang eksekutif. Wanita itu kemudian membuka majalah yang di belinya tadi di market bandara. Saat Hanif menoleh ke arah wanita itu, wanita itupun menoleh kepada Hanif.
Wanita itu terkejut, tiba-tiba berbicara “Hanif, kamu Hanif anak 3 IPA 1 kan?”. Hanif terkejut, bagaimana wanita itu tahu kelas dan jurusannya saat SMA dulu. Apakah wanita ini teman satu kelasnya? Tapi rasanya bukan.
Hanif kemudian bicara “Apakah kita satu sekolah, ehm satu kelas?”.
Wanita itu tertawa. “Ya ampun, kamu tidak ingat saya yah. Saya Annisa, teman satu OSIS, Kabid. Iptek dan komunikasi”. Masa sih kamu dah lupa dengan tragedi itu?.
Pertanyaan itu hanya dilontarkan Annisa dalam hatinya saja.
“Maaf, saya lupa. Sudah lama. Tunggu, rasanya ada satu peristiwa diantara kita. Apa yah? Aku lupa”. Hanif mencoba mengingat kejadian di masa SMAnya dulu.
Annisa akhirnya memberitahu, saat itu ada 2 event yang diajukan oleh OSIS. Satu dari bidang Seni dan Budaya dan satu dari bidang Rohani, keduanya memiliki Jadwal acara yang sama. Annisa lebih membela seni, sementara Hanif yang saat itu sebagai Kabid. Rohis mengajukan bidang Rohani. Setelah itu Annisa diam. Ia tidak melanjutkan ceritanya. Ia malah bertanya hal yang lain, apa pekerjaan Hanif sekarang? Apakah sudah berkeluarga?.
Hanif yang sudah terpancing memorinya, masih mengingat apakah peristiwa itu. Dan akhirnya ia mendapatkannya. Ia ingat, saat itu Ia dan Nisa beradu argumen dan karena Nisa pandai berorasi, banyak rekan-rekan terpengaruhi dan akhirnya mendukung usulan Nisa.
Hanif kecewa, akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari Kabid. Rohis. Dengan alasan ingin memfokuskan diri untuk Ujian Nasional. Tapi semua tahu bahwa Hanif mengundurkan diri setelah Nisa mengejeknya munafik, karena Nisa pernah melihat Hanif jalan dengan seorang akhwat. Adik kelas mereka. Nisa mengatakan, “katanya pacaran itu tidak boleh, tapi kok bisa jalan berdua dengan akhwat ?”.
Sebenarnya Nisa telah salah sangka, Hanif tidak berdua dengan Arin, ada Restu dan Umi. Mereka berdua datang terlambat karena mau ke toilet dulu. Tapi karena Nisa telah terbakar rasa cemburu, selama ini ia telah berusaha mendekati Hanif, tapi selalu gagal. Makanya ia akhirnya memfoto Hanif dan Arin tanpa sepengetahuan mereka.
Besoknya beredarlah foto mereka. Di keramaian itulah dengan berpura-pura ikut menyaksikan foto yang terpampang di Mading sekolah, Annisa mengejek Hanif.
Walau banyak yang tidak percaya, tapi melihat foto tersebut. Fitnah itu tersebar. Hanif hanya bersabar. Tapi tidak untuk Arin. Ia shock, beberapa hari sakit. Tapi seiring waktu, peristiwa itupun dilupakan orang. Hanya saja yang menyakitkan citra rohis tidak secerah dulu. Tapi itulah jalan dakwah, banyak aral yang menghadang. Tinggal apakah kita bisa melaluinya ataukah menjadi orang yang kalah. Pesan terakhir itulah yang selalu di ingat Hanif saat Mabid rohis pasca fitnah yang menimpanya.
Hanif menjawab pertanyaan Nisa, ia mengatakan kalau ia baru saja dari Jepang, mengambil kuliah S2, dan S3 di bidang kesehatan. Ia mengatakan sudah lima tahun di sana. Tentang keluarga. Hanif mengatakan belum berkeluarga, hanya minta didoakan semoga secepatnya.
Nisa takjub dengan prestasi Hanif, dan yang lebih mengembirakan hatinya. Mendengar bahwa Hanif belum Menikah. Nisa mulai menghayal. Berfantasi dengan lamunannya.
Hanif yang melihat Nisa diam, tidak ada lagi yang dikatakan. Akhirnya ikut diam dan bermain dengan fikirannya sendiri. Ia kembali menatap langit yang semakin kelihatan warnanya. Awan-awan putih bergulung begitu indah.
Sebelum berpisah Nisa memberikan kartu namanya, dan akhirnya rencana Nisa sukses, Hanif memberikan kartu namanya juga.
Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, sudah banyak perubahannya. Semakin megah, dan rapi. Hanif kagum dengan pemerintah sekarang, karena mulai memperhatikan fasilitas-fasilitas untuk masyarakat.
Hanif naik ke salah satu taksi, Sriwijaya Taxy. Mobil segera meluncur. Hanif duduk di depan. Ia ingin menjalin keakraban dengan sopir tersebut.
Hanif : Palembang, tambah bagus be yeh pak.
Ucap Hanif, mulai membuka percakapan dengan sopir tersebut.
Sebelumnya sopir ini merasa aneh, jarang-jarang ada penumpang yang mau duduk di depan. Begitu mendengar sapaan Hanif yang berbahasa daerah. Sopir inipun senang, ternyata penumpangnya bukan orang luar kota.
Sopir : Iyo, nak. Semenjak ado PON, terus wong Pelembang punyo embarkasi Haji dewek. Apolagi pemerintahnyo bener-bener memperhatike rakyat, banyak kemajuan di sini. Ngomong-ngomong, anak ni la lamo apo merantau? Caknyo dak tau pekembangan disini.
Hanif : Iyo, maaf pak namo aku Hanif. Hanif memperkenalkan diri dan bapak tersebut juga menyebutkan namanya, Ujang Karim. Hanif melanjutkan lagi obrolannya. “kebetulan Hanif belajar di Jepang, pak. Dah limo taon dak balek kampung”.
Sopir : Pantesan mun mak itu, alangke hebatnyo kauni nak. Pacak sekolah ke Jepang. Kalu bapak ni mak inilah, alhamdulillah yang tuo la kelas tigo SMP. Beguyur be nak. Caro wong kecik.
Hanif : sambil tersenyum. “ Yang sabar pak, ini jugo pacak kesano kareno beasiswa, doake be anak bapak pacak dapet kesempatan cak aku ni”.
Sambil mengobrol, Hanif terus memandang perubahan di kota kelahirannya itu. Air mancur yang indah, Masjid Agung yang bertambah megah serta jembatan Ampera yang semakin cantik. Dulu Ia sering mencari atau browsing tentang kota Palembang. Sampai akhirnya ia menemukan blog Sofi. Disana Sofi membuat beberapa tulisan, dan memasukkan foto-foto terbaru tentang kota kelahirannya ini.
Begitu teringat tentang Sofi, ia lupa padahal tadi ia telah melewati rumah sakit tempat Sofi di rawat, yang juga merupakan rumah sakit tempat ia bertugas nantinya. Ucapnya dalam hati, biarlah nanti ba’da Ashar ia kesana setelah ia berbicara dengan ayahnya.
Tinggal beberapa meter lagi, maka Hanif akan sampai di rumah yang sudah lama dirindukannya. Ketika mobil berhenti di depan rumah, Ia sudah disambut Ibu, Ayah dan keluarganya.
Pak Ujang yang melihat hal itu jadi terharu. Ia kagum dengan keberhasilan orang tua Hanif yang telah mengantarkan anaknya menuju kesuksesan. Ia pun bertekad untuk lebih memperhatikan anak-anaknya.
Hanif segera membayar ongkos taksinya, 2 kali lipat dari yang seharusnya. Pak Ujang menolaknya. Tapi Hanif mengatakan itu untuk tambahan karena pak Ujang mau ngobrol dan bercerita tentang kota Palembang. Akhirnya pak Ujang menerimanya. Diberinya Hanif kartu nama. Jika Hanif ada perlu pak Ujang siap mengantarnya. Hanif mengucapkan terima kasih dan mengatakan InsyaAllah akan menghubungi pak Ujang, sambil bersilaturahmi.
Dua gadis kecilnya tidak melepaskan ia. Hanif memeluk si kecil dan menanyakan khabarnya?. Ibu Hanif masih memandanginya sambil menyeka air mata. Ayah menyuruh Hanif beristirahat dahulu. Ba’da dzuhur ayahnya ingin bicara padanya.
Bersama dua ponakannya, dengan menggandeng ibunya. Hanif bercerita sedikit tentang Jepang. Hanif melihat tidak ada perubahan dalam kamarnya. Semua tersusun rapi seperti saat ia pergi dulu. Setelah ibu, Hafidzoh dan Fatimah pergi. Hanif pergi membersihkan diri dan beristirahat sejenak.
Tags: cerbung
(Bersambung)//SUDAH
Aku Ingin Menikah .... (=episode ketujuh=)
Aku Ingin menikah
=oleh : Sophie=Perjalanan menuju Bandara Narita, hanif banyak berdzikir dalam hati. Pesawat telah terbang, Bismillah. Allah aku kembali ke negeriku. Mudahkan segala urusanku. Kota Tokyo begitu mempesona. Dari balik jendela pesawat Hanif tersenyum. Semoga aku bisa mengunjungimu lagi kota kenangan, akan kubawa istriku melihat indahnya salju dan bunga sakura yang bermekaran indah. Hanif memejamkan matanya. Ia lelah, dan terlelap.
Pesawat yang di tumpangi Hanif transit di Bali, pesawat yang berangkat pukul 9 malam sampai di Bali pukul 2 dini hari. Karena pesawat baru akan berangkat ke Jakarta Pukul 5, maka Hanif mencari tempat beristirahat. Ia ingin shalat Tarawih dan Tahajud sambil menunggu waktu sahur tiba.
Sebuah Mushalla berdiri disudut dekat taman. Bandara Ngurah Rai masih ramai, karena beberapa penerbangan masih akan take off ke beberapa negara.
Sebelumnya Hanif berwudhu di kamar mandi. Untuk keamanan. Karena ia membawa sebuah tas yang berisi surat-surat penting. Bukannya ingin ujub atau sombong, sebenarnya tak ada uang milyaran disana hanya ia takut para maling mengira tasnya banyak uangnya. Padahal hanya ijazah, sedikit uang serta sebuah kotak berisi sepasang cincin yang dibelinya untuk pernikahannya nanti. Sebuah cincin dari tembaga dan sebuah dari emas, dibaliknya terukir nama. Tembaga untuk Hanif, Emas untuk Sofi. Berhati-hati lebih baik dari pada menyesal kemudian.
Tidak terasa telah memasuki hari ke 12 di bulan Ramadhan, 24 September 2007.
Sekitar pukul 7.30, Hanif tiba di Jakarta dan ia menunggu selama satu setengah jam lagi untuk bisa sampai ke Palembang.
Kembali Hanif memilih duduk di dekat jendela, ia ingin menatap langit yang kemerah-merahan, sambil menyambut mentari menyapa dunia.
Salah satu penumpang duduk di sebelah Hanif. Seorang wanita, seperti seorang eksekutif. Wanita itu kemudian membuka majalah yang di belinya tadi di market bandara. Saat Hanif menoleh ke arah wanita itu, wanita itupun menoleh kepada Hanif.
Wanita itu terkejut, tiba-tiba berbicara “Hanif, kamu Hanif anak 3 IPA 1 kan?”. Hanif terkejut, bagaimana wanita itu tahu kelas dan jurusannya saat SMA dulu. Apakah wanita ini teman saku kelasnya? Tapi rasanya bukan.
Hanif kemudian bicara “Apakah kita satu sekolah, ehm satu kelas?”.
Wanita itu tertawa. “Ya ampun, kamu tidak ingat saya yah. Saya Annisa, teman satu OSIS, Kabid. Iptek dan komunikasi”. Masa sih kamu dah lupa dengan tragedi itu?.
Pertanyaan itu hanya dilontarkan Annisa dalam hatinya saja.
“Maaf, saya lupa. Sudah lama. Tunggu, rasanya ada satu peristiwa diantara kita. Apayah? Aku lupa”. Hanif mencoba mengingat kejadian di masa SMAnya dulu.
Annisa akhirnya memberitahu, saat itu ada 2 event yang diajukan oleh OSIS. Satu dari bidang Seni dan Budaya dan satu dari bidang Rohani, keduanya memiliki Jadwal acara yang sama. Annisa lebih membela seni, sementara Hanif yang saat itu sebagai Kabid. Rohis mengajukan bidang Rohani. Setelah itu Annisa diam. Ia tidak melanjutkan ceritanya. Ia malah bertanya hal yang lain, apa pekerjaan Hanif sekarang? Apakah sudah berkeluarga?.
Hanif yang sudah terpancing memorinya, masih mengingat apakah peristiwa itu. Dan akhirnya ia mendapatkannya. Ia ingat, saat itu Ia dan Nisa beradu argumen dan karena Nisa pandai berorasi, banyak rekan-rekan terpengaruhi dan akhirnya mendukung usulan Nisa.
Hanif kecewa, akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari Kabid. Rohis. Dengan alasan ingin memfokuskan diri untuk Ujian Nasional. Tapi semua tahu bahwa Hanif mengundurkan diri setelah Nisa mengejeknya munafik, karena Nisa pernah melihat Hanif jalan dengan seorang akhwat. Adik kelas mereka. Nisa mengatakan, “katanya pacaran itu tidak boleh, tapi kok bisa jalan berdua dengan akhwat ?”.
Sebenarnya Nisa telah salah sangka, Hanif tidak berdua dengan Arin, ada Restu dan Umi. Mereka berdua datang terlambat karena mau ke toilet dulu. Tapi karena Nisa telah terbakar rasa cemburu, selama ini ia telah berusaha mendekati Hanif, tapi selalu gagal. Makanya ia akhirnya memfoto Hanif dan Arin tanpa sepengetahuan mereka.
Besoknya beredarlah foto mereka. Di keramaian itulah dengan berpura-pura ikut menyaksikan foto yang terpampang di Mading sekolah, Annisa mengejek Hanif.
Walau banyak yang tidak percaya, tapi melihat foto tersebut. Fitnah itu tersebar. Hanif hanya bersabar. Tapi tidak untuk Arin. Ia shock, beberapa hari sakit. Tapi seiring waktu, peristiwa itupun dilupakan orang. Hanya saja yang menyakitkan citra rohis tidak secerah dulu. Tapi itulah jalan dakwah, banyak aral yang menghadang. Tinggal apakah kita bisa melaluinya ataukah menjadi orang yang kalah. Pesan terakhir itulah yang selalu di ingat Hanif saat Mabid rohis pasca fitnah yang menimpanya.
Hanif menjawab pertanyaan Nisa, ia mengatakan kalau ia baru saja dari Jepang, mengambil kuliah S2, dan S3 di bidang kesehatan. Ia mengatakan sudah lima tahun di sana. Tentang keluarga. Hanif mengatakan belum berkeluarga, hanya minta didoakan semoga secepatnya.
Nisa takjub dengan prestasi Hanif, dan yang lebih mengembirakan hatinya. Mendengar bahwa Hanif belum Menikah. Nisa mulai menghayal. Berfantasi dengan lamunannya.
Hanif yang melihat Nisa diam, tidak ada lagi yang dikatakan. Akhirnya ikut diam dan bermain dengan fikirannya sendiri. Ia kembali menatap langit yang semakin kelihatan warnanya. Awan-awan putih bergulung begitu indah.
Sebelum berpisah Nisa memberikan kartu namanya, dan akhirnya rencana Nisa sukses, Hanif memberikan kartu namanya juga.
Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, sudah banyak perubahannya. Semakin megah, dan rapi. Hanif kagum dengan pemerintah sekarang, karena mulai memperhatikan fasilitas-fasilitas untuk masyarakat.
Hanif naik ke salah satu taksi, Sriwijaya Taxy. Mobil segera meluncur. Hanif duduk di depan. Ia ingin menjalin keakraban dengan sopir tersebut.
Hanif : Palembang, tambah bagus be yeh pak.
Ucap Hanif, mulai membuka percakapan dengan sopir tersebut.
Sebelumnya sopir ini merasa aneh, jarang-jarang ada penumpang yang mau duduk di depan. Begitu mendengar sapaan Hanif yang berbahasa daerah. Sopir inipun senang, ternyata penumpangnya bukan orang luar kota.
Sopir : Iyo, nak. Semenjak ado PON, terus wong Pelembang punyo embarkasi Haji dewek. Apolagi pemerintahnyo bener-bener memperhatike rakyat, banyak kemajuan di sini. Ngomong-ngomong, anak ni la lamo apo merantau? Caknyo dak tau pekembangan disini.
Hanif : Iyo, maaf pak namo aku Hanif. Hanif memperkenalkan diri dan bapak tersebut juga menyebutkan namanya, Ujang Karim. Hanif melanjutkan lagi obrolannya. “kebetulan Hanif belajar di Jepang, pak. Dah limo taon dak balek kampung”.
Sopir : Pantesan mun mak itu, alangke hebatnyo kauni nak. Pacak sekolah ke Jepang. Kalu bapak ni mak inilah, alhamdulillah yang tuo la kelas tigo SMP. Beguyur be nak. Caro wong kecik.
Hanif : sambil tersenyum. “ Yang sabar pak, ini jugo pacak kesano kareno beasiswa, doake be anak bapak pacak dapet kesempatan cak aku ni”.
Sambil mengobrol, Hanif terus memandang perubahan di kota kelahirannya itu. Air mancur yang indah, Masjid Agung yang bertambah megah serta jembatan Ampera yang semakin cantik. Dulu Ia sering mencari atau browsing tentang kota Palembang. Sampai akhirnya ia menemukan blog Sofi. Disana Sofi membuat beberapa tulisan, dan memasukkan foto-foto terbaru tentang kota kelahirannya ini.
Begitu teringat tentang Sofi, ia lupa padahal tadi ia telah melewati rumah sakit tempat Sofi di rawat, yang juga merupakan rumah sakit tempat ia bertugas nantinya. Ucapnya dalam hati, biarlah nanti ba’da Ashar ia kesana setelah ia berbicara dengan ayahnya.
Tinggal beberapa meter lagi, maka Hanif akan sampai di rumah yang sudah lama dirindukannya. Ketika mobil berhenti di depan rumah, Ia sudah disambut Ibu, Ayah dan keluarganya.
Pak Ujang yang melihat hal itu jadi terharu. Ia kagum dengan keberhasilan orang tua Hanif yang telah mengantarkan anaknya menuju kesuksesan. Ia pun bertekad untuk lebih memperhatikan anak-anaknya.
Hanif segera membayar ongkos taksinya, 2 kali lipat dari yang seharusnya. Pak Ujang menolaknya. Tapi Hanif mengatakan itu untuk tambahan karena pak Ujang mau ngobrol dan bercerita tentang kota Palembang. Akhirnya pak Ujang menerimanya. Diberinya Hanif kartu nama. Jika Hanif ada perlu pak Ujang siap mengantarnya. Hanif mengucapkan terima kasih dan mengatakan InsyaAllah akan menghubungi pak Ujang, sambil bersilaturahmi.
Dua gadis kecilnya tidak melepaskan ia. Hanif memeluk si kecil dan menanyakan khabarnya?. Ibu Hanif masih memandanginya sambil menyeka air mata. Ayah menyuruh Hanif beristirahat dahulu. Ba’da dzuhur ayahnya ingin bicara padanya.
Bersama dua ponakannya, dengan menggandeng ibunya. Hanif bercerita sedikit tentang Jepang. Hanif melihat tidak ada perubahan dalam kamarnya. Semua tersusun rapi seperti saat ia pergi dulu. Setelah ibu, Hafidzoh dan Fatimah pergi. Hanif pergi membersihkan diri dan beristirahat sejenak.
24 September 2007
Ba’da Dzuhur
Pak Haji masih duduk berdzikir di Masjid Akbar. Dulu pak Haji memutuskan memberi nama Hanif, ketika sedang berdzikir di masjid ini. Karena itulah ada nama Akbar di nama Hanif. Muhammad Hanif Akbar.
Sementara Hanif berada di Shaff pertama di belakang pak Haji. Hanif sedang menunggu apa yang akan di sampaikan Ayahnya.
Akhirnya pak Haji, berbalik arah. Mereka sekarang saling berhadapan. Pak Haji masih membuka percakapan dengan menanyakan gema jihad di sana. Alhamdulillah jawab Hanif, banyak kemajuan. Kemudian pak Haji mulai membicarakan tentang keadaan Sofi.
“Hanif, Ayah sudah berbicara dengan keluarga Sofi kemarin. Ayah mengatakan tetap ingin melanjutkan hal yang sudah di sepakati sebelumnya”.
Hanif mendengarkan dengan seksama. Pak Haji melanjutkan kata-katanya.
“Keluarga Sofi belum memberi jawaban. Karena menurut mereka, mereka belum pernah mengadakan hal besar dengan keadaan seperti ini. Menikahkan keluarga yang sedang sakit”.
Pak Haji melanjutkan lagi ceritanya.
“Kemudian Ayah mengatakan. Dalam hal ini, kami memahami keadaan keluarga Sofi. Bukan kami ingin mempermainkan, tapi memang kami berniat tulus untuk menjalin kekeluargaan. Mengenai hal yang terjadi, ini semua sudah suratan takdir dari Allah SWT. Kita hanya berusaha, dan tidak ada halangan untuk menikahkan mereka, karena yang melakukan ijab qobul adalah mempelai laki-laki dan orang tua wanita. Bukankah kita sudah tahu bahwa Sofi menyetujui pernikahan ini”.
Kemudian menurut ayah Hanif, keluarga Sofi tetap akan memusyawarahkan hal ini. Keputusannya akan diberikan besok malam.
Hanif masih diam, kemudia ia berbicara. “Hanif bolehkan bersilaturahmi dan mengunjungi Sofi?”. Tentu saja boleh. Ba’da Ashar kita akan membesuk Sofi. Siapa tahu dengan kehadiranmu dan atas izin Allah, Sofi bisa sadar. Ucap ayahnya sambil tersenyum. Kemudian mereka saling berangkulan.
Ba’da Ashar, Hanif, Pak Haji, ibu dan paman Hadi pergi membesuk. Paman Hadi adalah adik ibu. Paman Hadi juga yang membawa mobil.
Dalam hati, Hanif terus berzikir. Ia memasrahkan diri kepada Allah. Ia hanya berusaha. Di rumah sakit. Keluarga Sofi masih menunggu di ruang tunggu sebelah ruang ICU. Ibu Sofi sudah baikan, tidak lagi di rawat. Sore itu yang sedang menunggu, Bapak, Ibu dan kakak kedua Sofi. Mereka tidak tahu kalau keluarga Hanif akan berkunjung.
Kakak Sofi hendak membeli makanan untuk berbuka, tapi begitu melihat ada keluarga Hanif, Kak Doni kembali lagi dan memberitahu bapak, kalau ada keluarga pak Haji sedang kemari.
Akhirnya Hanif bisa bertemu dengan Bapak dan Ibu serta kakak Sofi. Hanif di suruh Bapak Sofi melihat ke dalam. Kakak Sofi berbaik hati untuk menemaninya. Alhamdulillah, kami tidak berkhalwat. Kakaknya menceritakan, dua hari ini. Kondisinya belum ada perubahan.
Hanif mengganguk dalam, berusaha menyimak kata-katanya. Tapi begitu melihat Sofi. Hati Hanif sedih, ia tidak menyangka akan seperti itu rasanya. Walau ia sering melihat dan pernah juga menangani pasien koma dan sakit parah. Ia berusaha merasakan kesedihan keluarga pasien. Tapi kini ia sendiri yang mengalaminya. Orang yang akan menjadi pendampingnya, menjadi ibu untuk anak-anaknya kelak. Ia sungguh tak kuasa melihatnya. Hanif beristighfar. Ia kemudian menyapa Sofi.
Assalamualaikum ya Ukhti. Khaifa khaluk?. Semoga Allah masih memberi Rahmat untuk kita semua. Ukhti, cobaan ini semoga bisa menjadikan kita tetap sebagai hamba yang bersyukur. Karena dalam kondisi seperti ini, Allah masih memberi cinta, karapan, kasih sayangnya untuk kita. Ukhti, Afwan kalau ane ada salah dan khilaf. Semoga Allah menjagamu dan InsyaAllah keputusan ane tidak berubah. Jika kita berjodoh, Allah pasti akan mempertemukan kita. Teruslah semangat, kalau ini belum saatnya. Maka jangan pernah menyerah.
Hanif tersenyum, ia senang masih bisa bertemu dengan Sofi. Ia hanya berdoa semoga Allah memberi yang terbaik untuk semua.
Hanif lupa, ada kakak Sofi disana. Tak apalah fikirnya. Toh kakak Sofi pasti mengerti apa yang sudah dikatakannya. Mereka kemudian keluar.
Hanif kemudian mengobrol dengan Doni. Rupanya kakak sofi usianya lebih muda dari Hanif. Doni bercerita ia sempat menyesal kenapa tidak menjemput sofi. Biasanya kalau selesai mengajar Sofi selalu menelponnya untuk minta di jemput. Hanif cuma bisa mengingatkan semua sudah diatur oleh Allah, kita bersabar saja ucapnya.
Kemudian Doni permisi untuk membeli makanan untuk berbuka. Akhirnya aku bergabung dengan Ayah dan Bapak Sofi, Pak Muchtar. Beliau menanyakan keadaanku, kemudian mengatakan bahwa keputusannya besok malam. Jika berdasarkan keinginannya, ingin sekali ia menikahkan putrinya itu. Tapi sekarang pernikahan ini sudah menjadi perkara keluarga besar. Beliau menghargai keputusan keluarga. Dan kamipun menghargai keputusan keluarga pak Muchtar, ujar ayah kemudian.
Sambil menunggu, Hanif permisi untuk bertemu dokter yang merawat Sofi. Ternyata yang merawatnya adalah dr. Agus, kebetulan dokter baru datang. Maka Hanif langsung memperkenalkan diri. Setelah mengetahui kalau Hanif adalah dokter yang tadi dibicarakan di meeting rumah sakit. dr. Agus mengucapkan selamat datang dan turut prihatin tentang Sofi. Menurut dr. Agus. Analisanya sedikit berbeda dengan dr. Burhan. Karena dari hasil scan, cidera di kepala Sofi sepertinya tidak fatal. Hanya saja dr. Agus belum menemukan penyebab koma itu. Mungkin karena shock, dan benturan yang membuat syaraf mengalami disfungsi.
Hanif kemudian mengatakan, ia akan mencoba menganalisanya. Ternyata dr. Agus langsung memberikan data-data dan scan otak dan kepala serta beberapa cidera yang ada di tubuh Sofi. Termasuk robeknya kulit dekat perut. Yang diduga karena pergesekan tubuh dengan dinding batu saluran air (got)yang cukup tajam.
Hanif menggucapkan terima kasih, dan akan berusaha. dr. Agus langsung bicara” Harus itu, kan untuk kekasih tercinta”. Hanif hanya tersenyum. Aduh dokter, Ya Allah. Kuatkan hati ini agar tidak terbawa arus. Ucap Hanif dalam hati.
***
Setelah selesai tahajud, Hanif membuka data-data dari dr.Agus. ia mulai mempelajari semuanya. Ia membuka lemari bukunya. Mencari referensi tentang cidera otak. Sampai waktu sahur tiba, ia baru sadar setelah Fatimah mengetuk pintu kamarnya dan memanggilnya untuk sahur.
Palembang, 25 September 2007
Malam itu, pukul 09.30. Hanif beserta beberapa keluarga datang ke rumah keluarga Sofi. Untuk mendengar keputusan keluarga besar.
Keluarga Sofi menyambut baik keinginan ini. Mereka telah bermufakat, pernikahan akan di langsungkan tetap seperti rencana.
Takbir, tahmid dan hamdalah terdengar. Maka sesuai dengan kesepakatan. 27 September 2007, sore ba’da Ashar adalah serah-serahan untuk pernikahan. Kemudian pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at. Pernikahan di langsungkan.
Kemudian Hanif berangkat umroh tiga hari sebagai mahar. Hanif berangkat sebagai pengganti Sofi.
Setelah semua diutarakan oleh keluarga besar Sofi. Maka giliran keluarga Hanif yang bicara, mereka menyangupi semua permintaan. Hanif pun bersedia pergi ke Makkah untuk berumroh sesuai perjanjiannya.
Semua saling bersalaman dan berpelukan. Langit penuh bintang, para malaikat bertasbih memuji kebesaran Allah, mereka mendoakan semoga kebaikan itu akan mendapat Rahmat dari Allah SWT.
***
Malam semakin larut, Hanif masih bersujud kepadaNya. Mengucapkan syukur karena Allah memberinya kesempatan untuk membahagiakan hati seorang wanita untuk menjadi istri dan menggenapkan diennya.
Besok ia akan menggucapkan ijab qobul yang telah lama dinantinya. Hanif terus berdoa semoga Allah memberi kekuatan padanya.
Masjid As-Shaff kali ini ramai, Jamaah meningkat dua kali lipat. Mereka ingin menjadi saksi atas pernikahan Hanif dan Sofi. Sebuah pernikahan yang mungkin terjadi sekali dalam seumur hidup mereka. Pernikahan yang nyata, tidak seperti di film atau buku cerita.
Jarak Masjid dan rumah Sofi tidak jauh hanya berkelang 5 rumah. Maka jika sound sistem di hidupkan, suara akan terdengar jelas. Para wanita menunggu dirumah.
Siapa yang menemani Sofi di rumah sakit? Ibu Hanif, Ibu Sofi, mbak Kar dan beberapa kerabat Hanif dan Sofi.
Mbak Kar mulai mengaktifkan video call, sementara Doni juga mengaktifkan video call dari handphonenya. Atas izin dr. Agus. Mereka bertiga di perbolehkan menemani Sofi.
Hanif terlihat maju dari barisan orang-orang yang shalat tadi, dengan menggunakan baju koko putih dan berpeci haji ia mulai menggenggam tangan Bapak.
Penghulu mempersilahkan Bapak menggucapkan ijab qobul.
Muhammad Hanif Akbar bin H. Abidin Hanif, aku nikahkan engkau dengan putriku Sofiyah Siti Ainun Mardiyah binti H. Muchtar Umar dengan mas kawin umroh Makkah, Uang tunai 5 Juta Rupiah, sepasang Cincin Kawin serta Hafalan Surah Ar-Rahman.
Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut diatas tunai.
Kemudian penghulu bertanya pada saksi-saksi sudah sahkan pernikahan ini. Kemudian di jawab sah. Takbir, tahmid dan hamdalah bergema di masjid.
“Barokallahu laka wa baaroka ‘alaika wa jama’a bainakumaa fii khoir”
“Semoga Allah memberkahimu, semoga Allah memberkahi atasmu, dan mengumpulkan kamu berdua dalam kebaikan. (Riwayat Abu Darda dan Tirmidzi, Shahih)”
Saat Hanif membaca hafalan surah Ar-Rahman, bergetar seluruh hati yang mendengarnya. Tak kuasa menahan air mata.
***
Hari itu satu jiwa telah mengikat janji. Semua jamaah memeluk Hanif dan Bapak. Mereka berdoa semoga Sofi lekas sembuh dan menjadi keluarga sakinah, Mawaddah dan Warohmah.
Sementara itu, di rumah sakit semua menangis haru. Semua menatap Sofi. Berharap apakah aku mendengar semuanya. Berharap aku sadar saat itu juga.
Tapi aku tetap diam. Ibu kemudian menciumku dan dibisikkannya, “Barokallahu laka wa baaroka ‘alaika wa jama’a bainakumaa fii khoir”. Semoga pernikahanmu ini membawa berkah anakku. Air matanya menetes di pipiku.
Kemudian ibu Hanif menciumku, membisikkan doa dan keberkahan untukku. Terakhir mbak Kar, ia berkata cepatlah bangun adikku, engkau telah menjadi seorang istri. Nanti berikan aku keponakan yang lucu. “Barokallahu laka wa baaroka ‘alaika wa jama’a bainakumaa fii khoir”. Iapun memelukku dan kurasakan hatinya antara bahagia, sedih dan takut kehilanganku.
***
Bismillah, Hanif memasuki rumah keluarga Sofi. Ia di sambut dengan suka cita, doa keberkahan mengiringi langkahnya. Hanif permisi dari keramaian. Ia tak punya banyak waktu. Ia pergi menuju kamar pengantinnya.
“Assalamualaikum”, ucapnya. Tak ada yang menjawab. Di kamar itu tidak ada siapa-siapa. Dengan perasaan berdebar, Hanif menutup mata. Membayangkan keberadaan istrinya dikamar itu.
Kamar itu begitu sederhana, tidak ada hiasan seperti kamar pengantin yang pernah dilihatnya. Begitu membuka pintu sebuah tempat tidur dengan seprei berwarna biru. Dua bantal dengan satu guling, sebuah selimut berwarna pink ada disana. Dua buah jendela membawa angin segar, dari balik jendela rumpun pohon katu berderet rapi, sangat kokoh. Walau di balik rimbunnya berdiri lebih kokoh dinding pembatas rumah. Di sebelah tempat tidur ada satu lemari buku. Entah sudah berapa ratus buku berjejer rapi disana. Di pandangnya lagi sekeliling ruang itu. Sebuah tv, radio juga ada. Di sebelahnya komputer lengkap dengan printernya. Sebuah kipas angin di samping lemari buku. Di samping pintu masuk sebuah lemari pakaian berwarna hitam ada disana.
Dinding kamarnya berwarna hijau, posisi komputer, tv dan meja tulis berada di depan pintu, meja tulis dan tempat tidur berada di samping jendela. Begitu kita duduk di depan komputer, atau menonton tv atau memutar radio, atau berbaring di tempat tidur. Mata akan tertuju pada dinding kamar yang penuh dengan tempelan kertas bertuliskan motivasi “Find Your Way”, “You Can Do It”, “Do The Best”, “Allah Your Power”, “Keep Your Spirit” dan “Succes In Your Hand”. Kaligrafi bertuliskan Surah Al-faatihah tertempel di dinding. Sebuah jam beker kecil berada di atas meja, beberapa buku komputer tergeletak di atas meja. Alat-alat tulis berada dalam box bertingkat. Disampingnya sebuah box yang agak besar ada di atas meja itu. Beberapa cd ada diatasnya. Box itu terdiri dari tiga tingkat. Tingkat pertama berisi cd program, tingkat kedua berisi mp3 nasyid, Murottal, instrument, lagu pop Indonesia dan luar negeri, lagu dangdut dan Hanif tersenyum dua keping mp3 berisi lagu-lagu India juga ada. Di tingkat paling bawah berisi kepingan cd film. Film drama barat, korea, kolosal dan history sepertinya di sukai Sofi. Dari film The messanger, Desert of lion, children of heaven, The last samurai, Lord of the rings, Harry Potter, Fiding Nemo, Beautiful mind, Fullhouse, dan yang menarik sebuah film yang juga di sukai Hanif ada di salah satu koleksi Sofi.
Judul film itu The Professor and his beloved equation, sebuah film dari negeri Jepang. Kisah tentang seorang professor yang mengalami kecelakaan mobil. Professor hanya memiliki 80 menit dalam sehari untuk mengingat kejadian dalam sehari. Setelah itu ia akan lupa apa yang di kerjakannya kemarin. Ia tidak ingat apa-apa. Hal ini sudah berlangsung selama 10 tahun.
Sampai suatu ketika seorang ibu memiliki satu anak bekerja untuk mengurusnya. Ibu muda ini memiliki seorang anak laki-laki. Professor menamai anaknya Root, professor sangat mencintai matematika. Root dan ibunya akhirnya mengetahui keindahan dari sebuah angka. Sebuah kisah yang mengharukan, bagaimana kita beryukur dan bisa ejoy menikmati hidup. film ini dirangkai dari Root yang bercerita kepada murid-muridnya bagaimana caranya mencintai matematika. Root kecil telah menjadi seorang guru matematika, kemudian ia bercerita tentang professor dan kecintaanya untuk memotivasi siswanya.
Hanif menutup kembali box cd, kemudian ia melangkah menelusuri setiap buku di lemari. Dari hadits Bukhari-Muslim, Fiqih Wanita, Sifat Shalat sampai Fiqih dakwah juga ada. Rak kedua dan tiga berisi buku-buku komputer. Buku umum dan novel serta beberapa buku Islam lainnya juga berderet disana.
Hanif tertarik dengan Al-Quran jaket hijau dekat buku La tahzaan, saat di ambilnya Quran itu. Di baliknya ada binder kecil. Hanif mengambil binder itu, ternyata itu adalah buku harian Sofi.
Hanif duduk di tepi tempat tidur, angin sepoi menyapa dari jendela yang terbuka. Lembar pertama di bukanya.
Palembang, 1 Januari 2007
Tahun baru, Bapak dan ibu di Makkah.
Setelah membaca surah Yaasin untuk keselamatan bapak dan ibu, kakakku menyiapkan sate untuk tahun baru. Aku tidak ikut-ikutan. Aku tidur.
Dy, dia sedang ngapain yah?
Kenapa aku ini?. Memikirkan orang yang tidak bertanggung jawab itu. Sudahlah aku tidur saja. Dah Dy… selamat malam. Doakan aku bertemu pangeran yang baru yah yang lebih baik darinya.
Saat Hanif akan membuka lembar berikutnya, ia teringat belum melakukan shalat syukur kepada Allah. Buku dan Al-Quran di letakkan Hanif diatas meja tulis.
Setelah berwudhu, Hanif segera Shalat di kamar dan mengucapkan syukur dan mohon keberkahan dari Allah.
Pintu kamar di ketuk, semua sudah siap untuk mengantar Hanif ke rumah sakit setelah itu menuju bandara.
Hampir lupa, Hanif turun lagi dari mobil. Ia mengatakan ada yang ketinggalan. Buku diary dan Al-Quran Sofi dibawanya, sebelum keluar ia membuka lemari pakaian dan mengambil sesuatu disana.
Begitu sampai di rumah sakit, Hanif di peluk Ibunya, Mertuanya juga memeluknya dan mengucapkan doa keberkahan untuknya dan Sofi.
Di ruang itu, Hanif memegang tangan Sofi di ciumnya dengan segenap hatinya. Kemudian di tangan itu di selipkan cincin pernikahan mereka di jari manisnya. Dengan memegang tangan Sofi, Hanif memberikan tangan kanannya. Tangan Sofi memegang cincin dan di masukkan ke jari manis Hanif.
Hanif berdoa kepada Allah, lalu di kecupnya ubun-ubun kepala Sofi. Air matanya mengalir, menetes membasahi mata Sofi. Di bisikkannya di telinga Sofi.
“Wahai istriku, aku akan pergi untuk menunaikan janjiku padamu. Tunggu aku, hanya tiga hari. Bertahanlah disini. Aku akan bermohon kepada Allah untuk memberikan kesembuhan padamu. Tapi jika Allah berkehendak lain, bermohonlah pada Allah, jika saat itu tiba semoga aku bisa berada disisimu. Agar aku bisa menemanimu, merengkuhmu dalam dekapku”.
“Wahai istriku, aku hanya lelaki biasa. Aku tak bisa membuat puisi cinta untukmu, aku tak membawa bunga untukmu, aku juga tak pandai berkata-kata, tapi engkau harus tahu bahwa aku ingin engkau mejadi pendampingku dunia dan akherat”.
“Wahai istriku aku hanya membawa Al-Quran yang selalu engkau baca, sebuah Diary catatan kecil, dan selembar jilbab putihmu. Mereka akan menemaniku saat di tanah suci Makkah”.
Hanif menghapus air matanya, dan membuka Al-Quran Sofi, ia masih memegang tangan Sofi, Hanif memejamkan mata dan berkata kepada Allah, wahai Allah, Tuhanku yang satu. Istriku biasanya bermohon padaMu, maka kali ini aku akan bermohon juga sebelum kubaca Al-Qurannya. Beri aku petunjukmu.Al-Quran itu kemudian dibukanya dan telunjuknya berada di atas ayat ke 30 dan 31 surat Al-Kahfi.
“Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.
Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah”. (Al-Kahfi : 30-31).
“Subhanallah, Sofi semoga kita bisa bertemu di sana yah”. Hanif membuka pembatas surah yang ada di Al-Quran. Di sana terselip tulisan sampai ayat ke 20 Al-Anfaal. Dalam hati Hanif berkata, apakah ini batas terakhir bacaanmu? Baiklah aku akan melanjutkannya. Kemudian Hanif mulai membaca smapi di Ayat ke 65, Ibu Hanif masuk dan mengatakan sudah saatnya ia berangkat. Berat sekali ia meninggalkan tempat itu, tapi Hanif melangkah juga keluar dari sana.
Dari kejauahan, di satu sudut mata mengalir bening airmata. Tak ada yang tahu, tak ada yang sempat melihatnya. Di atas langit, Malaikat bertasbih dan mendoakan mereka.
Sumber:
*http://sophie4519.multiply.com
*http://sophie4519.multiply.com
(Bersambung)
Aku Ingin Menikah .... (=episode kedelapan=terakhir=)
Aku Ingin Menikah
=oleh: Shopie=Mereka pun segera berangkat menuju Makkah dengan berniat dan berihram. perjalanan 9 jam langsung dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang cukup melelahkan Hanif.
Beberapa kilo meter lagi sampai di Makkah seperti biasa akan ada Check Point atau pemeriksaan standar dari pemerintah untuk orang-orang yang akan masuk ke Makkah. Biasanya diperiksa iqamah atau KTP, Paspor untuk orang asing atau bukan penduduk setempat. Setelah semua selesai perjalanan dilanjutkan. Baru juga beberapa meter, tiba-tiba jalanan macet. Ternyata telah terjadi tabrakan, dua mobil ringsek berat. Kak Gin perlahan menjalankan mobil, mereka tidak bisa melihat korbannya, karena beberapa polisi sigap langsung mengamankan tempat tersebut. Dalam hati Hanif berdoa mudah-mudahan selamat penumpangnya.
Selama perjalanan Kak Gin tak banyak bertanya, ia tidak ingin Hanif sedih. Semua yang telah terjadi tidak pernah di duga. Sebelumnya Hanif telah mempersiapkan segalanya dengan sempurna bersama kak Gin, tapi Allah berkehendak lain.
Kota Makkah sudah di depan mata, Hanif melihat jam di tangannya. Pukul 02:50 dini hari. Hanif baru menyadari kak Gin hebat juga membawa mobil. Biasanya bisa 1 jam sampai ke Makkah, tapi ternyata bisa di tempuh dalam 45 menit.
“Wahai Istriku, aku penuhi janjiku. Bismillahirahmanirrahim, Allahu Akbar”.
Memasuki kota Makkah, mulailah Hanif dan kak Gin mengumandangkan Talbiyah.
Hanif sudah beberapa kali berhaji, ia sering membantu ayahnya menjadi pembimbing saat bulan Haji, dan Umroh. Ia selalu merasakan nuansa yang berbeda setiap kali berangkat ke Makkah untuk berumroh ataupun saat Haji besar.
Rasa yang sama, takjub, sedih, haru. Semuanya bercampur aduk. Selalu berulang biarpun sudah berkali-kali mengunjungi rumah Allah ini. Mulai memasuki kota Makkah setelah melewati salah satu terowongan. Di sisi kiri, Masjidil Haram berdiri megah, terang benderang bercahaya. Subhanallah.
Kak Gin memarkir mobil di jalan raya yang terdekat dengan Masjidil Haram Tidak jauh dari muka gang Pasar Seng tempat orang menjual cendera mata dan tempat pendatang belanja untuk oleh-oleh. Berjalanlah mereka menyebrangi jalan melintasi Pasar Seng yang ramai pedagang.
Mereka melewati pintu Babussalam. Babussalam adalah pintu ke 24 dari Masjidil Haram. Disunnahkan untuk memasuki Masjidil Haram melalui pintu ini. Suasana disana sangat ramai, penuh sesak dan berdesak-desakan. Hari ke 17 Ramadhan ini, orang-orang semakin banyak yang berdatangan.
Mereka masuk ke pelataran Ka’bah, lalu shalat sunnah 2 rakaat. Selanjutnya Hanif shalat hajat, ia memohon kepada Allah untuk menyembuhkan istrinya Sofi. Dibukanya Al-Quran. Hanif membaca surat Yusuf ayat ke 62. Terakhir Hanif melanjutkan bacaan Quran Sofi sudah sampai pada surat Yusuf.
Tiba-tiba, seorang Syeikh menepuk pundaknya dan mengatakan dalam bahasa Arab memintanya membacakan Surat Ar-Rahman. Hanif menoleh kepada kak Gin, beliau mempersilahkan Hanif untuk memenuhi permintaan Syeikh itu.
Hanif menghadap ke orang-orang dan dalam penglihatan Hanif, banyak sekali orang-orang yang tadinya mungkin telah selesai shalat dan thawaf tiba-tiba duduk dan seolah-olah siap untuk mendengarkan bacaan Hanif.
Dengan mengucap taawudz dan basmalah, Hanif mulai membaca. Kali ini Hanif merasa surat ini telah menguncangkan bathinnya lebih dasyat dari sebelumnya saat ia membacakan di ijab qobulnya tadi siang.
Begitu selesai, bergema kembali ucapan barakallah. “Barokallahu laka wa baaroka ‘alaika wa jama’a bainakumaa fii khoir”.
Hanif kaget, kak Gin juga. Bagaimana orang-orang ini mengetahui tentang pernikahannya. Hanya takbir, tasbih dan tahmid yang terucap di bibir mereka.
Kak Gin terharu sekali. Seumur hidupnya baru kali ini ia menyaksikan pernikahan yang begitu di berkahi.
Kak Gin kemudian memeluk Hanif, barakallah adikku. Mereka baru tersadar setelah terdengar kembali lantunan talbiyah. “labbaik Allahuma labbaik…”
Saat mereka ingin melihat orang-orang yang tadi bersama mereka dan ikut mendengar, ternyata sudah menghilang. Kak Gin berfikir jangan-jangan yang mendengarkan bacaan Hanif itu adalah para malaikat. Subhanallah.
Hanif berkata kepada kak Gin, Subhanallah kak, aku baru teringat aku telah berjanji kepada istriku ketika aku berada di Makkah akan membacakan Surat Ar-Rahman. Ternyata Allah telah mengingatkan aku untuk menepati janji.
Tidak terasa sudah setengah jam mereka di pelataran Ka’bah. Kak Gan mengajak Hanif untuk mencari makanan untuk sahur. Mereka pun pergi dari sana. Di salah satu pilar masjid, seorang ibu duduk menangis. Di dekati oleh Hanif dan di tanyakannya apa yang terjadi. Mungkin mereka bisa membantu ibu itu.
Kemudian ibu itu bercerita, kalau ia bertemu dengan seorang wanita dan wanita itu meminta makanan dan minuman untuk berbuka. Tapi karena ibu itu tidak membawa makanan, ia hanya berkata tidak bisa menolongnya.
Setelah wanita itu pergi, ibu baru tersadar dan sangat menyesal. Karena itu ibu membeli makanan tapi ibu tidak menemukannya. Kemudian ibu itu bertanya kepada Hanif dan kak Gin, apakah mereka mau menerima makanan dari ibu itu. Karena sudah berkali-kali ia menawarkan makanan itu ke orang lain tapi di tolak.
Subhanallah, Hanif dan kak Gin bertasbih. Ternyata Allah maha Kaya, Ia memberikan rezeki secara tidak terduga. Merekapun menerimanya. Ibu itupun senang sekali.
Dari kejauhan seraut wajah tersenyum, walau ia belum juga bisa berbuka puasa.
***
Kak Gin mengajak Hanif menuju Masjidil Haram, untuk bersiap shalat subuh di sana. Adzan subuh berkumandang, tempat dirapikan mulailah semua jamaah shalat subuh berjamaah. Tenang, khusyu’. Suara Imam yang merdu terdengar di telinga, nikmaaaatttt ! sekali. Hanif tak kuasa dalam shalatnya ia menangis, begitu besar nikmat Allah telah diberi. Apakah ia termasuk hamba Allah yang bersyukur? Semakin ia dalam mengingat, semakin ia tak kuasa menahan tangisnya.
Berjam-jam mereka di dalam masjid, tilawah tiada henti. Matahari bersinar dengan cerah, udara masih terasa sejuk. Setelah membersihkan diri dan shalat Dhuha.
Akhirnya mereka bersiap untuk memulai Thawaf. Thawaf adalah berjalan mengelilingi Ka’bah. Berjalan mengelilingi Ka’bah ini di lakukan sebanyak tujuh kali putaran, yang di mulai dari Hajar Aswad.
Kak Gin mulai memimpin doa diikuti Hanif di sampingnya.
Suasana khidmat teratur para jamaah berjalan. Seperti mimpi Hanif kembali berjalan di hadapan ka’bah sambil sesekali menyeka air mata. Setelah menyelesaikan 7 keliling, merekapun keluar dari arena Thawaf, dan shalat 2 rakaat di depan Makam Ibrahim.
Sebelum melaksanakan wajib umrah selanjutnya, mereka duduk sekedar melepaskan lelah di tangga dekat deretan kran-kran air zam-zam. Hanif mengambil air zam-zam dan di basuhnya ke wajahnya. Segar sekali.
Perjalanan umroh belum selesai, masih harus melaksanakan Sa’i.
Hanif dan kak Gin bersiap dengan semangat untuk melaksanakan Sa’i. mereka kemudian keluar dari pelataran ka’bah menuju tempat Sa’idilaksanakan. Sampailah mereka di bukit Safa, sambil berdoa mulailah mereka berjalan bolak balik 7 kali antara bukit Safa dan Marwah.
Rasa lelah tak terlukis di wajah mereka, peluh yang berhamburan semakin membuat mereka bersemangat. Akhirnya sampailah di perjalanan terakhir umroh. Hanif berkali-kali mengucapkan doa dalam hati “Ya Allah perkenankanlah aku kembali lagi untuk melaksanan Haji bersama istriku dan keluarga”.
Sebelum meninggalkan Masjidil haram Hanif sempat memalingkan muka sekali lagi ke arah Masjidil haram dan bergumam…. Subhanalllah.
***
Flat yang didiami keluarga kak Gin terbilang besar. Tapi bukan besar ruangnya yang membuat Hanif terkesan dan betah berlama-lama disana. Istri kak Gin, Mbak Tina yang pandai menatanya sehingga membuat kita nyaman.
Hanif beristirahat di kamar Rey, Anak tertua kak Gin. Rey masih di sekolah, karena ada pelajaran tambahan. Sambil rebahan, Hanif membuka diary Sofi.
“Palembang, catatanku”
Dear Diary,
Aku jatuh cinta, seorang lelaki sederhana telah membuatku terpesona. Cerita ini belum sempat ku posting di weblogku. Bukan karena ia ahli agama, Bukan karena ia seorang sastrawan, Ia hanya pengamen jalanan.
Aku bertemu pertama kali di sebuah bis kota, ia menyapaku ukhti. Kemudian permisi untuk melantunkan sebuah lagu.
Kau tahu isi lagunya?
Lagu yang menjadi backsound acara nasyid kesukaanku. Yup, benar lagu sekeping hati.
Kau tahu Dy, aku senang sekali ketika dia mulai memainkan biolanya.
Dy, aku bertemu dengannya lagi. Tapi kulihat kali ini berbeda. Wajahnya yang ceria agak muram, mungkin hari ini rezekinya tidak banyak atau mungkin ia sedang ada masalah. Aku tak tahu.
***
Hanif membuka lembar berikutnya, dan semakin penasaran dengan cerita Sofi.
Hanif semakin serius menyimak tulisan Sofi, mencari tahu apa maksud kata “aku jatuh cinta”.“Palembang, Untukmu”
Lelaki biasa
Ada apa denganmu
Kenapa kemarin tatapanmu kelam
Aku tak merasakan indahnya nada
Kau hanya diam memainkan biola
Kulihat kau tergesa
Kali ini lagumu tak sama
Belum sampai nada terakhir
Kau sudahi tanpa suara
Lelaki biasa
Kau buat aku kecewa
Kaupun tiada menyapa
Aku hanya diam
Memandang langkah
Dari kejauhan
Entah cemburu, entah apa yang dipikirkannya. Otaknya bekerja lebih keras, matanya tak lepas membaca setiap bait isi catatan itu.
“Palembang, Di Masjid itu”
My Diary, setelah mengajar aku segera pulang, tapi saat di simpang Polda, aku mendengar azan Shalat Ashar. Aku melihat ke masjid As Saadah Polda, dan kakiku melangkah kesana. Sungguh di luar dugaanku, aku melihat sosoknya yang tadi mengumandangkan Adzan.
Aku segera berwudhu, dan menggunakan mukena masjid. Sambil menunggu jamaah lainnya untuk shalat Ashar bersama.
Kebetulan ada beberapa wanita, sehingga aku tidak sendirian di masjid ini.
Setelah Doa, aku bergumam dalam hati “Subhanallah, ternyata tidak semua orang jalanan itu tidak mengenal Tuhannya”.
Saat aku akan bersiap keluar masjid, ia menyapaku. “Assalamualaikum Ukhti, baru pulang kerja?” tanyanya. Aku menoleh dan tersenyum, “iya, ehmn tidak mengamen?”. Ucapku kemudian.
Ia menjawab tidak, sedang malas mengamen. Kemudian ia berlalu begitu saja.
Aku masih berdiri mematung dan ketika sadar, ia sudah di depan gerbang Polda.
Akupun segera meninggalkan Masjid. Dalam hati, kenapa aku begini, malah bengong, dasar pikun.
***
Hanif sedikit kecewa, tapi tetap di bacanya lanjutan cerita itu.
“Palembang, Siapa Dia???”
Dear Diary, aku telah benar-benar jatuh cinta, lelaki itu telah mempesonaku. Tahukah kau diary. Ternyata lelaki itu bukanlah seorang pengamen. Ia seorang Trainer. Dan terungkapnya jati dirinya saat aku ikut membantu temanku sebagai panitia Outbond For Moslem Kids. Ia memberi Materi tentang persahabatan dan memandu anak-anak Outbond.
Namanya Nurrahman Muslimin, menurut temanku ia orang yang sangat tegas dan kritis. Baru-baru ini, ia sedang mengadakan proyek “Selamatkan Aqidah Anak Jalanan”. Alhamdulillah ia di percaya menjadi bagian komunitas marginal tersebut.
Aku hanya ber’ooo’ saja sambil mengangguk. Dalam hatiku aku berkata, pantas ia menyapaku ukhti.
Dina, temanku kemudian bercerita lagi. Kak Rahman itu belum menikah. Aku kembali ber “ooo” dan akhirnya keluar juga pertanyaan dalam hatiku, “Kok Ikhwan sekaliber dia belum menikah?”.
Dina tersenyum, “Kayaknya nggak ada Akhwat yang mau dengannya, nggak kuat mental dengan kehidupannya”. Ia orang lapangan, bergaul dengan banyak orang dan siapa saja. Dari kalangan atas sampai kalangan bawah. Ada yang menyukainya, banyak juga musuhnya.
Tiba-tiba, terceplos olehku, kok kamu tahu semua sepak terjangnya? Memangnya dia cerita atau jangan-jangan Dina pernah Taaruf yah? Hehehe.
Dina cemberut, dia cuma bilang “Kalau Dina Taaruf dengannya nggak akan nolak”. Dasar ucapku kemudian. Dina yang suka Ceplas Ceplos bicaranya, lanjut berkata kalau dirinya tahu itu semua dari salah satu temannya yang pernah taaruf, sayang orang tua si akhwat tidak bersedia.
Ba’da Dzuhur acara selesai dan entah kebetulan atau bagaimana, aku satu bis dengan Rahman saat pulang. Ia tersenyum sekilas, sayang saat aku akan membalasnya ia tak melihatnya. Ugggh, aku kesal. Sebel ucapku dalam hati.
***
Hanif semakin antusias, tapi beberapa halaman hanya di bolak balikkannya saja. Tidak ada yang spesial. Tiba-tiba, Mata Hanif membesar dan dadanya berdegup kencang. Ia menelusuri kata-kata itu dan mukanya memerah.
“Palembang, Doa & Cinta”
Dy, Dina menjadi comblang kami. Ia menyampaikan pesan kepada Dina, dan aku menerima suratnya. Ia berkata ingin bertaaruf denganku dalam suratnya.
Dy, aku melambung, ia yang telah memanah hatiku, kini menyerahkan padaku obat penawar luka karna asmaranya. Aku meminta waktu untuk istikharah, tapi sebenarnya aku telah condong padanya.
Sampai saat itu tiba, saat yang tak terfikirkan olehku. Bahwa manusia hanya berusaha, jodoh dan ajal hanya Allah yang tahu.
Dy, aku hanya bisa mengirim doa untuk kekasih tercinta. Ia mengalami kecelakaan, semalaman koma. Tapi Allah memanggilnya, mobil yang membawanya dan teman-temannya sepulang mengadakan outbond di Gunung Dempo bertabrakan dengan Bis.
Dari 7 orang Trainer, 3 meninggal dunia. Asep yang terluka ringan karena di lindungi Rahman hanya memberikan sepucuk surat dan setangkai Edelwais dari dalam tas Rahman. Ia tak dapat berkata apa-apa. Dukanya begitu dalam.
Aku menerima dengan tegar, tetapi setelah itu aku menangis di kamar kos Dina. Dinapun tak kuasa menahan tangisnya. Kami berpelukan dan mencoba saling menguatkan diri. Beristighfar.
“Puncak Dempo, 03 Maret 2007”
***Ukhti, Menanti jawabmu
Bagai mendaki gunung karang
Lelah, tapi nikmat
Senikmat kala Cinta itu hadir
Memberi Warna dalam hari
Ukhti, Aku tak kuasa
Melihat senyum manismu
Kuingin menghalalkan rasa ini
Agar indah cinta terasa
Karena bingkai rahmatNya
Ukhti, Aku manusia biasa
Tapi ku punya cita-cita para Anbiya
Agar Islam tak hanya sebutan
Walau diriku bagai setitik buih
Ku akan warnai dunia
Ukhti, Jadilah bidadariku
Agar diri lebih kuat berjuang
Karena dirimu mendampingiku
Ukhti, Jadilah istriku
Agar jalan ini lebih mudah
Karena kita bersatu
Ukhti, Jadilah penentram jiwaku
Agar aku semakin Taqwa padaNya
Sampai akhir masa
Doaku dan cintaku hanya untukmu
Dunia dan akheratku
Kita bersatu dalam cintaNya
Mujahidmu,
Nurrahman Muslimin
Hanif tak sanggup melanjutkan membaca, ia merasa sedih yang dalam. Ternyata cintanya belum apa-apa untuk Sofi.
Ia merasa kalah, kalah dengan sosok lelaki biasa yang ternyata sungguh luar biasa. Yang mengorbankan dirinya untuk Islam, sedangkan dirinya, Hanif merasa dirinya masih jauh dari sempurna.
Sayap-sayap Cinta
Inikah artinya sebuah cinta
Ketika aku berada
Langit seperti bicara
Bulan seperti menatap
Bintang menari
Dan sang surya menyapa
Aku berada di satu tempat
Tapi hatiku ingin segera kembali
Tuhan, apa aku sedang merindu?
Kirimkan sayap-sayap cintaMu
Agar aku bisa bertemu
Aku merindumu
Wahai wanita sholehah
Wahai kekasih para mujahid
Wahai istriku
Aku kan segera kembali
Tunggu aku
Beri aku waktu
Andai kau tahu
Sekarang aku merindu
Rasa rinduku
Bagai ombak menerjang karang
Aku mencintaimu
“Hanif”Hanif baru saja menuliskan isi hatinya dalam buku diary sofi. Ia ingin meneruskan kisah yang ada dalam buku itu. Bukan lagi kisah Sedih tetapi masa penantiannya bertemu kekasih jiwa, istri yang telah membuatnya begitu berharga. Karena darinya, Hanif merasa hidupnya sekarang ada arti dan Hanif akan mengubah langkah hidupnya menjadi lelaki biasa yang luar biasa.
Makkah, 17 Ramadhan 1428 H
Kemudian, ia melanjutkan menulis perjalanannya untuk menyelesaikan kewajibannya melakukan umroh atas nama istrinya. Banyak hal yang tak terduga telah terjadi dalam hidupnya.
Semua bagai mimpi, ia menikahi seorang wanita karena sebuah mimpi. Sungguh bukan hal yang mudah baginya melaksanakannya. Hanya satu wajah yang tampak baginya maka ia menyerahkan semua kepada Allah. Ia hanya berharap keberkahan atas wanita dalam mimpinya.
(Selesai ....
Sumber:
*http://sophie4519.multiply.com
=========================================================
Menganyam Kesabaran
"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan tanganku memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dengan pulasnya. Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat tubuh Aa yang jangkung tampak mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa membangunkan aku.Terlihat terjemahan Al quran yang masih terbuka di samping kepala Aa. Kututup perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum memandangi wajah Aa yang terlihat damai sekali.
"A..Aa..!" Kuguncang-guncang bahu Aa pelan. Aa menggeliat sebentar. Tapi seakan tidak peduli malah membalikkan posisi tubuhnya membelakangiku. Kuulang hal yang sama. Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini, cuma ada satu cara yang ampuh. Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran lalu mencuci tanganku. Siraman air dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika. Rasa kantuk yang masih tersisa lenyap dibuatnya. Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah Aa.
Suamiku terbangun seketika dan menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu. "Assalamu'alaikum! Sudah mau jam 5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa. Aa bangkit dari tidurnya. "Hmm..,"gumamnya masih ogah-ogahan. "Dede wudhu dulu..awas jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak ke kamar mandi.
Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al Quran dan doa Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama tilawahku. Aku beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika aku memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa. "De..! Sudah nggak papa perutnya..? Katanya mulas habis dari Rumah sakit kemarin.." "Nggak, udah nggak papa, kok, "sahutku.
Kemarin memang hari di mana aku harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri secara rutin tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang ramah itu mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku bisa menolaknya kalau tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang atau nanti. Maka kubilang pada dokter tersebut. "iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa. Tolong laksanakan saja...)" Dokter Abe tertawa. "Gaman site, ne...(bersabar ya, kalau sakit..)" Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir terjatuh ketika bangkit dari tempat tidur.
"Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk mengantar anda pulang ke rumah!" Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yang tidak dapat kuceritakan rasanya. Sampai di rumah aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat lagi membuat makan malam buat Aa. Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yang memasak makan malam. Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, walaupun sebenarnya tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya makan malam di meja makan, malah beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih karena telah Kau berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati. "Hei! Kok, bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap basah dalam keadaan bengong. "Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan mutu.." Aa bergerak menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk saja. Mi goreng adalah masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya jauh lebih enak dari buatanku. Pagi itu kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa. Sedap karena Aa menambah rasanya dengan keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di dekat stasiun.
Aku ke kiri menuju kampusku yang telah berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik. "Nggak papa, De..? Kuat kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah. "Insya Allah nggak papa...Lagian cuma sebentar hari ini, seminar saja. Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha menghilangkan kekhawatiran Aa. "Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu'alaikum!" Aku mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai tubuh jangkung Aa hilang di pintu stasiun.
Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga, dan Aa sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang sama, FMIPA, walau berbeda jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami, dengan memberikan cinta dan kasih sayang-Nya pada hati-hati kami.
Walau kami tidak berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang pada umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami hingga usia perkawinan kami menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada mungkin keinginan kami untuk mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan bahtera. Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami. Ketika setelah dua tahun menikah Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja.
Aku memang tidak mempunyai siklus bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat keturunan dari ibu dan bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsiku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus membagi waktuku sebagai seorang istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.
Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter ahli kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan.. Dan setelah diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga sejak satu setengah tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama setelah shalat, sebagaimana yang juga aku lakukan. ****Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, khususnya aku. Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga ketika hari tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan agar aku melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-artikel bahasa Inggris dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah kumulai sejak aku masuk universitas.
Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman, ibu-ibu dari Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak yang aku lakukan melalui TV dan majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga, yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran untuk melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah kadang-kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar kecenderunganku tersebut.
Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai psikologi pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya. Sedari dulu aku tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku menyambut saran Aa. Dan jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi graduate di universitas yang sama dengan tempat Aa sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk pindah ke tempat yang sekarang.
Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah Allah pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak waktu memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang kurasakan sangat mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada si kecil yang yang memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku atau Aa akan berguman. "lucunya.." "A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?" Atau: "De, mudah-mudahan anak kita juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam diam.
Dan biasanya kami akan saling memandang dan tersenyum bersama. Walau bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya Allah..
Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa-sisa musim dingin masih tertinggal. Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang kuukur setiap hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak menurun. Tapi aku tak mau terlalu berharap.
Karena takut kecewa yang berlebihan, jika bukan berita baik yang kudapat. Dan dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan kudengar namaku dipanggil. "Aya-san!" Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti biasa. "Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas. Dan.."Omedetou gozaimasu..!(selamat..)" aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan yang luar biasa, tetapi juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke kerongkongan."Positif..,"kata dokter Abe melanjutkan. Alhamdulillah,
Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha Besar Engkau yang telah mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku bertasbih dan bertahmid dalam hati, air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi. Dokter Abe memandangku dengan senyumnya, dan aku tahu dimatanya yang tersembunyi oleh kacamata itu ku dapati juga kaca-kaca. "Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih pada-Nya. Dia menggeleng. "Bukan saya yang membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan) lah yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji bagi Engkau...
Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku masak soto ayam kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar sedikit istimewa. Juga acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Ketika dering telpon berbunyi, aku segera berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja...Sehabis menjawab salam Aa, tanpa memberi kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A, cepet pulang!..."
Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin di perutku baru dua bulan, tapi aku yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan. Buku-buku tentang pendidikan janin dalam rahim, cara merawat bayi,sampai majalah tentang permasalahan bayi, yang dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dari penglijatanku kupindahkan dekat rak buku-buku kuliahku. Uang tabungan yang kusisihkan dari uang belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa aku rajin menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak dalam Islam dan kuingat-ingat bagian yang pentingnya.
Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa walkman yang memutar ayat-ayat Al-quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan "mengobrol" dengan janinku. Sampai Aa iri, karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil lewat tubuhku, sedang Aa tidak. Alhamdulillah, aku tidak banyak mengidam dan merasakan mual. Padahal aku khawatir juga, karena sampai sekarang aku masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan sebagian besar di rumah, bukan di perpustakaan seperti biasanya. Karena di rumah aku lebih punya waktu dan lebih bebas "bicara" dengan si kecil.
Sampai saat itu...
Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah 10 pekan usianya. Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa dideteksi oleh USG, maka beliau mengundang Aa juga untuk ikut menyaksikannya. Akan tetapi, takdir Allah menentukan lain... "Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga minggu yang lalu, ya..?" Dokter Abe bertanya memastikan setelah selesai memeriksaku. "Iya, sensei.."Aku mulai merasakan hal yang tidak enak menjalari hatiku. "Heemm, bisa tolong panggil suami anda..?"
Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu. Janinku tidak berkembang! Penyebabnya sendiri belum diketahui secara persis. Karena pada pemeriksaan terakhir dia masih "hidup". Aku harus mengeluarkannya agar tidak meracuni rahimku.Aa menggegam tanganku erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu kedatangannya selama 5 tahun lebih.Mengapa dia Kau panggil tanpa sempat kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil dia tanpa sempat aku rasakan lembut kulitnya, indah bening matanya, dan tangisan rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagisambil berucap pelan, "Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan mengerti apa yang bergalau di hatiku.
Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah. Tidak, aku tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah bagian hatiku. Tetapi kenapa Dia panggil anakku yang sudah begitu lama kunantikan, tanpa memberiku kesempatan untuk jangankan membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih lama berdiam dalam perutku? Seru bagian hatiku yang lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni aku.Akhirnya bagian hatiku yang bersih menyapu bagian hatiku yang kotor. Dan kutemukan diriku dalam keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa berucap pelan "Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang menandatangani formulir operasi buatku.
Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti pada tubuhku. Tapi tidak demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian ketika kusadari "anakku" tak ada lagi dalam diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang masalah itu. Aa tampak berusaha bersikap biasa. Namun aku tahu Aa menanggung kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.
Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah itu pertama kali kami shalat berjamaahan sejak aku mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yang kedua Aa membaca surat Al Baqoroh dari ayat 153. Dan suara Aa bergetar ketika mencapai: ....
>Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi wal juu'i wanaqshim minal amwaali wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin Alladziina idzaa ashabathum mushibah, qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi raji'uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah. Wa ulaaika humul muhtadun... ...
(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka berucap: Innalillaahi wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ...)
Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu. Betapaku rasakan Allah langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat, seperti biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib, lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian membalikkan badannya ke arahku. Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang tidur, karena beberapa hari ini Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya. Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku dengan tangan kirinya. "Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata cekung Aa dipenuhi oleh kaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.
Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau berkati dan rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang tidak seberat yang dialami saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk dapat terus menganyam benang-benang kesabaran kami, agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu menanggung cobaan yang lebih berat lagi.(is95
************
Keterangan: Aa * bahasa sunda artinya sama dengan panggilan Mas(untuk orang Jawa), atau Abang (untuk orang Betawi) Dede * bahasa Sunda, artinya sama dengan adi, jeng (atau apalah panggilan sayang buat istri) Miso * semacam tauco Indonesia terbuat dari beras, kedelai, dan garam Domou arigatou gozaimasu: terimakasih banyak .....san: cara orang Jepang memanggil lawan bicaranya
Posted by gdz
cerpenislami.blogspot.com
=====================================================
=====================================================
Bulan Andimarsedonia
Pada suatu masa, sebuah kerajaan kecil berdiri dengan sangat makmur dan damai.Walau kerajaan ini kecil, karena kekayaannya ia sagat disegani dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan tetangganya. Kerajaan ini bernama Andimarsedonia. Andimarsedonia dipimpin oleh seorang raja yang masih muda tapi bijaksana dalam bernegara, beliau memiliki seorang permaisuri dan seorang adik yang bernama Putri Aelia.
Putri Aelia dikenal sebagai Bulan dari Andimarsedonia, karena dia berparas sangat rupawan, kulitnya putih dan bersinar, bibirnya semerah darah dengan senyum yang sangat merekah, suaranya sangat merdu dan lemah lembut, rambutnya yang panjang sehitam arang, tubuhnya harum seharum melati. Kecantikannya yang luar biasa tidak hanya tersebar hingga keseluruh pelosok kerajaan, tapi berita itu juga mencapai ke berbagai negri di dunia. Tidak sedikit yang berlomba-lomba untuk melihat wajahnya walau hanya sekejap. Berdatangan pinangan dari pernjuru, tapi tak satupun yang dapat meluluhkan hati sang putri.
Putri Aelia tidak hanya dikagumi dengan kecantikannya, tapi juga karena kecerdasannya dan kepiawaiannya diberbagai bidang. Jiwanya yang keras dan kesadaran akan kedudukannya inilah yang membuat Putri sangat pemilih dalam masalah percintaan.
Putri Aelia merupakan salah satu tangan kanan Raja dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada suatu hari Putri Aelia sedang berjalan-jalan di hutan wilayah selatan bersama beberapa pengawal dan dayangnya. Tiba-tiba sebuah kuda melaju sangat kencang dari arah yang berlawanan. Ketika melihat rombongan putri, si penunggang kuda memperlambat jalan kudanya, lalu berhenti di depan rombongan sang putri dengan menganggukan kepalanya sekali sebagai tanda hormat. Ketika pandangan mata pemuda itu bertemu dengan pandangan sang putri, pemuda itu langsung menundukkan pandangannya. Putri merasa heran, selama hidupnya hampir semua laki-laki akan terpana akan kencantikannya sehingga tak akan mampu mengalihkan pandangan mereka dari wajahnya untuk beberapa lama. Tapi dalam sekejap saja pemuda dihadapannya ini langsung menundukkan pandangannya.
Karena rasa herannya, putri meminta sang pemuda untuk mendekat. Pemuda itupun mendekat dengan masih saja menundukkan pandangannya.
“Salaam hai pemuda. Siapakah kau dan sedang apa kau disini?”
“Walaikum salam Putri Aelia, Saya adalah Ali abdul Jabbar bin Abdullah, dan saya sedang berkuda berkeliling hutan.” Jawab pemuda itu tanpa sekejappun menaikkan pandangannya pada sang putri. Sikap pemuda bernama Ali semakin membuat putri penasaran.
“Wahai Ali, mengapa kau selalu menundukkan pandanganmu ketika berbicara padaku, padahal aku tak berkeberatan dengan hal itu.”
“Sungguhpun saya tahu Putri tidak berkeberatan, tapi Allah dan Rasul-Nya berkeberatan jika saya memandang Putri, dan saya takut akan murka Allah.”
Putri Aelia merasa malu mendengar perkataan pemuda itu, karena selama berbicara, tak sekejapun ia menundukkan pandangannya dari Ali. Putri menyadari bahwa Ali memiliki wajah dan perawakan yang sangat tampan, tapi ketampanan budi dan akhlaknya semakin membuat Putri Aelia kagum. Bagi sang Putri, Ali adalah sosok yang sangat lain dari yang lain, Putri merasakan sesuatu pecah didadanya, ada perasaan riang yang tiba-tiba menggelitik relung hatinya, akhirnya dia menyadari bahwa Ali adalah laki-laki yang ia tunggu selama ini.
“Wahai Ali, siapakah orang tuamu dan dimanakah rumahmu?”
“Ayah saya adalah Abdullah bin Mustofa, Bangsawan kerjaaan bagian selatan dan rumah kami…”tiba-tiba Putri memotong kalimat Ali.
“Ah aku tahu, ternyata kau putra dari paman Abdullah, aku mengenalnya, tapi mengapa aku tidak pernah melihatmu berkunjung ke istana?”
“Karena sejak kecil saya tidak pernah berada dikerajaan ini, saya menetap kerajaan tetangga. Saat ini saya sedang berlibur disini untuk beberapa waktu.”
“Ah baiklah kalau begitu, apakah kau bersedia untuk berburu bersama rombonganku?”
“Terima kasih banyak tuan Putri, saya merasa terhormat, tetapi saya telah berjanji pada ayah untuk pulang pada saat makan siang, dan saya rasa saya telah sedikit terlambat. Jika Putri tidak berkeberatan, saya harus memenuhi janji saya pada beliau, saya mohon pamit.”
Putri menghela nafas kesekian kalinya, jika bukan Ali, tanpa sedetikpun berpikir laki-laki manapun akan menerima tawarannya itu dengan girangnya. “Sungguh kau ini laki-laki yang berbeda wahai Ali, tak sedikitpun kau bernafsu untuk menghabiskan waktu bersamaku. Baiklah Ali, senang berkenalan denganmu, sampaikan salamku pada paman Abdullah, dan percayalah Ali, aku akan menemuimu lagi diwaktu yang dekat.”
“Insyaallah Putri dan terima kasih, wasalammualaikum.”
“Walaikum salam,” jawab putri lembut. .
Ali pun melesat pergi dengan lari kudanya yang sangat kencang. Sambil melihat kepergian Ali bersama kudanya, Putri Aelia menarik nafas panjang-panjang, akhirnya dia menyandarkan kepalanya ke dinding kereta dan berbisik pada pelayannya, “Ah Ali, tak sekalipun dia menoleh kebelakang… sungguh dayang, aku merasa melayang bersama larinya kuda Ali. Dayang, perintahkan rombongan untuk pulang ke istana!”
Rombongan putripun kembali keistana, tetapi hati sang putri sangat kentara telah terbawa oleh pemuda Ali dan kudanya ke arah yang berlawanan.
Sesampai diistana Putri bergegas menuju Taman Keputrian, sebuah tempat khusus dalam istana yang merupakan berkumpulnya para putri dan istri bangsawan. Ia ingin sekali mencari kabar berita tentang pemuda yang baru saja ditemuinya. Seperti dugaannya, pada saat itu Taman Keputrian sangat ramai, dia mendekati segerombolan putri bangsawan yang sangat terkenal dan pandai, mereka adalah teman-teman dekat Putri Aelia.
““Salam wahai saudariku, Aisya, Amina, Safira” Rombongan itu membalas salam putri dengan riangnya.
“Walaikum salam Putri Aelia, masyaallah kau terlihat sangat ceria. Wajahmu tampak sangat kemerahan dan senyummu sungguh lebih merekah daripada biasanya! Ada apakah gerangan yang terjadi?” Putri Aelia tertegun, sejelas itukah pancaran kebahagiaan hatinya dari wajahnya?
“Ah kalian memang teman dekatku, mungkin kalian dapat langsung membaca pikiranku tanpa kuberi tahu.”
“Ah Putri, jika aku tak mengenalmu lebih lama, aku akan berkata kau sedang jatuh cinta. Tapi setahuku tak satu pemudapun yang kau minati dinegeri ini. Jadi aku dengan jujur berkata padamu, aku tak tahu…” Jawab Aisya yang dibarengi anggukan kedua putri lainnya. Putri Aelia tertawa sangat kencang dan renyah, tidak seperti biasanya dia selalu tertawa lirih dan lembut, hal itu semakin membuat yang lain keheranan.
“Sungguh wahai saudariku, aku bertemu seorang pemuda hari ini.”
Dengan serempak, ketiga putri itu menjatuhkan gelasnya dengan mulut menganga.
“Masya Allah!!!…..siapakah pangeran impian ini???” tanya mereka hampir serempak.
“Ah saudariku, aku baru saja mengenalnya, maukah kalian membantuku untuk mencari tahu segala sesuatu tentang dia? Karena sebagai seorang Putri aku malu untuk bertanya kesana kemari perihal seorang pemuda pada banyak orang.”
“Tentu saja kami mengerti, dan kami akan membantumu dengan senang hati. Katakan kepada kami, siapakah nama pemuda tersebut?”
Dengan wajah yang semakin memerah putri membisikan nama Ali abdul Jabbar bin Abdullah.
“Ah, aku tahu tentang dia, aku bertemu dengannya dua hari yang lalu. Dia baru datang dari Kerajaan Dalusia, tapi aku tak sempat berbicara padanya… ehm, saat itu aku dengar dikalangan para gadis dia dikenal sebagai Pemuda Es, karena dia sama sekali tak pernah berbicara akrab dengan wanita.” Kemudian Safira dengan menggoda berbisik pada Putri Aelia, ”Tapi jangan kuatir putri, dia belum menikah.” Diikuti gelak tawa yang lainnya.
“Ah Putri, sungguh tak salah pilihanmu!” tiba-tiba Aisya berteriak girang.
“Sungguh jika aku belum bertunangan, aku akan meminta Ayah untuk meminang dia untuk diriku sendiri ha ha….” Canda Aisya lagi riang, lalu dengan serius dia meneruskan. “Aku baru teringat ketika Safira berkata tentang Pemuda Es, Dia memang jarang sekali berkunjung ke negeri ini. Seperti kau tahu, aku masih sepupu dengan Ali, karena dia menganggapku saudara, dia pernah berbicara padaku setahun yang lalu. Ah sungguh dia pemuda yang luar biasa! Tidak hanya tampan, tapi juga pandai dalam segala bidang, terlebih lagi, dia sangat rendah hati. Banyak sekali gadis dikerajaan ini ingin menikah dengannya, tapi lamaran orang tua mereka selalu ditolak oleh Ali dengan hormat. Aku sendiri tak mengerti mengapa, padahal dia saat itu belum memiliki kekasih. Akhirnya sampai saat ini semua orang tua segan untuk melamarnya lagi. Jika putri mereka meminta pada orang tua mereka untuk melamarkan Ali, mereka akan berkata …’Lebih baik kau tunggu Ali datang melamarmu’. Sungguh mereka tahu bahwa tak akan lamaran mereka itu diterima.”
“Waaah, benar! Para orang tua berhenti melamar Ali setahun yang lalu. Orang tuaku salah satunya. Mereka melamarkan Ali untuk Syafia kakak sulungku. Tapi Ali menolak karena alasannya dia belum ingin menikah dan ingin melanjutkan pendidikannya. Sungguh malang kakakku itu, aku beruntung tak pernah bertemu Ali, karena aku takut akan senasib seperti kakakku, yang kudengar, dia selalu menjauhi wanita dan menundukkan pandangannya setiap kali berbicara dengan wanita.” Kenang Amina.
“Ah Putriku yang cantik, kau telah bertemu orang yang sama dengan dirimu!” kata Amina lagi. Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat.
“Tapi siapakah yang mampu menolak kecantikan Putri??!!” teriak ketiga gadis itu dengan serempak sambil menggoda Putri Aelia, kemudian mereka semuanya tertawa.
“Mengapa aku tak pernah mendengar tentang dia dari kalian atau yang lain?”
“Ah Putriku yang cantik, kami segan membicarakan tentang seorang pemuda yang jauh dari jangkauan kami. Lagipula kami bertiga sudah bertunangan, kami malu untuk membicarakan perihal seorang pemuda selain dari tunangan kami. Lapi pula, dia jarang sekali tinggal disini, hanya orang yang tinggal di daerah selatan yang banyak tahu tentang Ali, ehm…tentu saja hampir semua gadis dinegeri ini, sedangkan Kau jarang sekali keluar istana, apalagi bertanya tentang pemuda!”
Putri Aelia berpikir sejenak, lalu tiba-tiba dia berkata,
“Aku akan menghadap kakakku.” Ketiga putri tersebut tertegun mendengar kalimat terakhir Putri Aelia, mereka tahu maksud dari perkataan adalah tekad Putri Aelia untuk mendapatkan Ali melalui sang Raja. Siapakah orang yang akan menolak lamaran seorang Raja negaranya. Dalam hati mereka berkata, “Ah Ali, sudah saatnya kau menerima lamaran seorang wanita!” .
Lalu Putri Aelia berpamitan meninggalkan ketiga temannya dengan keyakinan yang mantap, ketiga putri bangsawan itupun bubar masih dengan perasaan terkejut
****
Walaupun malam telah larut, Putri Aelia mengunjungi kamar peristirahatan kakaknya sang Raja.
““Ah Adikku tersayang Aelia, tak biasanya kau ingin bertemu aku secara tergesa-gesa seperti ini, ada bintang apakah yang jatuh ditanganmu?”
“Duhai kakakku tersayang, tak nampakkah olehmu cahaya bulan yang memancar dari wajahku?” Raja tertegun lalu memperhatikan mimik wajah adiknya yang rupawan.
“Masyaallah, mengapa wajahmu merona dan tersipu seperti itu? Apakah mungkin hal yang luar biasa terjadi padamu?”
“Ayolah kakak coba tebak jika kau mengenalku sedalam lautan!”
“Wahai adik, jangan kau permainkan kakakmu ini! Tak mungkin jika kau ini bertemu seorang pria?!” Mendengar tebakan Raja wajah putri semakin memerah dan senyumnya semakin merekah, kecantikannya terpancar lebih bercahaya dari biasanya. Rajapun sangat terkejut bercampur girang melihat anggukan malu adiknya.
“Masya Allah!!! Benarkah ini? Adikku menemukan pujaan hatinya? Allohuakbar!” Raja memeluk adiknya denga perasaan sangat berbunga.
“Sungguh berita yang amat baik yang kau bawa malam ini wahai Aelia! Ceritakan padaku siapa orangnya!” Aeliapun menceritakan pertemuannya dengan Ali dan apa yang dia dengar tentang Ali dari teman-temannya.
“Ah Putra kedua Abdullah bin Mustofa! Aku sering mendengar tentang dia dari Abdullah dan bangsawan yang lain. Dia cukup dikagumi, tapi sejak kecil ia tinggal dan menetap dengan Paman dari pihak ibunya di Dalusia jadi aku tak pernah mengenalnya secara langsung. Aku percaya pada penilaianmu tentang Ali. Apapun kehendakmu aku percaya wahai adikku. Baiklah, aku akan memanggil Abdullah bin Mustofa menghadap besok pagi!”
“Terima kasih Kakakku tercinta.” .
Putri Aelia kembali ke pembaringannya dengan perasaan berbunga, perasaan yang tak pernah dia alami selama hidupnya. Semalaman dia terjaga karena tak mampu untuk memejamkan mata dan pikirannya yang telah penuh dengan sosok Ali.
Berita Dari Istana
Pagi menjelang, kesegaran menerobos dengan lincah disela dedaunan berlomba dengan angin pagi. Abdullah menyeruput minuman madu yang masih panas dengan perlahan, sedangkan Ali baru keluar dari bilik mushola keluarganya setelah menjalankan shalat fajar.
“Salaam Ayah, selamat pagi.”
“Walaikum salam! Ah anakku Ali, Sungguh aku diberkahi Allah dengan memiliki anak yang tak lepas dari sajadahnya seperti dirimu Ali.”
“Alhamdulillah Ayah, segala pujian hanya kepada Allah semata. Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya.”
“Ha ha ha, seperti biasanya, kau benar-benar sungkan dengan pujian Ali!” Ali duduk di kursi desebelah ayahnya. Taman mawar yang luas dihadapannya menyebarkan keharuman yang sangat menyegarkan. Taman mawar itu selalu mengingatkan Ali akan ibunya yang telah wafat dua tahun yang lalu. Taman mawar ini adalah peninggalan kelembutan dan pancaran kasih sayang dari ibunda Ali.
“Ah kau lihat Ali, ibumu adalah wanita seperti mawar-mawar itu. Cantik dan selalu membawa kesegaran dirumah ini. Apalah arti taman itu tanpa mawar-mawar itu Ali?”
“Kosong dan membosankan Ayah.” Jawab Ali singkat.
“Benar Ali!… begitu pula hidup seorang laki-laki tanpa wanita.”
“Apakah ayah ingin menikah lagi?” mendengar pertanyaan Ali yang spontan Abdulah tertawa terbahak-bahak.
“Oh Ali!!! Aku ini sudah tua dan banyak anak!… ibaratkan taman itu, tamanku telah penuh dengan buah-buahan!” Abdullah masih tertawa geli, sedangkan Ali sudah menangkap maksud dari ayahnya.
“Ali, kau jangan pura-pura bodoh. Kau tahu apa maksud dari “ayah tuamu” ini.”
Ali menghela nafas pendek sambil tersenyum. Abdullah terkejut dengan expresi anaknya saat itu. Tidak seperti biasanya, Ali tersenyum, biasanya dia hanya akan menjawab dengan sikap segan dan wajah penuh keseganan.
“Ayah… Aku tahu, maksud ayah tentang wanita untuk diriku… sebenarnya ayah…” Belum sempat Ali melanjutkan kalimatnya, seorang pelayan menghadap Abdullah dengan sebuah surat ditangannya.
“Dari Raja?” Abdullah membaca surat perintah Raja dengan serius. Lalu dia melipat surat itu dan memandang tajam kearah anaknya.
“Ali, sungguh senyum diwajahmu barusan amat membuatku penasaran, tapi aku harus menunggu jawabanmu dilain waktu, karena Raja memintaku datang sekarang juga.” Ali tertawa melihat kebingungan diwajah ayahnya, “Ya Ayahku, aku akan berada disini jika kau kembali aku tak akan lari dari pembicaraan ini, isnyaallah. Pergilah menghadap Raja Ayah.” .
Jawaban Ali semakin membuat Abdullah penasaran dan sedikit girang, jika Ali tak menghindar dari pembicaraan ini, apakah artinya Ali telah menemukan seorang gadis?… Abdullah merasa tersiksa akan rasa penasaran tentang anaknya, tapi dia harus bergegas pergi, karena titah Raja adalah tugas utamanya. Perjalanan dari tempat tinggal Abdullah menuju istana memakan waktu setengah hari dengan kuda yang dipacu kencang. Abdullah tak mau membuang waktu dengan mengendarai kereta kuda, dia menunggang kudanya yang terbaik lalu melesat pergi.
Sesampainya di istana Abdullah diundang minum teh bersama Raja taman. Abdullah tahu, jika Raja bersikap demikian berarti Raja hendak membicarakan sesuatu yang serius.
“““Abdullah, assalammualaikum!”
“Walaikum salam Baginda, pagi yang amat segar dan mengherankan saya, apakah gerangan yang membuat Baginda ingin bertemu dengan saya dalam waktu singkat seperti ini?”
“Sungguh Abdullah ada kabar baik kudengar malam tadi, sampai-sampai bulan negeri ini bersinar lebih terang dari sebelumnya!” Abdullah tertegun, ia tahu yang dimaksud Raja adalah Putri Aelia.
“Ah! Subhanallah, berita gembira apakah yang sampai-sampai membuat kecantikan negeri ini bersinar lebih lagi?”
“Bulan negri ini telah menemukan bintang pendamping yang diingininya Abdullah!!”
Seperti semua orang, berita ini sangat mengejutkan Abdullah. Dia mengenal Putri Aelia dari kecil, dibalik kelambutan dan kecantikannya, Aelia memiliki sifat yang keras dan pendiriannya yang kuat. Menyadari kecantikan dan kedudukannya sebagai seorang Putri, Aelia sangat berhati-hati dalam memilih pasangan hidupnya.
“Allohu Akbar Ya Raja, benarkah itu? Siapakah pemuda yang sungguh beruntung ini?” Tanya Abdullah dengan mata yang membulat, Rajapun tertawa menggoda Abdullah.
“Hai Abdullah, tak bisakah kau menebak siapa pemuda itu?”
“Sungguh tak mampu saya menerkanya,”
“Ah Abdullah!!! Aku tahu aku sering memintamu datang seperti ini karena aku senang berbicara tentang berbagai masalah padamu karena pengetahuan dan intuisimu sangat tajam. Tapi sungguhkah kau tak bisa menebak siapa pemuda itu?”
“Benar seperti yang Baginda katakan, tak jarang Baginda memanggil saya seperti ini, jika dalam masalah kenegaraan akan mudah bagi saya untuk memberikan terkaan. Tapi masalah yang satu ini sungguh saya tak bisa menerka.”
Mereka terdiam beberapa saat, Raja memberikan kelonggaran waktu untuk bernafas pada Abdullah.
“Sudahkah kau tenang dari keterkejutanmu hai Abdullah?”
“Ah… Ya Baginda, saya baik-baik saja.”
“Adikku bertemu dengan pemuda itu kemarin di hutan daerah kekuasaanmu.” Kembali Raja diam dan menyelidik wajah Abdullah, seperti dugaannya, air muka Abdullah memancarkan keheranan.
“Apakah saya mengenal pemuda ini Baginda?”
“Ya Abdullah, kau mengenalnya dengan baik.” Abdullah semakin keheranan dan penasaran.
“Dia tinggal didaerah kekuasaan saya dan saya mengenalnya, saya pikir sudah tidak ada satu pemuda pun di kerajaan ini yang menarik perhatian Putri Aelia.”
“Benar hai Abdullah, tak ada satu pemudapun ‘di kerajaan ini’ yang menarik perhatian adikku, kecuali satu pemuda yang sedari kecil tidak tinggal disini, tapi secara kebetulan dia putra dari negeri ini. Pemuda itu hanya singgah beberapa waktu saja untuk mengunjungi ayahnya yang kebetulan Bangsawan Daerah Selatan.”
Bagai disambar petir Abdullah terperanjat hingga terbangun dari duduknya.
“Ali???!!!” Raja tersenyum simpul lalu menarik Abdullah untuk kembali duduk. Sungguh hari ini penuh dengan kejutan bagi Abdullah, sikap Ali yang lain dari biasanya dan sekarang berita dari Raja tentang anaknya tersebut.
“Ali abdul Jabbar bin Abdullah adalah nama pemuda itu, dan dia adalah putra keduamu.”
“Ya dia putra saya, tapi maaf Baginda, bagaimana Putri bisa mengenal putra saya?”
“Seperti yang kukatakan sebelumnya, adikku bertemu dengan putramu kemarin siang disaat dia berkuda di hutan. Tampaknya pertemuan yang amat singkat itu membuat adikku terpikat dengan putramu. Jadi sekarang kau tentu tahu kemana arah pembicaraanku Abdullah.”
“Ya, tapi saya tidak berani memberikan jawaban apapun saat ini, karena keputusan itu ada di tangan putra saya.”
“Hum, aku mengerti Abdullah. Sampaikan pinanganku ini kepada Ali. Kabari aku selekasnya setelah kau mendapatkan jawaban Ali. Sekarang bergegaslah kau kembali, karena seperti adikku dan dirimu, aku tak sabar untuk mendapat jawaban Ali.” .
Abdullah pun undur diri dengan membawa beban berat dipundaknya. Ia mengenal sekali akan tabiat putranya yang selalu menolak lamaran yang datang kepadanya. Abdullah merasa khawatir akan penolakan yang mungkin datang dari Ali, tapi dia teringat akan senyum Ali pagi tadi. Apakah mungkin pertemuan Ali dan Putri Aelia itu yang ingin disampaikan Ali? Ah Bisa jadi!!! Pekiknya girang dalam hati. Siapa yang tak akan terpesona oleh kencantikan Putri Aelia, mentaripun akan turun jika Putri Aelia menerima lamarannya. Abdullah pulang dengan menghibur diri sendiri akan pertemuan Putri dan Ali.
Matahari telah lama meninggalkan takhtanya ketika Abdullah sampai tempat tinggalnya. Ali masih terjaga menanti kepulangan Abdullah. Secangkir kopi dan sepiring makanan ringan telah disiapkan Ali, dia tahu benar ayahnya tak akan pergi tidur sebelum rasa penasarannya hilang.
“““Assalammualaikum Ali,”
“Walaikum salam Ayah, ada sesuatu yang hebatkah yang ayah dengar dari Raja hari ini? Wajahmu tampak lebih bingung daripada disaat kau berangkat tadi.”
Abdullah merebahkan tubuhnya yang gembul sambil menghela nafas panjang sekali, “Ayah sebaiknya kau langsung istirahat, kau tampak lelah sekali.” Kata Ali kemudian.
“Ah tidak…tidak!” Abdullah menggoyangkan tangannya dengan kencang,
“Oh Ali anakku, aku tak akan mampu tidur dengan nyenyak sebelum berbicara padamu!” Ali tersenyum simpul, seperti biasa, dugaannya benar.
“Ali, aku ingin bertanya padamu…” Abdullah menyeruput kopinya untuk menenangkan dirinya.
“Ya Ayah, apakah itu?”
“Benarkah kemarin kau bertemu dengan Putri Aelia di hutan?” Abdullah menatap tajam berharap menangkap perubahan wajah Ali,
“Astagfirullah!! Ya, hal itu benar. Maaf aku tidak sempat menyampaikan salamnya pada Ayah, aku benar-benar lupa, apakah Putri bertanya tentang hal itu diistana tadi? Sungguh bodoh diriku karena lupa menyampaikan amanah darinya. Lain kali ayah bertemu dengannya, tolong sampaikan maafku.” Jawab Ali dengan rasa sesal yang kentara, Abdullah tersenyum simpul, anaknya memang selalu panik jika lupa menyampaikan amanah siapapun. Tapi bukan perubahan expresi wajah ini yang diharapkan Abdullah.
“Kurasa kau harus menyampaikannya sendiri dilain waktu, karena. Ehm…..Bagaimana menurutmu tentang dia?”
“Seperti yang telah tersebar diseluruh negeri, dia wanita yang luar biasa kecantikan wajah dan parasnya. Alhamdulillah.”
“Apakah kalian lama berbicara?”
“Tidak Ayah, aku harus segera pulang karena aku berjanji kepada ayah.”
“Apa yang kalian bicarakan?”
“Ayah, sungguh dia hanya bertanya dan aku menjawab pertanyaan beliau, dan pada saat itu aku terburu-buru.” Abdullah menghela nafas setengah mengeluh, kekhawatirannya semakin menjadi. Dengan perlahan dia melanjutkan,
“Ali anakku, kau ingat tentang mawar dikebun?”
“Ya, pembicaraan kita yang terputus pagi ini.” Jawab Ali singkat.
“Apakah Putri Aelia bisa menjadi mawar dikebunmu Ali?” Mendengar itu Ali tersenyum tertawa karena dia pikir Abdullah sedang bercanda untuk menggodanya.
“Ah Ayah!… jangan bercanda, dia seorang putri yang semua Raja diseluruh dunia ingin memilikinya. Apalah aku ini!”
“Ali, aku tidak bercanda.” Jawaban Abdullah yang singkat dan serius menghentikan tawa Ali. Dengan wajah penuh harap Abdullah menjelaskan,
“Baginda hari ini memanggilku untuk menyampaikan maksud hati sang Putri padamu.” Ali sangat terperanjat, matanya yang bulat semakin bulat sedangkan mulutnya terkatup rapat. Kemudian suasana membeku untuk beberapa saat. Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam, Abdullah menghela nafas panjang dan tubuhnya semakin lemas menempel dikursinya. Ia tahu tundukan kepala Ali berarti berita buruk. Beberapa saat kemudaian, dengan tenang Ali menatap ayahnya dalam-dalam dan berkata dengan perlahan.
“Masya Allah Ayah, ini berita yang sangat mengejutkan. Aku sungguh tidak menyangka pertemuanku yang sedemikian singkat dengan Putri akan menimbulkan hasrat pada hatinya. Tapi ayah…” Abdullah memotong kalimat Putranya dengan gusar,
“Ali, alasan apakah lagi saat ini yang kau ingin ajukan? Kau telah terlalu lama dan banyak menolak pinangan dari negeri ini, bahkan dari negeri tempat kau tinggal. Apa lagi yang kau inginkan? Saat ini yang meminangmu adalah seorang putri yang tidak hanya luar biasa kecantikannya, tapi juga kecerdasan otaknya.” Dalam hati Ali sedikit sedih melihat kekecewaan diwajah Abdullah, dengan suara semakin direndahkan Ali kembali berbicara.
“Ayah, sesungguhnya pagi ini sewaktu ayah bertanya, aku ingin menyampaikan kabar kepadamu bahwa aku telah bertemu dengan seorang gadis.” Dugaan Abdullah benar adanya tentang senyum yang tersungging di bibir Ali pagi itu.
“Ali, apakah gadis ini parasnya secantik Putri Aelia?”
“Tidak, dia memang cantik, tapi tidak ada yang mampu menandingi kecantikan paras Putri Aelia ayah.”
“Lantas tidak bisakah kau merubah keputusanmu tentang gadis itu?”
“Maaf ayah, tidak.”
“Mengapa Ali?”
“Karena aku bersumpah untuk menikahinya atas nama Allah.”
“Ah Ali, aku tahu sumpah itu sangat besar tapi…apakah karena sumpah itu saja sehingga kamu menolak lamaran Putri Aelia?”
“Bukan hanya itu Ayah, jikapun aku tidak bersumpah kepada gadis itu, aku akan tetap memilih dia daripada Putri Aelia.” Abdullah tertegun, kepastian kata-kata Ali menimbulkan rasa sangat penasaran dihatinya pada gadis yang dimaksud anaknya itu. Apa kelabihan gadis itu dibanding Putri Aelia, seberepa luar biasakah sosok gadis ini? pikirnya.
“Apakah dia datang dari keluarga bangsawan?” Selidik Abdullah lebih lanjut.
“Tidak, dia dari keluarga yang biasa saja.” Jawab Ali singkat. Abdullah berdiam diri beberapa saat, lalu dengan nada lembut dia berkata,
“Ali, Ayah mohon… ini adalah permintaan Raja, tolonglah ayah untuk mempertimbangkan keputusanmu lagi. Jika gadis itu benar mencintaimu, ayah yakin dia akan melepaskanmu dengan rela.” Mendengar permohonan ayahnya wajah Ali mengeras. Dengan pandangan lesu dan penuh penyesalan Ali menolak,
“Ayah, maafkan jika anakmu tidak berbudi. Tapi ayah, ayah memiliki alasan sendiri dalam keputusan ayah untuk menikahi ibu, begitupun diriku. Demi Allah aku telah bersumpah akan menikahi dia, dan aku akan melaksanakan sumpahku karena rasa takutku pada Allah, selain dari itu ayah, aku sungguh mencintai gadis itu. Jika aku menikah, aku hanya ingin menikah dengan gadis seperti itu atau tidak sama sekali, insyaallah. Dan Putri bukanlah gadis seperti dia.” Abdullah menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya dalam sehari. Dia tahu jika Ali telah mengatakan Demi Allah, maka taka akan ada yang dapat merubah keputusannya. Dengan lembut Ali mengusap pundak ayahnya,
“Ayah, maafkan aku. Tapi keputusan seorang Putri dan Raja tak akan dapat merubah sumpah yang telah kuucapkan karena Allah. Sungguh aku takut kepada Allah.”
“Ali anakku, aku mengerti. Sungguh kau benar-benar mencintai gadis itu hingga kau berani bersumpah atas nama Allah. Akupun takut kepada Allah.” Mendengar keikhlasan dalam kalimat Abdullah, Ali merasa sangat lega. Kemudian Abdullah melanjutkan,
“Katakan padaku siapa nama gadis itu dan dari mana asalnya. Sudah berapa lama kalian mengenal satu sama lain?”Akhirnya expresi wajah yang ditunggu Abdullah tampak diwajah Ali sewaktu menyebutkan nama gadis yang mematahkan pinangan Raja dan Putri Aelia.
“Zanimra, gadis dari belahan bumi seberang, dari Madagashphur. Aku mengenalnya hanya dalam waktu singkat, tapi masyaallah dialah gadis yang aku cari selama ini, ayah.”
Abdullah tertegun beberapa saat, diluar dugaannya nama gadis itu tidak mencerminkan nama Islam. Dia semakin penasaran dengan Zanimra, calon menantunya yang mampu mendahului Putri Aelia.
“Ali, hiburlah ayahmu dari kekecawaan ini, undanglah Zanimra kemari.”
“Baik ayah, aku akan memintanya datang.”
“Segera Ali, kapan dia bisa datang?”
“Perjalanan dari negerinya memakan waktu beberapa hari, tapi ayah bersabarlah. Insyaallah dia pasti akan datang jika ayah yang mengundang.”
“Ah sungguh berat!…Aku tak tahu harus bagaimana menyampaikan berita ini pada Raja, aaaahhh sungguh berat!!….” Abdullah menggelengkan kepalanya keras-keras. Ali merasa menyesal membuat ayahnya kecewa, tapi dia tahu Abdullah mendukung keputusannya.
“Ayah, jika ayah berkenan, aku pribadi yang akan menyampaikan jawabanku pada Baginda Raja atau Putri sendiri.”
”Hai anakku, sungguh itu hal yang baik. Akan kubawa kau besok menghadap Raja, sekarang aku benar-benar lelah.” Abdullah beranjak dari tempat duduknya, dia berlalu kekamarnya sambil menepuk-nepuk pundak Ali. Sambil lalu dia berkata “Ali, aku mendukung keputusanmu.” .
Mendengar perkataan ayahnya yang terakhir Ali merasa tenang.
==bersambung==
Sumber:
http://multazimah.blogsome
CINTA PUTRI AELIA ... (bagian kedua)
Permintaan Raja
Udara taman keputrian sangat segar pada pagi hari, bunga yang bermekaran sangat cantik terpuruk malu ketika Putri Aelia memasuki taman itu dengan riang. Kegirangan diwajahnya sungguh membuat kecantikannya semakin bersinar. Dari pagi hingga malam senyumnya membias tak pernah surut. Nama Ali terus terucap lirih dibibirnya. Raja memperhatikan adiknya dari kejauhan dengan rasa senang. Belum pernah selama hidupnya melihat adiknya benar-benar merasa bahagia semenjak kepergian ayah bundanya. Raja merasa yakin Ali tak akan menolah keinginan adiknya, terlebih lagi Putri Aelia terkenal selain dengan kecantikan parasnya juga kecantikan tingkah lakunya kepada sesama. Dia gadis yang baik dan sangat cantik, tak akan ada seorang pemudapun yang akan menolaknya.
Tiba-tiba seorang punggawa kerajaan membuyarkan lamunannya.
“Baginda, Abdullah beserta putranya hendak menghadap.” Dengan girang Raja memerintahkan kedua orang yang dinantinya untuk menemuinya di taman umum kerajaan, tempat biasa dia bercengkerama dengan Abdullah. Setelah Punggawa itu pergi raja memanggil adiknya.
“Aelia, ikutlah denganku.”
“Baik kakak,” sambil berjalan Aelia melihat senyum diwajah kakanya, “Kak ada apa?” Raja hanya menggelengkan kepala, beberapa langkah dari taman Raja menunjuk kearah dua sosok tubuh yang sangat dikenal Putri. Jantung Putri hampir berhenti melihat sosok Ali yang berdiri tak jauh dihadapannya, lututnya menjadi lemah lunglai seketika.
“Ali…” bisiknya lirih dengan bibir gemetar. Raja membimbing adiknya untuk mendekat, tapi tubuh putri mematung seperti es.
“Kakak, aku takut tak mampu menguasai diriku, biarkan aku disini. Temuilah mereka dan kabarkanlah padaku berita yang terucap dari bibir Ali.” Raja mengangguk, lalu berlalu mendekati kedua sosok Ali dan Abdullah yang belum menyadari kehadiran Raja dan Putri, sementara itu putri bersembunyi dibalik rerumpunan mawar yang merambat. Dengan debaran jantung yang semakin mengeras Putri Aelia menunggu kakaknya, pandangan matanya tak sekejappun lepas dari sosok Ali.
Beberapa langkah mendekati Abdullah dan Ali, Raja merasakan sesuatu yang kurang menyenangkan ketika dia menangkap mata Abdullah yang sayu. Setelah mereka bertiga duduk Raja memperhatikan Ali dalam waktu yang cukup lama.
“Ah, rupanya inilah pemuda yang membuat adikku melayang diatas awan dan menari dilintasan pelangi.” Goda sang Raja pada Ali. Ali tersenyum gugup, tapi Abdullah lebih gugup lagi.
“Ali, berbicaralah padaku. Bagaimana menurutmu tentang Aelia.”
“Baginda, Putri adalah wanita dengan paras tercantik yang pernah saya temui didunia ini.” Raja tersenyum simpul. Tapi dia menangkap nada datar dari kata-kata Ali, hal itu membuatnya sedikit gusar.
“Dan menurutmu, apakah dia akan menghibur seorang laki-laki sebagai istri?”
“Bagi pria yang menikahinya dia adalah berkah dari Allah.”
“Ah, jadi menurutmu dia berkah dari Allah bagimu!” Sahut Raja tajam. Abdullah hendak angkat bicara, tapi kemudian Ali mendahului dengan tenang.
“Dengan segala kerendahan hati dan beribu maaf, Ayah telah menyampaikan maksud Raja dan Putri kepada hamba, tapi dengan berat hati saya tidak dapat menerimanya.” Wajah Raja mengeras dan nada suarannya semakin merendah menahan getaran hatinya.
“Hai Ali, apakah yang menyebabkan kamu menolak adikku?”
“Karena saya takut kepada Allah.” Raja tertegun, mendengar kata Allah kegeramannya sedikit mereda.
“Apa maksudmu?”
“Alasan saya tidak dapat menerima pingangan ini karena Saya telah mengangkat sumpah atas nama Allah pada seorang gadis sebelum bertemu Putri. Saya telah bersumpah untuk menikahi gadis itu. Dan saya tidak mungkin melanggar sumpah tersebut karena saya takut kepada Allah.”
“Hemh… kau takut kepada Allah karena sumpahmu aku bisa memahami, tapi jika gadis itu mau melapaskanmu dengan rela, apa yang akan kau lakukan Ali?”
“Tetap saya tidak dapat melanggar sumpah melainkan jika Allah berkehendak dia yang memutuskan untuk meninggalkan saya karena saya berbuat aniaya padanya. Sungguh saya takut kepada Allah, karena Allah berfirman dalam kitab-Nya,
Q.S. An Nahl:91. Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Q.S. Al Baqarah : 225. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
“Bagaimana jika gadis itu pergi meninggalkanmu?”
“Allah yang Kuasa atas segala kejadian di muka bumi, saya percaya padanya. Sebagaimana saya telah bersumpah atas nama Allah, diapun telah berjanji atas nama Allah untuk menanti dan menikahi saya.”
“Baiklah Ali, aku mengerti maksudmu. Bagaimana jika kau tak terikat sumpah dengan gadis itu?”
“Maaf, dengan sejujurnya Saya yang tak akan rela melepaskan diri saya dari gadis itu Baginda.” Baginda terhenyak, seperti apakah gadis yang mengalahkan hasrat Ali dari kecantikan adiknya.
“Jadi, tanpa sumpah-pun kau akan tetap menolak adikku?”
“Jika saya telah bertemu dengan gadis itu, gadis manapun di bumi akan saya tolak. Tapi jika saya belum bertemu dengan gadis itu, demi kebaikan ayah, saya akan menerima Putri sebaga istri saya.” Seperti halnya Abdullah, Raja sangat penasaran dengan gadis yang mengikat hati Ali.
“Begitu besarkah cintamu pada gadis itu Ali? Mengapa kalian begitu berani mengadakan perjanjian sekuat itu?”
“Demi ketenangan jiwa kami berdua, Baginda.”
“Sungguh mengherankan kepercayaan kalian berdua pada satu sama lain.”
“Sebenarnya yang kami percayai bukanlah diri kami, tapi Allah semata. Saya memegang janji yang diucapkannya karena Allah, dan dia memegang sumpah yang saya ucapkan karena Allah. Pada Allah sajalah kami menaruh kepercayaan penuh.”
“Baiklah Ali, sungguh aku amat sangat menyayangkan hal ini. Aku menghargai keputusan dan pendirianmu. Tapi demi kebahagiaan adikku, aku akan memperjuangkan dirimu untuk menikahinya. Buatlah aku mengakui bahwa gadis pilihanmu itu jauh lebih baik dari Aelia, maka aku akan rela merestui pernikahanmu dengan gadis itu. Tapi jika ternyata dia tidak lebih baik dari Aelia, aku tak ingin kau kembali ke negeri ini karena air mata adikku yang akan terus mengalir. Undanglah gadis itu untuk tinggal di istana ini sebagai tamu kerajaan.” Mendengar titah Raja, Abdullah merasa gusar, dia melirik kepada Ali, di wajah anaknya terlukis ketenangan dan keyakinan yang luar biasa. Keyakinan Ali membuatnya semakin bertanya-tanya tentang Zanimra, sebesar itu keyakinan Ali tentang gadis pilihannya, bahkan dihadapan Raja sekalipun.
“Jika itu kehendak Baginda, saya akan melaksanakannya. Sampaikan perasaan penyesalan saya yang terdalam kepada Putri Aelia, semoga Allah memberinya keselamatan dan rahmat.” Kemudian Raja meminta Ali meninggalkan beliau dan ayahnya sendiri. Setelah Ali berlalu Raja berkata dengan penuh kesedihan pada Abdullah. Terbayang di matanya tangis Putri Aelia karena rasa kecewa.
“Ah Abdullah, ternyata selama ini julukan Pemuda Es atas anakmu ini benar adanya. Sayang sekali aku tak bisa mengikat tali kekerabatan denganmu.”
“Maafkan saya Baginda,”
“Yah, aku tak menyalahkanmu Abdullah, hanya saja aku tak bisa melihat air mata adikku satu-satunya. Pahami keputusannku untuk mengembalikan kepercayaan adikku atas dirinya, satu-satunya jalan adalah hanya dengan mempertemukan dua putri ini dalam satu ruangan. Siapa tahu Ali memang benar akan pilihannya dan adikku bisa belajar sesuatu dari gadis tersebut. Aku hanya berharap cara ini akan membuat adikku rela melepaskan anakmu ini, Abdullah.”
“Saya mengerti dan saya yakin putra saya juga memahaminya.”
“Ya! Ya!… aku kagum pada putramu, tapi keyakinan di wajahnya terhadap gadis ini benar-benar membuatku penasaran. Seperti apakah gadis itu yang bisa membuat mata anakmu berpaling dari keajaiban kecantikan adikku? Abdullah, titahku pasti, bawalah gadis itu sebagai tamu istana ini.”
“Titah Baginda akan saya laksanakan, insyaAllah dalam beberapa hari Zanimra akan tiba di kerajaan ini.”
“Ah jadi itu namanya… dari mana dia berasal?”
“Dari kerajaan Madagashphur.”
“Bukankah itu kerajaan Hindu??”
“Ya, benar. Tapi dia gadis muslim sejak lahir.”
“Baiklah, biarkan aku menilainya setelah aku bertemu dengannya. Sekarang sebaiknya kau cepatlah berlalu karena adikku sedang menunggu di balik semak mawar itu….aahh…..bagaimana caraku menyampaikan berita ini pada Aelia hai Abdullah…”
Abdullah menganggukkan kepalanya lalu berlalu.
Melihat Abdullah pergi, Putri Aelia berlari menghampiri kakaknya.
“Ah adikku bulan negeri ini, duduklah.”
Aelia dengan patuh duduk dihadapan kakaknya.
“Aelia…walaupun kita ini orang terpenting di kerajaan ini, tapi tentu kau sadari bahwa kita tidak dapat memaksakan kehendak kita…” Sungguh dirasa sangat berat dada Raja ketika melihat mata wajah adikknya memucat seputih melati.
“Aelia, tabahkan hatimu, ternyata …”
“Ali… menolakku…” Air mata Putri mengalir membasahi pipinya yang memucat, rasa sakit dihatinya begitu pilu.
“Duhai kakak, kenapa aku merasa begitu hancur seperti ini? Mengapa aku merasa sangat bahagia pada semula waktu dan merasa mati disaat ini. Aduhai… pedih sekali rasanya.”
Raja memeluk kepala adiknya dengan lembut, tangis adiknya seperti pisau menyayat ulu hatinya. Sungguh jika dia bukanlah Raja yang bijak, kekuasaan ditangannya akan dia gunakan demi kebahagiaan adiknya.
“Bersabarlah wahai adikku, dengarkan aku. Pintu belumlah sepenuhnya tertutup. Dengarlah.” Lalu Raja menceritakan rencananya untuk mengundang Zanimra, dia yakinkan bahwa ini adalah kesempatan kedua bagi Putri untuk merubah keputusan Ali.
“Aku ingin bertemu Ali Kak, ijinkan aku tinggal diwilayah selatan untuk berada dekat dengannya.”
“Jika itu bisa membuatmu senang, pergilah. Tapi ingat, sebagai manusia kita tak boleh memaksakan kehendak atas manusia lain.”
“Aku mengerti.”
Pada malam itu juga Putri Aelia pergi ke wilayah selatan dengan membawa harapan mampu merubah keputusan Ali.
Kedatangan Zanimra
Ali berkuda dengan riang menuju hutan, pertemuannya dengan Raja semalam di luar dugaannya. Semula dia merasa khawatir jika Raja bukanlah raja yang bijak. Tapi ternyata Raja adalah seorang raja yang patut dikagumi ayahnya selama ini. Pikirannya melayang kepada kekasihnya Zanimra yang sebentar lagi akan datang. Pagi ini dia telah menerima surat kilat yang mengabarkan Zanimra akan datang. Sekilas terlintas bayangan Putri Aelia, sungguh dia wanita yang luar biasa kecantikannya dan baik budi pekertinya, tapi Ali tidak pernah tertarik pada kecantikan paras wanita. Ada sesuatu pada diri Zanimra yang tidak dimiliki sang putri.Ali tersentak dari lamunanya ketika dia melihat serombongan tandu menghadang jalannya. Kereta Putri Aelia yang gemerlap berdiri dengan anggun dihadappannya, kemudian sosok cantik yang menyilaikan mata itupun turun dengan langkah yang hampir melayang seperti peri.
“Salaam ya Ali,”Putri menaiki keretanya dan berlalu. Ali menghela nafas dengan lega, dia beristigfar untuk beberapa saat mengingat kejadian singkat dengan putri. Sebagai laki-laki sungguh kecantikan dan keharuman tubuh Putri Aelia sangat memabukkan, tapi rasa mabuk itu bagi Ali tidak lebih dari harumnya bau arak, semakin harum dan memabukkan semakin ia menjauhinya. Sungguh desakan Putri Aelia membuatnya gusar, tapi beberapa saat kemudia dia teringat akan kedatangan Zanimra, bayangan kekasihnya itu menyejukkan hati Ali seketika. Kecintaannya pada Zanimra bagi Ali adalah kecintaan yang menyejukkan jiwanya, kecintaan kepada wanita seperti Putri Aelia baginya adalah kecintaan yang memabukkan jiwanya. Ali menyadari bahwa tak semua orang akan mengerti jalan pikirannya, tapi dia tidak perduli, dengan tangkas Ali menaiki kudanya lalu melaju dengan pesat meninggalkan tempat itu, dalam hati dia berkeras tak akan mengunjungi hutan itu lagi selama Putri masih berada disana.
“Walaikum salam Putri,” jawabnya tenang.
Putri melihat tajam ke arah Ali, lagi-lagi pemuda itu menundukkan pandangannya.
“Hai Ali, kau tidak memiliki janji saat ini bukan? Sudikah kau menghormatiku dengan turun dari kudamu?” Dengan sekali anggukan Ali turun dari kudanya dengan mata tetap menunduk.
“Terima kasih Ali, aku ingin bertanya kepadamu, pernahkah sekalipun kau melihat wajahku?”
“Duhai tuan Putri, sungguh wajahmu telah terkenal akan kecantikannya.”
“Aku tidak bertanya tentang apa yang kau pernah dengar, aku bertanya apakah kau pernah melihat wajahku?”
“Pernah.”
“Pernahkan sedekat ini?” Tiba-tiba Putri telah berdiri sangat dekat dengan Ali, keharuman tubuhnya merebak sangat kuat dan memabukkan siapapun yang menciumnya. Ali dengan sigap mengambil langkah mundur, tapi tertahan ketika Putri menangkap tangannya.
“Ali, sekarang kau melihatku!” Putri membungkukan dirinya dengan wajah menengadah tepat di depan mata Ali yang tertunduk. Sungguh kecantikan yang luar biasa terpampang dihadapan Ali. Kemerduan tawanya sangat renyah dan menggemaskan. Tapi hal itu malah membuat Ali merasa geram. Menyadari posisi Raja yang dihormatinya, Ali menahan kegeramannya. Dengan sopan Ali melepaskan genggaman tangan Putri Aelia dan melangkah mundur.
“Maaf Putri, sungguh putri memiliki kecantikan yang luar biasa. Jadikanlah ia berkah Allah bagimu dan jangan jadikan kecantikan itu bencana bagimu. Sesungguhnya syaitan amat licik dalam membuat tipu daya, dan kecantikan wanita adalah salah satu senjata terampuh bagi mereka.”
“Ah Ali, aku tak merasa beruntung dengan kecantikan ini, karena dengan kecantikan yang kumiliki inipun tak mampu mendapatkan apa yang paling aku mau, yaitu dirimu!”
“Demi Allah wahai Putri, sungguh kecantikanmu tak semua orang memilikinya, sungguh itu adalah berkah dari Allah jika Putri bersyukur.”
“Ali!…Ali…tak tahukan betapa pedih rasa cinta yang kurasakan untukmu? Jika aku buruk kau mau mencintaiku, maka aku rela untuk menjadi buruk bagimu!”
Ali menghela nafas panjang, ia tahu apapun yang akan dia katakan hanya akan membuat Putri semakin galau. Ali hanya berkata lirih.
“Maafkan saya duhai Putri, sungguh saya telah terikat sumpah, maka saya tak
akan mengingkarinya.”
“Yah aku tahu, sumpah pada seorang gadis. Sungguh Ali, jika dia tidak melebihi aku, aku akan terus berjuang untuk mendapatkan hatimu. Tapi jika kau bisa meyakinkan aku bahwa dia lebih baik dariku, aku akan rela melepaskanmu!”
“Saya tahu janji saya pada Raja, dan saya akan menepatinya.”
“Oh Ali, ijinkan aku bersamamu sebelum dia datang… ijinkan aku berada disekelilingmu, berkuda bersamamu, apapun yang kau lakukan.”
“Maaf Putri, sumpah saya adalah sumpah atas nama Allah, sebagaimana saya tidak akan rela jika kekasih saya menghabiskan waktu bersama laki-laki lain, begitupun dia tidak akan bahagia jika saya berbuat demikian.”
“Ah Ali, mengapa begitu kejam dirimu padaku?”
“Sesungguhnya aku hanya bersikap yang semestinya Putri.”
“Aku tahu Ali, aku hanya mengujimu. Ternyata memang kau seperti apa yang aku harapkan! Ini membuatku semakin menginginkanmu Ali. Aku akan berjuang demi dirimu Ali!” Putri lalu berbalik menuju keretanya. Beberapa langkah kemudian dia menghentikan langkahnya dan berbalik kearah Ali lagi,
“Ali, apakah kau pikir aku bertabiat buruk?”
“Saya banyak mendengar tentang Putri, sungguh Putri adalah seorang Putri yang dicintai rakyatnya. Jadi tidak mungkin Putri bertabiat buruk.” Jawaban Ali membuat Putri Aelia tersenyum pilu, lanjutnya lagi dengan lirih,
“Jika kau belum bertemu gadis itu, apakah kau akan menerima pinanganku?”
“Demi kebaikan Raja dan kerajaan ini, insyaAllah Putri.”
“Mengapa kau tak pernah sekalipun datang padaku sebelum kau bertemu gadis itu Ali?”
“Jikapun saya menemui dirimu, bukan berarti pada saat itu Putri akan berhasrat pada saya, boleh jadi pada saat itupun Putri akan menolak saya.”
“Sungguh pandai kau bersilat lidah Ali! Aku semakin kagum padamu. Katakan Ali, aku tahu kau begitu percaya akan kekasihmu, tapi bagaimana jika dia melanggar janjinya padamu?” Dengan tenang Ali menjawab,
“Na udzubillah, aku berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. Tapi jika Allah berkehendak demikian, maka itu adalah urusan Allah dengan dirinya. Dan hidupku kupasrahkan sepenuhnya di tangan Allah.”
“Aku masih tak mengerti, apa yang membuat kau terpaku pada gadis itu.” Gumam Putri Aelia.
*****
“Assalammualaikum.” Abdullah dikejutkan oleh kemerduan suara seorang wanita dari belakangnya, “Walaikum salam.” Jawabnya bersemangat. Dia membalikkan tubuhnya dan melihat sosok anaknya Ali yang berdiri dengan seorang wanita disebelahnya dan seorang lelaki paruh baya.
“Zanimra, putriku! Selamat datang!” sambutnya riang. Untuk beberapa saat Abdullah memperhatikan Zanimra, kecantikan Zanimra sungguh biasa-biasa saja dan jauh dibandingkan dengan kencantikan Putri Aelia. Tubuhnya kecil dan tidak terlalu tinggi. Pakaiannya sederhana dan rapi, tapi tak satupun dari diri Zanimra yang bercahaya dan memukau pandangan. Hanya saja Zanimra tampak lebih muda dibanding Putri Aelia, mungkin karena tubuhnya yang kecil. Abdullah menyadari bahwa ukuran tubuh penduduk Madagashphur memang kecil.
“Terima kasih Tuan Abdullah, sangat senang saya berada disini. Sudah banyak sekali Ali bercerita tentang Anda. Alhamdulillah akhirnya saya bisa berkunjung.”
“Ayah, ini calon menantumu bersama Pamannya Nagosh Abdurrahman.” Kemudian Abdullah merangkul paman Zanimra
“Selamat datang sahabatku Nagosh Abdurrahman, sungguh suatu kehormatan bertemu kalian.” Paman Zanimra membalas pelukan Abdullah dengan ramah tapi tak bersuara sedikitpun.
“Maaf Tuan, Paman saya tidak dapat berbicara, tapi dia bisa mendengar.” Kata Zanimra kemudian. Abdullah melepaskan pelukannya lalu mempersilahkan semuanya duduk. “Ah maaf jika begitu, silahkan duduk, kalian pasti sangat lelah…”
“Terima kasih.” Sahut Zanimra lembut.
“Ah yaaah, aku merasa senang ketika mengetahui akhirnya Ali menemukan wanita yang bisa membuatnya jatuh hati! Sungguh aku pikir hanya wanita yang luar biasa sajalah yang mampu meluruhkan hati Ali! Sungguh sahabatku Nagosh, keponakanmu ini membuat kerajaan ini geger.” Nagosh tertawa mendengar ucapan Abdullah yang dikiranya hanya sebagai lelucon.
“Alhamdulillah…segala puji hanya bagi Allah.” Jawab Zanimra tersipu segan, Abdullah terhenyak melihat mimik wajah Zanimra dan reaksinya yang sama persis seperti Ali jika dia menerima pujian.
“Sungguh aneh Ali, aku seperti melihat dirimu dalam sosok wanita pada Zanimra!” Ali tertawa kencang mendengar kalimat jujur ayahnya sedangkan Zanimra hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba Zanimra membisikan sesuatu pada Ali lalu Ali tersenyum.
“Maaf Ayah, Zanimra takut jika dia tidak sopan, tetapi ini sudah waktunya shalat dan dia belum sempat membersihkan diri dari perjalanan jauhnya.”
“Ah! Bodohnya Abdullah,” Jawab Abdullah memaki dirinya sendiri.
“Aku yang tidak sopan wahai putriku! Aku tahu kau pasti sangat lelah dan memang ini sudah waktunya shalat. Baik- baik…bersihkan dirimu dan kita shalat bersama.”
“Insyaallah Tuan Abdullah, terima kasih banyak, Anda benar-benar Tuan rumah yang sangat menyenangkan.”
“Ah Zanimra! Berhenti memanggilku Tuan! Panggil aku Ayah!”
“Baiklah Ayah, dengan senang hati. Saya permisi dulu.”
“Ya, aku akan tunggu kalian di Mushalah.”
Abdullah tidak melepaskan pandangan dari Zanimra dan anaknya sewaktu mereka berjalan meninggalkannya. Semula ia merasa kecewa dengan perawakan Zanimra yang biasa saja, tapi setelah berbicara dengan gadis itu, Abdullah merasakan sesuatu yang berbeda dan sangat kuat, seperti yang selalu ia rasakan bila bersama anaknya. Zanimra adalah bentuk lain dari Ali! Sebagai ayah kini ia mengerti mengapa Ali memilih Zanimra, tapi apakah Raja dan Putri akan memahami apa yang dia rasakan?
Hari itu berlalu dengan riang hingga tibalah malam, Abdullah melihat gairah hidup pada mata anaknya. Gairah hidup yang tak pernah dia temukan selama dia mengenal Ali. Abdullah dapat menangkap keyakinan Ali pada Zanimra dan hal sama pada sebaliknya, kekuatan hubungan batin kedua insan di depannya dijalin oleh sesuatu ikatan kuat. Abdullah melihat keindahan yang manis dari jalinan cinta anaknya, tapi Abdullah juga menyadari, tak semua orang mampu memahaminya. Semakin lama dia melihat Zanimra dan Ali, Abdullah semakin merasa lapang dan damai. Waktu makan malampun tiba, tetapi sayangnya Nagosh harus menghabiskan waktu di tempat tidur karena kelelahan. Ditengah kehangatan makan malam tiba-tiba seorang pelayan masuk dengat tergesa.
“Maaf Tuan, Putri Aelia datang berkunjung.” Abdullah dan Ali terhenyak. Ali tak ingin memberitakan perihal Putri Aelia pada Zanimra melalui surat, tapi karena begitu bahagia Ali lupa untuk memberitahu Zanimra pada hari itu. Lagipula kedatangan Putri Aelia sungguh di luar dugaan.Ali mengantarkan Zanimra ke kamarnya diikuti Alima, lalu dia bergegas kekamarnya sendiri penuh senyuman bahagia dan syukur.
“Kami akan menjemputnya di ruang utama.” Jawab Abdullah singkat, pelayan itu bergegas kembali ke ruang utama.
“Putri Aelia, Putri yang terkenal dengan kecantikannya itu datang? Subhanallah, kecantikan seperti apakah yang Allah limpahkan padanya hingga namanya terucap disetiap bibir laki-laki di seluruh dunia?” ujar Zanimra dengan penuh rasa keingintahuan.
“Mari anak-anakku, kita sambut tamu agung kita terlebih dahulu.”
Lalu ketiganya beranjak dari kursi makan mereka. Sewaktu memasuki ruang tamu utama langkah Zanimra terhenti. Matanya begitu silau seperti melihat bidadari. Ali menyadari keterpanaan kekasihnya, sedangkan Abdullah yang berjalan didepannya terus menyambut Putri dengan ramah. Zanimra menoleh pada Ali lalu berbisik,
“Subhanallah wahai kekasihku, demi Allah dia begitu elok rupanya dan merdu suaranya. Subhanallah, Maha Besar Allah dengan ciptaan yang berdiri di depanku ini.”
Mendengar kekaguman Ali berbisik ketelinga kekasihnya,
“Ya Zanimra, sungguh kecantikan yang kau miliki lebih memikat hatiku daripada seribu kecantikan paras wanita yang kau kagumi itu. Kutahu kau mengerti benar akan maksudku.” Zanimra tersenyum simpul lalu menjawab, “Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah. Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya. Aku mengenalmu wahai Ali seperti engkau mengenalku, aku percaya padamu Ali seperti engkau percaya padaku. Aku hanya mengagumi kebesaran Allah yang terlihat di depan mataku.”
Ali dan Zanimra tidak menyadari keakrabannya menjadi sorotan tajam Putri Aelia, Abdullah yang melihat hal tersebut mencoba mencairkan kebekuan sikap Putri.
“Ah Putri Aelia, mari aku perkenalkan tamu terhormatku Zanimra.”
Zanimra dan Ali tersadar lalu dengan tersipu Zanimra mendekati sang Putri dan menghulurkan tangannya.
“Assalammualaikum Putri Aelia, subhanallah sungguh senang bertemu dengan Anda.”
“Walaikum salam Zanimra, senang juga bertemu denganmu. Kami tidak sabar menunggu kehadiranmu di istana.” Zanimra tertegun mendengar perkataan putri.
“Istana?”
“Ah, jadi Paman Abdullah dan Ali belum memberi kabar padamu bahwa Raja mengundangmu untuk tinggal di istana?”
“Maaf Putri, Zanimra baru saja datang hari ini, belum sempat kami mengabarkan apapun tentang undangan Raja.” Jawab Abdullah menengahi, lalu ia melanjutkan,
“Tuan Putri, jika tidak berkeberatan, kami hendak memulai makan malam. Apakah Putri berkenan bergabung bersama kami?”
“Ah maafkan aku mengganggu makan malam kalian, tentu saja aku merasa terhormat menerima tawarnmu Paman.”
“Kehormatan berada pada kami Putri Aelia.” Putri menyadari bahwa kecantikannya jauh diatas Zanimra, dengan sengaja dia menjajari Zanimra dengan ramah dan mengajaknya berjalan di depan Ali. Abdullah tahu perilaku ramah itu hanya siasat Putri untuk membuat Ali melihat perbandingan kecantikan kedua gadis itu. Abdullah melirik anaknya yang sedang tersenyum geli, tak ayal Abdullahpun ikut tersenyum geli. Putri belum juga memahami bahwa apa yang dilihat Ali bukanlah kecantikan paras Zanimra. Dalam jamuan makan pembicaraanpun berlanjut.
“Bagaimana menurutmu tentang kerajaan kami Zanimra?”
“Alhamdulillah kerajaan ini sangat menyenangkan, dari pelabuhan yang sangat tertib sudah mencerminkan betapa baiknya ketatanegaraan kerajaan ini.”
“Hmmm… apakah kau pikir kerajaan ini aman?”
“Inshyaallah. Alhamdulillah, kerajaan ini adalah negri yang sangat makmur, sebuah kerajaan hanya bisa mencapai kemakmuran seperti kerajaan ini jika keamaan terjaga baik di dalamnya Putri. Tapi selain dari hal itu, saya sering mendengar bahwa Putri Aelia memiliki kesenangan menjelajah hutan dengan sedikit pengawal dan dayang. Dari kebiasaan tersebut tercermin betapa amannya kerajaan ini.”
“Ah, jadi kau tahu beberapa hal mengenai diriku?”
“Insyaallah, Putri Aelia…alhamdulillah, Anda sangat terkenal dengan keelokan rupanya. Saya belajar banyak tentang negara ini dari Ali.”
“Oh? Ali pernah berbicara perihal diriku padamu?”
“Ya, dia berkata bahwa Putri adalah Bulan dari Andimarsedonia.”
“Zanimra, apa menurutmu tentang diriku sekarang setelah kau bertemu denganku?”
“Maha Besar Allah, kecantikan Putri jauh lebih daripada yang saya bayangkan.”
“Apa menurutmu laki-laki yang menikah denganku aku bahagia?”
Zanimra terdiam sesaat,
“Putri terkenal dengan kebaikannya di seluruh negri, kecantikannya juga tak terperi. InsyaAllah barang siapa yang menikahi putri akan bahagia.”
“Apakah kau ikhlas jika orang yang kau sayangi mendapatkan wanita seperti aku?” Zanimra tersenyum lalu dengan perlahan dia menjawab.
“Demi Allah, jika kecantikan akhlak Putri sebaik kecantikan paras Putri, laki-laki manapun di bumi akan sangat beruntung. Jika orang yang saya sayangi mendapatkan yang demikian, maka saya ikhlas.” Lalu putri menoleh pada Ali dengan tajam,
“Ah! Kau dengar itu Ali? Zanimra rela dan ikhlas jika memang aku lebih baik darinya!” Zanimra tertegun mendengar kalimat Putri Aelia, sedangkan Ali tersenyum dengan penuh keyakinan dan melancarkan pandangan tepat pada mata Putri. Putri tersentak gugup ketika menangkap tatapan tajam Ali yang sungguh diluar dugaan. Putri Aelia dapat menangkap keyakinan luar biasa di mata Ali pada Zanimra.
“Ah Paman, putramu ini sungguh menyiksaku!” Katanya singkat pada Abdullah. Zanimra yang masih gamang terhadap situasi itu hanya diam seribu bahasa. Abdullah hanya terdiam menahan senyum. Abdullah merasa kagum pada putranya.
“Paman, terima kasih atas makan malamnya, saya rasa hari sudah larut. Sebaiknya saya mohon pamit.” Ucap Putri kemudian dengan lembut dan sopan berusaha menutupi kekacauan di hatinya. Ingin sekali Putri berteriak pada Zanimra bahwa ia mencintai Ali, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Dengan berwibawa dan anggun Putri kemudian bertitah,
“ Zanimra, kakakku menunggu kedatanganmu segera.”
“Terima kasih Putri, entah karena apa saya mendapat kehormatan dengan undangan Raja ini. Saya menerimanya dengan senang hati, insyaallah saya akan bersedia.”
“Paman, berangkatlah dengan Zanimra bersama rombonganku besok pagi.”
“Baik Putri Aelia. Tapi Ali akan berangkat lusa karena saya memiliki tugas penting yang harus dia kerjakan besok.” Jawab Abdullah.
“Oh Ali! Kau akan membiarkan Zanimra bersama kami sendirian?”
“Putri, Zanimra bersama ayah saya, isnyaAllah saya akan datang keesokan harinya.” Jawab Ali tenang.
“Baiklah, sekali lagi terima kasih dan selamat malam.”
Abdullah, Ali dan Zanimra melepas Putri Aelia, setelah kereta putri tidak terlihat lagi Abdullah tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Ali hanya tersenyum geli. Zanimra hanya memandang keheranan. Ada banyak pertanyaan dalam otaknya, dengan akrab Abdullah merangkul pundak Zanimra, sambil memasuki ruang duduk Abdullah mulai berbicara.
“Ah putriku Zanimra yang manis, pasti kami telah membuatmu kebingungan dengan kehadiran Putri Aelia dan undangannya itu. Maafkan kami!”
Abdullah duduk di kursi besarnya, Ali dan Zanimra duduk di kursi panjang yang berhadapan dengan Abdullah.
“Baiklah Ali, sebaiknya kau ceritakan apa yang telah terjadi pada putri manisku ini.” Dengan pelan dan hati-hati Ali menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dia dan Putri Aelia. Zanimra mendengarkannya dengan takjub, tapi tak nampak sedikitpun perasaan galau atau gusar di matanya. Setelah selesai mendengarkan cerita Ali Zanimra pun tersenyum kaku.
“Masyaallah, sungguh diluar dugaanku! Ternyata wanita secantik bidadari itu menyatakan perang dengan diriku?” Mendengar ucapan polos Zanimra Ali dan ayahnya tertawa.
“Zanimra, aku tak mengenalmu sejauh Ali mengenalmu. Aku minta kau jujur padaku, katakan apa pendapatmu tentang masalah ini?”
“Ayah, apalah arti dunia? Ketidak kekalan. Apa yang terjadi di dunia ini hanyalah bagian dari dunia itu sendiri. Dan bagi Ali dan aku, bukanlah dunia tujuan akhir kami. Aku percaya pada Ali, tapi terlepas dari itu, aku percaya pada Allah di atas segala sesuatu. Maka tenanglah selalu hatiku.”
“Ha ha ha! Putri manisku Zanimra, sungguh aku akan dengar hal yang sama dari mulut putraku. Demi Allah jika urusan Raja dan Putri ini selasai, akan kunikahkan kalian segera!”
“Alhamdulillah, Insyaallah Ayah.” Jawab keduanya dengan tersipu.
“Hemh, aku hanya berharap Putri akan memahami cara pandang kalian. Pada Raja aku optimis dia akan mengerti, tapi Putri Aelia…..aku tak tahu.” Abdullah menggelengkan kepalanya sambil melenguh…
“Ayah, tenanglah… percayalah pada Zanimra.”
“Ha ha ha, yah aku percaya sebesar rasa percayamu padanya, Ali, Aku akan tinggalkan kalian berdua. Sungguh kalian tak sempat melepas rindu, apalagi besok pagi kita harus ke istana Zanimra.” Abdullah meninggalkan kedua insan itu, Ali lalu memanggil seorang dayang terdekatnya untuk menemani mereka berbincang-bincang.
“Bibi Alima, kau mengasuhku sedari kecil dan mengenalku seperti Ibuku sendiri, tolong jaga kami berdua karena sungguh tidak baik jika kami hanya berdua karena syaitanlah ketiganya, jika kita bertiga Allahlah ke-empatnya.” Dayang itu tersenyum lalu duduk diam dipojok ruangan yang sama. Ujar Ali kepada dayangnya, lalu dia mendekati Zanimra.
“Wahai kesejukan jiwaku Zanimra, sungguh aku rindu akan dirimu.”
“Demi Allah, akupun rindu, tapi jarak yang memisahkan kita adalah hijab yang sangat baik bagi kita Ali.”
“Yah akupun setuju, sungguh aku ingin segera menikahimu sewaktu aku datang menemui ayah. Dan kau tau tujuanku itu. Di luar dugaan dan kuasaku Putri bertemu denganku dan membuat hambatan ini.”
“Allah hendak mencoba kesabaran kita, dan hanya orang yang bersabar yang berhak mendapatkan tempat kembali yang baik.”
“Kau benar Zanimra, ini mungkin ujian bagi kita, atau mungkin pula teguran bagi kita. Sungguh aku selalu beristighfar memohon ampunan Allah dari kesalahanku dan dirimu.”
“Aku juga berpikir demikian, sungguh Allah Maha Pengasih dan Maha Bijaksana, kita percaya pada-Nya, apapun yang telah dan akan terjadi adalah demi kebaikan kita juga. Sungguh aku takut akan murka Allah padaku.” Ucap Zanimra lirih.
“Semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik bagi kita. Aku percaya padamu Zanimra. Percayalah padaku, hatiku tak akan goyah karena kecantikan atau kekayaan Putri itu.”
“Wahai Ali, aku percaya padamu, jika kau tak benar-benar mencintaiku maka tak akan berani kau bersumpah padaku atas nama Allah.” Lalu keduanya tersenyum geli mengingat semua yang terjadi, lama kelamaan senyum mereka pecah menjadi tawa yang riang.
“Aku benar-benar tak tahu apa rencana Raja padamu Zanimra, berhati-hatilah.”
“Relakah jika kau harus keluar dari negri ini selama-lamanya Ali?”
“Dunia…apalah artinya dunia Zanimra?” kembali keduanya tersenyum.
Dayang Alima yang sedari tadi memperhatikan menggelengkan kepalanya dengan kagum pada pasangan majikannya itu. Dia dapat mendengar semua pembicaraan majikannya karena memang majikannya tak ingin ada fitnah atau aib yang muncul.
“Baiklah, sebaiknya kau tidur Zanimra, aku harus lebih bersabar dengan kerinduanku padamu.”
“Ya Ali, demikian halnya sama denganku. Kita memang harus lebih bersabar.”
=bersambung=
Sumber:
http://multazimah.blogsome
CINTA PUTRI AELIA ... (bagian ketiga)
Pengakuan Abdullah
Pagi menjelang tanpa terasa, Abdullah tergopoh-gopoh menuju keretanya diikuti Zanimra dan Ali. Tiba saatnya ujian bagi mereka yang datang dari Raja. Zanimra telah menunggu bersama Ali di pintu kereta kuda, Nagosh yang masih kelelahan tidak dapat menemani Zanimra ke istana, sehingga Zanimra harus pergi sendiri.“Ayah, aku titip Zanimra padamu.”
“Ali, apakah kau tak melihat? Zanimra terlihat jauh lebih tenang daripada aku. Aku rasa dia yang malah akan menjagaku nantinya,” gurau Abdullah menggoda Ali. Zanimra hanya tersenyum simpul.
“Insyaallah Ya Ayahku,” Sambut Ali dengan tawa. Abdullah masuk kedalam kereta kudanya terlebih dahulu.
“Hati-hatilh Penyejuk mataku,” bisik Ali lirih pada kekasihnya.
“Kau juga, semoga Allah selalu bersama kita, amin.”
Abdullah tersenyum, semangat yang dipancarkan mata Zanimra membiaskan rasa kecintaan yang dalam pada apa yang sedang ia utarakan.“Amin, assalammualaikum.”
“Walaikum salam.”
Keretapun berlalu, Ali amat pasrah kepada Allah akan nasib kekasihnya. Ali berdoa semoga Allah menjaga hati Raja dari godaan syaitan sehingga dapat melihat kelebihan Zanimra yang sesungguhnya.
Di dalam kereta Abdullah diam-diam memperhatikan Zanimra yang sedang sibuk memperhatikan sekelilingnya sepanjang perjalanan. Dia menangkap expresi wajah Zanimra yang sering berubah.
“Hai Zanimra, apa yang sedang kau pikirkan? Sedari tadi aku perhatikan, reaksi wajahmu selalu berubah. Kadang kau tersenyum, lalu termenung sedih dan mulutmu selalu bergerak.”
“Ah maaf Ayah, sudah menjadi kebiasaanku yang sulit hilang. Aku mengerti, Ayah bukan satu-satunya orang yang bertanya. Baiklah, semoga penjelasanku akan menyingkirkan prasangka buruk.” Zanimra meluruskan duduknya yang sedari tadi dimiringkan menghadap jendela. Sama seperti Ali, jika dia berbicara pada orang, dia selalu dengan penuh menghadapkan tubuh dan pandangannya pada orang yang diajaknya bicara.
“Ayah, Ini adalah kali pertama aku di kerajaan ini. Tak sedikitpun aku ingin membuang kesempatan dalam perjalanan ini untuk memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di sepanjang jalan yang kulalui. Tak pernahkan Paman memperhatikan, bahwa banyak sekali adegan kehidupan nyata yang secara sekilas yang kita lewati dapat menjadi pelajaran bagi kita?”
“Hm, aku mulai tertarik. Lanjutkan.”
“Banyak Ayat dalam Al-Qur’an yang memperingati tentang banyak kejadian dimuka bumi ini, dan sebagian besar dari peringatan itu akan diikuti dengan kalimat…”… Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. Lalu banyak juga ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi, ‘…sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi telah tertulis dalam kitab Allah.’
Dari ayat-ayat tersebut, kita dapat mengambil makna global, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi ini, bahkan perjalanan yang kita lakukan ini telah diatur oleh Tuhan Yang Maha Agung, Allah. Bahkan jatuhnya selembar daun dari pohonnya juga sudah merencanakan rencana tertulis dari Allah. Tidak satupun yang kita anggap sebagai kebetulan diluar dari rencana dan diluar dari pengetahuan Allah. Dan sungguh sangat banyak ayat dalam Al Qur’an yang meminta kita untuk berfikir. Berfikir itu dapat mematahkan sihir, insyaAllah.”
Putri Aelia sadar akan posisinya, dia memilih untuk diam sebelum pertanyaannya membuat dia semakin kecil dihadapan Zanimra. Didalam hati Abdullah menyayangkan kondisi mental Putri yang kacau karena cintanya yang begitu membara pada Ali. Ketangkasan berpikir dan bersilat lidahnya menjadi kabur, Putri Aelia mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Yang membuat Zanimra dapat mematahkan setiap kalimat Putri Aelia hanyalah ketenangan dan keyakinan Zanimra yang begitu kuat sehingga pikirannya jernih. Abdullah mengenal Putri sejak kecil, kecerdasan intelektual Putri tak kalah dengan Zanimra, tapi pengendalian emosi dan keyakinan Putri masih jauh di bawah Zanimra. Akhirnya Putri memutuskan untuk berbincang-bincang dengan Abdullah tentang masalah-masalah kerajaan. Zanimra mendengarkan dengan penuh rasa tertarik.“Ya Zanimra, kau benar.”
“Alhamdulillah, Ayah tuaku yang bijak, apakah tidak akan menarik hatimu untuk melihat mencari petunjuk Allah dan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang terjadi disepanjang jalan ini?”
Abdullah termenung, sungguh Zanimra lain dari kebanyakan gadis yang pernah dia temui selama ini. Bagi kebanyakan orang, kejadian sekelilingnya hanyalah kegiatan sehari-hari dan mereka tak akan memperhatikan hal-hal itu seperti Zanimra.
“Sungguh menarik apa kata-katamu itu Zanimra, kalau begitu katakan padaku, apa yang sejauh ini kau dapatkan dari balik jendela kereta ini? Kulihat kau tersenyum, apa yang membuatmu tersenyum?”
“Entah kejadian mana yang pasti yang dimaksud ayah, ada beberapa kejadian yang membuatku tersenyum. Tapi ada satu kejadian yang paling membuatku terharu. Dipersimpangan pertama memasuki gerbang kota kita berhenti beberapa waktu untuk memperbaiki roda depan yang rusak. Ada seorang pemuda yang tiba-tiba berhenti ditengah jalan lalu menjatukhan tas besar bawaannya tepat didepan sebuah kereta yang darang dari arah berlawanan. Kusir kereta kebingungan karena tiba-tiba pemuda itu berlari ketepi jalan yang semula dengan meninggalkan tas besarnya. Ternyata seorang kakek sangat renta dengan tongkatnya melambai-lambai ingin ikut menyeberang. Lalu lintas kota ini memang tak terlalu ramai, tapi untuk kakek yang jalannya sangat lambat, jalan kereta yang lambatpun akan membuat lututnya kelu. Pemuda itu menghampiri kakek itu lalu menggendongnya di belakang, lalu ia lari lagi mengambil tas besarnya dan karena beban bertambah, akhirnya dia berjalan menyeberang sambil minta maaf dan berterima kasih pada sang kusir.”
“Ah, tapi mengapa pemuda itu mempertaruhkan tas besarnya dengan resiko digilas kusir kereta atau dibuang ketepi oleh sikusir. Mengapa dia tidak kembali ketepi jalan lalu menunggu bersama si kakek hingga kereta itu lewat saja?”
“Aku juga sempat berpikir demikian ayah, sewaktu pemuda itu lari menjemput si kakek aku melihat keseberang jalan yang hendak mereka tuju, ternyata disana telah menunggu sebuah perahu angkutan yang akan berjalan. Pemuda itu tak ingin ditinggalkan perahu angkutan itu dan juga tak ingin membiarkan kakek itu. Seperti dugaan pemuda itu, kakek itupun sedang mengejar perahu yang sama.”
“Ha ha ha! Ternyata si tua Abdullah ini mendapat pelajaran dari seorang gadis belia sepertimu hai Zanimra, sangat menarik! Kurasa mulai sekarang aku akan lebih banyak memperhatikan jalan daripada tidur dalam kereta, ha ha ha….” Lalu Abdullah berbicara serius,
“Apakah kau ingat wajah pemuda itu Zanimra?”
“Sungguh Ayah , aku memiliki kekurangan dalam mengingat wajah orang. Maafkan aku. Tapi aku rasa aku akan ingat si kakek tua itu.”
“Ah kurasa itu sudah cukup, aku sedang mencari kurir yang bisa kupercaya. Kurasa pemuda itu cocok, ah Zanimra, jika saja aku melakukan apa yang kau lakukan, niscaya aku sudah memiliki seorang pegawai yang cakap dan berbudi!”
“Semoga kita berjodoh untuk bertemu dengannya lagi Ayah, insyaallah.”
“Insyaallah, lalu adegan seperti apa yang membuatmu sedih Zanimra?”
“Segala sesuatu yang membuat Allah murka dan benci adalah hal yang membuatku sangat takut dan sedih Ayah.” Air muka Zanimra yang semula ceria berubah dengan drastisnya.
“Sungguh Ayah, banyak sekali manusia yang lupa akan Penciptanya. Itu yang membuatku amat takut dan sedih. Aku sedih akan nasib mereka di hari akhir nanti, tapi terlabih aku takut jika aku menjadi salah satu dari mereka.
Ketika aku memasuki keramaian kota, aku lihat hal seperti itu. Aku tahu kerajaan ini adalah negri yang sangat makmur. Karen kemakmuran itulah kulihat banyak ke-alpaan yang manusia lakukan. Aku banyak melihat laki-laki yang memakai pakaian dan jubah terbuat dari sutra penuh, sungguh Rasulullah pernah bersabda, tidak akan memakai sutra di surga bagi laki-laki yang memakai sutra lebih dari selebar ini,” ujar Zanimra memperlihatkan selendang kecilnya. Abdullah mengangguk setuju.
“Kerajaan ini adalah kerajaan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tapi yang kulihat didalam kota banyak wanita yang mempertontonkan kecantikannya dan mencabut alisnya… Ah Ayah, sungguh itu membuatku ngeri, Rasulullah bersabda, “Laknatullah…. Laknat Allah …bagi wanita yang menyukur alisnya. Betapa pedih murka Allah, terlebih lagi ‘Laknat’ Allah.”
Abdullah sungguh terpana dengan tutur Zanimra selama ini. Segala keraguan dan rasa was-was didalam hatinya tentang nasib anaknya dan Zanimra hilang. Abdullah mengakui secara tulus, Putri Aelia sedang berhadapan dengan lawan yang amat sulit. Abdullah semakin mengerti akan perasaan Ali pada Zanimra dan mengapa tak sedetikpun Ali ragu akan keputusannya. Tapi walaupun Putri Aelia sangat cerdas, kebijakan hatinya yang belia masihlah berdiri dibalik dinding kecintaan pada dunia, seperti apa yang diucapkan Zanimra, banyak manusia yang melupakan Penciptanya.
“Masya Allah Zanimra, sungguh kau adalah pilihan dari Ali.”
“Alhamdulillah Ayah, tiada daya dan upaya tanpa pertolongan Allah.”
Abdullah menahan pertanyaannya tentang bibir Zanimra yang terus bergerak, karena ia sudah tahu jawabannya. Meskipun semula Abdullah ingin memperingati Zanimra, karena dia sadar akan banyak orang berprasangka buruk tentang perilaku Zanimra di istana nanti. Abdullah merebahkan kepalanya dengan damai di sandaran kereta, dengan perlahan dia menggumam hingga tak terdengar oleh Zanimra.
“Ah putriku Zanimra, meskipun bulan cantik, tetapi saja tetap saja tak mampu mengalahkan cahaya matahari.”
Melihat Abdullah memejamkan mata, Zanimra kembali asyik dengan jendela keretanya. Tiba-tiba Abdullah berkata masih dengan mata terpejam,
“Zanimra, jadilah mataku saat ini dan ceritakan padaku hal-hal yang menarik yang kau nanti malam padaku.” Zanimra tersenyum, “Baik Ayah.”
Kereta Abdullah akhirnya tiba di istana peristirahatan Putri Aleia, dia telah menunggu disana. Putri Aelia bersikeras agar Abdullah dan Zanimra duduk satu kereta dengannya.
“Zanimra, bagaimana tidurmu malam ini?”
“Alhamdulillah, tidur saya nyenyak. Semoga Putri mengalami hal yang sama.”
“Masya Allah, belumkah Abdullah dan Ali bercerita padamu?” Tanya putri terheran mendengar jawaban Zanimra yang sangat tenang.
“Jika yang Putri maksudkan adalah lamaran Putri terhadap Ali, kami telah memberitahukan hal itu pada Zanimra.” Sahut Abdullah denan hormat. Putri Aelia merasa amat takjub, setelah mengetahui bahwa Zanimra tengah bersaing dengannya, tak sedikitpun ia menangkap kegusaran dimata Zanimra.
“Zanimra, apakah kau juga terbuat dari es seperti Ali?” ucapnya tanpa sadar, Abdullah yang mendengarnya tak mampu menahan tawanya. Sedangkan Zanimra hanya tersenyum manis.
“Mengapa tak terpancar sedikitpun rasa khawatir dirimu Zanimra? Apakah yang membuatmu sangat percaya diri?”
Zanimra menjawab dengan satu kata sambil tersenyum,
“Allah.” Abdullah diam-diam tertawa geli melihat kebingungan diwajah Putri Aelia, seperti dugaannya, Putri Aelia belum bisa memahami jalan pikiran Zanimra.
“Tidakkah kau takut atau benci pada diriku Zanimra?”
“Mengapa saya harus merasa demikian?”
“Karena aku ingin merebut Ali darimu.”
“Saya akui, kecantikan paras tuan Putri tak tertandingi. Tapi jika Putri benar-benar mengenal Ali, maka putri akan merasakan apa yang saya rasakan saat ini.”
“Zanimra! Bukankah laki-laki di muka bumi ini semua sama saja? Hiburan apalagikah dari wanita yang mereka dambakan selain dari kesempurnaan wajah, otak dan budi pekertinya? Seperti ucapanmu semalam, kau menilaiku sebagai wanita yang bertabiat baik dan terpelajar sepertimu. Apa yang membuatmu merasa tenang seperti itu, sedangkan aku memiliki beberapa kelebihan atasmu.”
“Putri Aelia yang bijak, bukankah karena Ali tidak seperti kebanyakan laki-laki dimuka bumi ini Putri menginginkannya?” tak ayal Abdullah merasa sakit perut karena begitu hebat dia mencoba menahan tawanya. Zanimra membalikan pertanyaan Putri Aelia dengan amat telak. Putri Aelia tampak salah tingkah dibuatnya.
“Sungguhkah kau seyakin itu bahwa Ali tak akan berubah pikiran, ingat kata-katamu semalam Zanimra, kau akan ikhlas jika orang yang kau kasihi memiliki yang lebih baik?”
“Baiklah Putri, bolehkah saya balik bertanya?”
“Silahkan.”
“Apakah Putri benar-benar mencintai Ali.”
“Jika tidak, aku tak akan memperjuangkan dia seperti ini.”
“Ya, dan Putri mencintai Ali karena dia laki-laki terhormat yang jujur dan baik bukan?”
“Benar adanya.”
“Apakah perasaan Putri akan berubah jika tiba-tiba wajah Ali rusak?”
“Tidak! Aku akan terus mencintainya.”
“Jika demikian, mengapa Putri begitu yakin Ali akan merubah cintanya hanya karena wajah dan tubuh saya tidak secantik Putri?” tenggorokan Putri Aelia tercekat, Abdullah sekuat tenaga untuk tidak tertawa melihat expresi wajah bidadari didepannya itu memerah semerah tomat segar.
Gadis Bertelanjang Kaki dan Perjanjiannya
Perjalanan menempuh waktu tiga perempat hari, di tengah perjalanan rombongan Putri beristirahat di tempat peristirahatan keluarga kerajaan yang terdapat dipinggir sebuah desa pertanian yang sangat rapi.Begitu turun dari kereta, Putri Aelia disambut sangat hangat oleh penduduk setempat. Zanimra dapat melihat keramahan Putri pada rakyatnya. Dia tersenyum ketika Putri turun ke tengah ladang sayur dan berbicara langsung dengan petani yang sedang bekerja disana. Sungguh sosoknya amat menyilaukan di tengah ladang itu.
“Ayah, desa ini kecil tapi sangat menarik,”
“Tentu saja, desa ini khusus dibangun sebagai tempat persinggahan bangsawan. Hasil pertanian disini juga diperuntukan bagi keluarga kerajaan.”
“Putri Aelia nampak seperti bidadari di tengah penduduk yang berkerumun itu.” Guman Zanimra.
“Hei Putriku, apakah kau kehilangan rasa percaya dirimu?”
“Masyaallah Ayah, bukan begitu. Hanya saja aku tak bisa berhenti mengagumi keindahan yang sedemikian rupa sampai aku tak bisa membayangkan bagaimanakah keindahan bidadari disyurga nanti. Jika seluruh penghuni syurga keindahannya dapat melebihi Putri Aelia, bagaimanakah keindahan syurga itu sendiri?… Terlebih lagi, bagaimanakah keindahan dari Dzat Penciptanya?……Sungguh aku gemetar jika membayangkannya….subhanall
“Hem, bagaimana menurutmu sejauh ini tentang Putri Aelia?”
“Saya kagum akan kecerdasannya di bidang ketatanegaraan, terlebih lagi sekarang ini, kecantikannya tidak membuatnya angkuh. Tak segan dia turun keladang untuk berbicara pada petani tentang tanaman-tanaman itu. Dia adalah Putri sejati, seorang wanita pemimpin yang baik. Sayang sekali dia sedang berjalan di atas pematang yang salah.”
“Pematang yang salah? Apa maksudmu?”
“Rasa cintanya Ayah, rasa cintanya yang dapat menghancurkan.” Guman Zanimra sedih.
“Sayang memang, dia mencintai Ali setelah Ali bertemu denganmu.”
“Bukan itu Ayah, jikapun dia mendapatkan Ali sebelum Ali bertemu denganku, cinta yang dimiliki putri tetap akan menghancurkannya.” Abdullah mengangguk setuju.
“Apa yang akan kau lakukan Zanimra?”
“Semoga Allah memberikan aku kekuatan untuk menolongnya.”
“Amin.” Sahut Abdullah tulus. Sekarang dia benar-benar mengerti mengapa Ali begitu yakin akan kekasihnya ini.
Tiba-tiba sebuah bola menggelinding di kaki Zanimra, seorang anak perempuan melihat bola itu dengan malu-malu. Zanimra memungut bola itu dan menghampiri gadis kecil yang di belakangnya berdiri segerombolan anak lainnya.
“Assalammualaikum, gadis cantik, apakah ini bolamu?”
“Walaikum salam, Iya itu bola saya.”
“Boleh aku bermain dengan kalian?” Anak itu terkejut, mendadak anak laki-laki dibelakang gadis cilik itu berkata lantang.
“Wah tidak adil nanti jadinya!”
“O? kenapa begitu?” tanya Zanimra menggoda.
“Tubuhmu lebih besar dari kami, kami pasti kalah.” Ujar anak laki-laku itu lagi.
“Hummm…… tapi aku pakai rok yang panjang, lariku tak dapat secepat kalian. Apakah itu masih tidak adil?” Gerombolan anak itu saling memandang untuk beberapa saat, kemudian tertawa kecil.
“Iyah, kakak larinya jadi pendek seperti kami!” canda anak-anak itu riang.
“Jadi…aku boleh ikut bermain?”
“IYA…” jawab anak-anak itu serempak. Maka Zanimra melepaskan sepatunya lalu ikut berlarian bersama anak-anak petani itu. Abdullah tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. Dia sungguh tak habis pikir pada Zanimra, didepan keanggunan dan keindahan Putri Aelia yang luar biasa, dia melepas sandalnya untuk bermain bersama anak-anak diatas tanah berumput. Dari seberang yang berlawanan Putri Aelia tercengang melihat kejadian itu. Dia bersaing dengan seorang gadis yang saat ini bertelanjang kaki berlarian kesana kemari mengejar bola bersama anak-anak kecil. Dalam hati dia merasa malu untuk mengakui bahwa dia sedang bersaing dengan gadis itu. Putri merasa khawatir dengan penilaian penduduk karena Zanimra turun dari satu kereta dengannya. Seperti yang dia duga perhatian para petani didekatnya tertuju pada Zanimra, Tapi diluar dugaannya, mereka tertawa bahkan beberapa diantaranya ikut bersorak.
“Sungguh baik sekali putri itu, dia mau bermain bersama anak-anak kita seperti itu!” Celetuk seorang wanita paruh baya tanpa sadar bahwa didekatnya a berdiri Putri Aelia
“Iya, putri kepala desa saja tak akan sudi melepas sandalnya untuk bermain bersama mereka.” Sahut petani lainnya.
“Ah aku merasa seperti sungguh dihormati sebagai bangsawan!”
Ketika menyadari keadaannya dia buru-buru minta maaf dengan muka pucat pada Putri Aelia.
“Maafkan perkataan saya Putri, saya tidak bermaksud merendahkan Putri dengan perkataan tadi.” Putri Aelia hanya tersenyum mengangguk.
“Kamu tak bersalah.” Jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Maaf Putri, jika diijinkan saya bertanya, siapakah putri itu? Bukankah dia datang satu kereta dengan Tuan Putri?” Tanya kepala perkebunan dengan sedikit ragu pada Putri Aelia.
“Dia tamu undangan Raja.”
“MasyaAllah, Sungguh luar biasa! Jarang anak-anak dapat menerima orang dewasa untuk bermain bola bersama mereka. Terlebih lagi, sungguh langka seorang tamu kehormatan raja bersikap ramah seperti itu. Siapakah namanya?”
“Zanimra.”
“Nama yang sangat asing.”
Putri Aelia jadi merasa canggung berdiri disana sedangkan sekelilingnya memperhatikan Zanimra dengan pandangan cinta. Mereka baru saja melihat Zanimra, tapi dengan cepat Zanimra dapat memikat hati banyak orang. Diapun berpamitan pergi, lalu menghampiri Abdullah yang masih terus tertawa.Untuk kesekian kalinya Putri merasa dipatahkan.
“Ya Abdullah, sungguh apa yang dilakukan Zanimra?”
“Oh Putri, maafkan saya, sungguh lucu sekali putriku itu berlari dengan rok panjangnya yang sedikit sempit. Anak-anak terus tertawa sambil mengejarnya.”
“Yah, aku dapat melihatnya, dan seluruh orang disinipun memperhatikannya.” Jawab Putri dingin. Mendengar nada datar Putri, Abdullahpun menghentikan tawanya.
“Aku mendengar dari Ali, Zanimra sangat menyukai anak-anak, jika melihat anak-anak dia akan berubah seperti anak-anak. Sekarang saya bisa melihatnya secara langsung.”
“Apakah kau pikir pantas jika seorang Putri undangan Raja bertingkah laku demikian Abdullah?”
“Ehm, maafkan saya Putri, yang saya lihat dari mata penduduk adalah rasa kagum dan hormat pada Zanimra, apakah itu suatu hal yang buruk?” Putri tertegun, dalam hati diapun mengakui bahwan Abdullah benar. Tapi rasa persaingan dihatinya telah membuatnya memupuk rasa iri yang semakin mengaburkan presepsinya. Akhirnya Putri Aelia mengajak Abdullah menemaninya untuk duduk di beranda.
Tak lama kemudian permainan anak-anak dan Zanimra selesai, mereka duduk diatas tikar yang disediakan penduduk. Satu persatu petani mendatangi dan memberi salam pada Zanimra. Mereka tampak sangat senang ketika Zanimra dengan lahap memakan buah yang diberikan penduduk. Mereka lebih takjub lagi ketika Zanimra menyuapi beberapa anak yang bersandar dipangkuannya.
“Sungguh siapakah dirimu wahai putri yang baik?”
“Alhamdulillah jika kau menganggapku baik. Aku adalah orang biasa seperti kalian juga, janganlah panggil aku Putri, karena aku bukan berasal dari keluarga bangsawan.”
“Tapi Putri Aelia mengatakan bahwa, kau adalah tamu undangan kerajaan. Sungguh kedudukanmu diatas kami semua wahai Putri. Kami hanya petani.”
“Alhamdulillah aku mendapat kehormatan itu dari Raja, pemimpin dari negara ini. Tapi tetap saja aku ini adalah tamu kalian dan kalian adalah tuan rumahnya. Makanan yang kumakan sekarang ini adalah pemberian kalian, mengapa kedudukanku lebih tinggi dari kalian sedangkan kalian yang memberi hadiah dan aku yang menerima?”
“Sungguh kami merasa terhormat dengan duduk ditikar yang sama denganmu.”
“Sesungguhnya aku lebih merasa terhormat diijinkan bermain dengan anak-anak kalian.”
“Kakak, gelangmu bagus!” celetuk gadis kecil yang sedang bermain dengan tangan Zanimra.
“Ah, Salama, kau suka?”
“Iyah, indah sekali warnanya!”
“Ambillah jika kau mau.” Penduduk makin tercengang melihat Zanimra membiarkan gadis kecil itu membuka gelang dari tangannya,
“Eh, tunggu dulu. Kau boleh memilikinya jika kau janji dua hal padaku.” Kata Zanimra tiba-tiba sambil menahan tangan anak yang dipanggil Salamah.
“Apa itu?”
“Patuh pada orang tuamu dan takutlah pada Allah, jangan pernah tinggalkan shalatmu.” Gadis itu mengangguk setuju.
“Jika lain kali, insyaallah jika kakak datang dan orang tuamu mengatakan bahwa kamu melanggar janji, aku akan meminta kembali gelang ini darimu. Setuju?”
“Iya, aku berjanji kakak!”
“Baik, siapa orang tua dari Salama?”
“Saya Pamannya, Hasan”
“Baik, Paman Hasan sebagai saksi! Salama, Insyaallah jika kau memegang janjimu disaat aku datang nanti, aku akan memberi hadiah yang lebih lagi dari gelang ini.”
“Benarkah? Kakak aku janji!” Kemudian Hasan, paman dari Salama bertanya heran, “Nona Zanimra, mengapa kau mengadakan perjanjian dengan Salama, bukankan dia hanya seorang anak kecil?”
“Paman Hasan, sesungguhnya anak-anak akan mengingat janji dan memegangnya dengan seluruh kepercayaannya yang tulus. Jika kita melanggar janji pada mereka, maka kepercayaan mereka kepada kita akan musnah. Jadi berhati-hatilah dalam memegang janji pada siapapun, terutama pada anak-anak.”
“Jadi kakak janji akan datang lagi?” tanya Salama lagi.
“Tidak Salama, aku berkata Jika aku datang lagi, Insyaallah. Aku tidak tahu apakah aku bisa datang lagi atau tidak dikemudian hari, tapi jika aku datang lagi aku akan menagih janjimu dan jika kau menepatinya aku akan memberikan hadiah yang lain padamu. Dan aku berjanji, jika Allah mengijinkan, aku akan datang lagi.”
“Aku berharap kakak akan datang lagi dan lagi!” Ucap Salama keras-keras, mengundang tawa yang lain.
“Insyaallah Salama, selalu ucapkan Insyaallah.” Sahut Zanimra lembut.
“Insyaallah!” celetuk Salama dengan logat yang lucu.
“Nah, untuk anak-anak lainnya, apakah mau mengikat perjanjian denganku? Jika mau aku akan mencarikan beberapa hadiah untuk kalian.” Kata Zanimra lagi pada anak-anak yang lain. Serentak yang lain menyetujui. Zanimra tersenyum ceria, diapun melangkah pergi menuju kereta kuda. Abdullah dan Putri melihat Zanimra yang tergopoh-gopoh membuka tas besarnya.
“Sedang apa kau Zanimra?” Tanya Abdullah penasaran.
“Aku hendak mengadakan perjanjian dengan anak-anak Ayah.”
“Perjanjian dengan anak-anak? Apa maksudmu?” Tanya Abdullah semakin heran. Putri Aeliapun ikut penasaran.
“Jika Ayah ingin tahu, ikutlah denganku.” Abdulahpun meminta ijin pada putri,
“Bolehkah saya permisi untuk melihat perjanjian itu Putri?”
“Aku sendiri penasaran hai Abdullah, sungguh Zanimra itu aneh-aneh saja.” Maka mereka berdua turun dari beranda Pondok dan menghampiri Zanimra.
“Ah Ayah, adakah sesuatu benda yang bisa kau berikan padaku sebagai hadiah yang cocok bagi anak laki-laki?”
“Hem…yang kumiliki hanya teleskop kecil ini.”
“Bagus sekali! Bolehkah aku memintanya?”
“Ambillah putriku.” Zanimra meletakkan beberapa benda kecil diatas selembar kain hijabnya.
“Yang kumiliki kurasa sudah cukup untuk enam anak, dua gadis kecil dan empat anak laki-laki, nilai masing-masing benda tak jauh berbeda, kurasa ini cukup adil.” Gumamnya pada diri sendiri.
“Bagaiman menurutmu ayah, apakah nilai benda-benda ini cukup adil?” Abdullah memperhatikan benda-benda tersebut dan dia mengangguk setuju. Zanimra mengambil beberapa selendang lagi dari tasnya lalu bergegas menghampiri petani yang masih duduk menunggunya diikuti Abdullah dan Putri Aelia.
Setibanya disana Zanimra membagikan benda-benda tadi sesuai dengan pilihan setiap anak,. Lalu Zanimra melakukan perjanjian yang sama seperti yang dilakukannya dengan Salamah. Dari setiap anak dimintanya seorang saksi laki-laki atau dua orang saksi perempuan. Setelah selesai dengan semua anak-anak diapun bertanya,
“Apakah kalian semuanya senang dan ikhlas?”
“Kami senang sekali!”
“Anak-anak, ingat, apapun hadiah yang ada ditangan kalian bukanlah dariku, tapi dari Allah semata. Aku hanya sebagai alat penyalur berkah dan rahmatnya, jadi ucapkanlah…. Alhamdulillah. Sebagaimana benda yang ada ditanganmu itu Rahmat/pemberian Allah yang datang melalui tanganku, jika kalian melanggar janji, maka karena Allah pulalah aku akan mengambilnya kembali, apakah kalian mengerti?”
“Kami mengerti,”
“Jika kalian mengerti, sekarang katakan kepadaku, Demi siapakah kalian memegang akan memegang janji?”
“Demi Allah!” jawab anak-anak serempak,
“Mengapa demikian?”
“Karen Allah-lah yang memberikan hadiah ini melalui tangan kakak dan Allah pula yang akan mengambilnya dari kami melalui tangan kakak jika kami melanggar janji.”
“Insyaallah jika Allah memberi kesempatan pada kakak. Alhamdulillah kalian mengerti….. subhanallah, kalian memang anak-anak yang cerdas.”
“Ingat janji kalian baik-baik, patuhlah pada orang tua, takutlah pada Allah dan dan kerjakanlah shalat lima waktu.
Q.S. Al Fath:10. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. ”
"Kami berjanji.” Jawab anak-anak secara serempak lagi.
“Para saksi, aku sangat berterima kasih atas kesediaan kalian menjadi saksi, sungguh aku hanya dapat memberikan ini sebagai ucapan terima kasihku yang sangat.”
Zanimra membagikan beberapa selendang sutra miliknya yang diterima dengan suka ria.
“Nona, seharusnya kamilah yang berterima kasih padamu, karena perjanjianmu membuat kami sadar akan dari mana datangnya rezeki yang kami dapatkan sekarang ini. Sungguh kami jarang sekali bersyukur. Berjanjilah untuk sering berkunjung jika kau berkesempatan.”
“Insyaallah jika memang saya memiliki kesempatan dilain hari, jagalah anak-anak ini dalam memegang janjinya, sesungguhnya janji yang mereka ucapkan adalah janji seluruh manusia kepada Allah. Aku hanya mencoba mengingatkan mereka. Semoga pada usianya yang tepat mereka akan mengerti keseluruhan dari maksud perjanjian ini.”
“Amin.” Jawab semua yang hadir secara serempak.
“Baiklah, selagi aku sempat, maukah kalian mendengar sebuah kisah tentang dua petani dan kebunnya?” Dengan hampir berbarengan yang hadir menyetujui,
“Kami akan senang mendengarkannya.”
“Insyaallah, alhamdulillah… cerita ini terdapat didalam Al-Qur’an, semoga kita semua mendapat Rahmat Allah untuk mendapat pelajaran darinya.” Zanimra diam sebentar lalu membuka Al-Qur’an kecil yang selalu dibawanya.
“Bismillahirohmaan nirrohiim, Surat Al Kahf ayat 32-46;
32. Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.
33. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,
34. dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”.
35. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,
36. dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”.
37. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?
38. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.
39. Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,
40. maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
41. atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi”.
42. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku”.
43. Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya.
44. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.
45. Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
46. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.” Zanimra menutup Qur’annya.
“Sungguh ceritamu membuat kami semakin sadar dan takut kepada Allah, kami berlindung kepada Allah dari kesombongan seperti yang dilakukan petani pertama itu.” Kata seorang petani dengan tulus, yang lainnya mengangguk-angguk setuju. Zanimra tersenyun bahagia, dia begitu bersyukur karena Allah begitu Pemurah melembutkan hati orang-orang yang ditemuinya hari ini, dengan senyum lebar dia berkata lagi.
“Sungguh banyak sekali cerita menarik dan pengajaran penuh rahmat dari Allah di dalam Al Qur’an. Bacalah Al Qur’an, hatimu akan merasa tenang dan bahagia, insyaallah.
Q.S. Yusuf:111. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Abdullah kali ini benar-benar dibuat tercengang oleh tingkah laku Zanimra, tak jauh beda dengan Putri Aelia, dia semakin tercekat melihat kejadian itu. Akhirnya Zanimra minta Abdullah untuk memimpin shalat berjama’ah dibawah pohon itu. Selesai shalat merekapun melanjutkan perjalanan ke istana. Suasana hening karena tak satupun berbicara, Zanimra masih asyik dengan kain katun yang diberikan penduduk setempat sebagai kenang-kenangan.Tiba-tiba Putri melontarkan pertanyaan karena tak tahan menahan rasa penasarannya,
“Zanimra mengapa kau melakukan perjanjian seperti ini dengan anak-anak?”
“Karena aku ingin mengajarkan pada anak-anak tentang perjanjian.”
“Apakah kau pikir mereka akan memegang janjinya? Mereka hanya anak-anak.”
“Bukankan pelajaran lebih baik dimulai dari dini? Anak-anak sangat kuat daya ingatnya dan sangat rapuh kepercayaannya. Jika aku melanggar janjiku, mereka akan mencabut kepercayaannya dariku dan akan mengingat hal itu selamanya. Tapi yang terpenting disini, anak-anak mengerti dari siapa hadiah itu datang dan untuk siapa perjanjian itu sebenarnya dilaksanakan. Dan demi siapa mereka akan memegang janjinya. Semua karena Allah semata. Aku ingin anak-anak memahami, bahwa darimanapun atau siapapun datangnya rezeki sesungguhnya semua itu datang dari Allah. Dan hanya pada Allah seharusnya mereka bersyukur.”
“Apakah kau merencanakan hali ini Zanimra?”
“Bagaimana mungkin saya merencanakannya jika saya baru saja menginjak pedesaan itu?”
“Bagaiman kau bisa berbuat demikian jika tidak kau rencanakan?”
“Alhamdulillah, Allah-lah yang menginginkannya terjadi. Hal itu terlintas dipikiranku ketika si kecil Salamah meminta gelangku.”
“Jika Salamah tidak menerima perjanjian itu, kau tak akan memberikan gelang itu padanya?”
“Tidak.”
“Bukankah itu kejam?”
“Yang kutawarkan dalam perjanjian itu jauh lebih berharga dari gelangku Tuan Putri.” Putri tertegun mendengar jawaban Zanimra.
“Yang kuminta pada Salamah adalah menjalankan shalat dan patuh kepada orang tuanya. Hal itu tidak sulit bagi Salamah, karena dia lahir dari keluarga muslim. Shalat dan patuh pada orang tua adalah hal yang sudah biasa mereka kerjakan karena memang itu diwajibkan. Yang kulakukan hanyalah meberi mereka motivasi dalam menjaganya lebih baik. Salamah menyadari hal itu, oleh karenanya dia dengan berani menyetujui perjanjian itu.”
“Bagaimana dengan anak yang lain? Bukankah tidak semua anak berpikiran sama?”
“Sebagaimana Salamah, aku tanya tentang kerelaan mereka terlebih dahulu, dan mereka merasa rela mengadakan perjanjian itu. Dan mereka tak merasa dirugikan sedikitpun, terlebih lagi dengan hadiah imbalan yang kujanjikan jika mereka menjalankan janji mereka.” Lalu Zanimra mengarahkan pandangannya pada Abdullah dan berkata,
“Ayah, kau dengar tentang janjiku kepada mereka bukan?”
“Bahwa kau akan mempertanyakan tanggung jawab mereka dalam memegang janji atau tidak. Dan jika mereka melanggar janji, kau akan mengambil kembali hadiah itu, tapi jika mereka memegang janji, kau akan memberikan hadiah lain lagi bagi mereka. Ya! Aku dengar Zanimra.”
“Sudikah ayah membantu aku dalam memegang janjiku?”
“Tentu saja, insyaallah jika aku bisa putriku, Aku akan merasa senang sekali jika bisa ikut serta dalam perjanjian mulia ini!” sahut Abdullah dengan semangat.
“Aku akan menitipkan beberapa hadiah yang kujanjikan itu kepadamu. Jika dalam setahun aku tak bisa kembali kesini, maukah paman menyampaikan hadiah-hadiah itu bagi mereka yang memegang janji dan mengambil hadiah yang mereka miliki jika mereka melanggar janji?”
“Ha ha ha, subhanallah, tentu saja. Insyaallah jika umurku masih panjang. Dan insyaallah aku akan menambahkan beberapa hadiah lagi!”
“Alhamdulillah, terima kasih Ayah.” Jawab Zanimra dengan riang.
“Zanimra, kau memberikan pelajaran yang sangat berharga kepadaku. Jika kau bisa melakukan hal itu pada anak-anak di negri yang baru saja kau kunjungi, mengapa aku tak bisa? Aaaahh, aku sungguh malu padamu Zanimra!”
“Sungguh segala sesuatu datangnya dari Allah Ayah, aku hanya seorang hamba. Alhamdulillah.” Abdullah tersenyum bahagia karena ia mendapatkan Zanimra sebagai calon menantu. Dia tak dapat berkata terlalu banyak demi menjaga perasaan Putri. Karena kelelahan bermain dengan anak-anak akhirnya Zanimra jatuh tertidur. Perjalananpun menjadi kembali hening, bertolak belakang dengan isi kepala Putri Aelia yang semakin berkecamuk. Dalam beberapa jam saja Putri sudah merasakan kelebihan-kelabihan yang dimiliki Zanimra, hatinya semakin gusar. Jika dirinya bisa mengakui kelebihan Zanimra seperti ini, apalagi orang lain dan kakaknya. Kereta memasuki gerbang istana ditengah malam buta. Abdullah dan Zanimra langsung di antarkan ke kamar mereka.
=bersambung=
Sumber:
http://multazimah.blogsome.com/2007/12/31/sebuah-kis ah-cinta-sejati/#more-89
Langganan:
Postingan (Atom)